Jumat, 18 Juni 2010

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT YANG TIDAK SETUJU DENGAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT YANG TIDAK SETUJU DENGAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI.
Oleh: Farida Nurun Nazah (Mahasiswa S2 Hukum UID)
Dosen Sosiologi Hukum UID: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Era globalisasi terus berkembang sejalan dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Perubahan demi perubahan kemajuan dalam berbagai bidang merupakan hal yang wajar, sejalan dengan rel tuntutan masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan informasi, hiburan, kebebasan berekspresi dan perlindungan hukum mau tidak mau, harus bersinkronisasi dengan satu individu dengan individu yang lainnya. Semua ini adalah hal yang wajar, mengingat manusia adalah makhluk sosial. Namun, ketika satu sama lain saling berinteraksi dan mempunyai komitmen yang berbeda, norma-norma yang berbeda, maka timbullah apa yang di namakan Human Crash.
Dalam sejarah perjalanan negara Indonesia dan tatanan hukum di dalamnya, tak pelak, sering juga mengundang kontroversi, mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Baik dari segi agama, budaya, maupun adat istiadat. Namun, pemerintah dengan segala usahanya, mencoba memberikan tatanan undang-undang yang bersifat kompromistis, yang di harapkan tidak merugikan satu sama lain guna mewujudkan negara yang Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam tatanan masyarakat, ada beberapa norma yang di terapkan dan harus di laksanakan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang ideal, harmonis dan nyaman. Yaitu, pertama : Norma Hukum, dalam hal ini pemerintah merupakan elemen yang sangat penting, karena pemerintahlah yang menuliskan segala hukum dan sanksi bagi para masyarakat yang di bawah naungannya. Kedua, Norma Sopan Santun. Norma sopan santun diterapkan segala hukum dan sanksinya dalam ruang lingkup bersosial masyarakat. Yang berarti, masyarakatlah yang menjustifikasi semua tindak tanduk masyarakat. Ketiga, Norma Kesusilaan. Bahwa perasaan bersalah dari tiap individu adalah merupakan sifat dan bentuk sanksi dari norma asusila. Keempat, yang merupakan puncak dari segala norma, yaitu Norma Agama. Bahwa semua tingkah laku seseorang diatur oleh norma agama mereka. Semua bentuk sifat dari norma ini dan semua sanksinya adalah Tuhan mereka. Penanaman norma-norma dan nilai luhur dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang majemuk (pluralis), hendaknya dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi sesuai dengan piramida di bawah ini.
Meningkatnya kasus asusila dan meningkatnya masalah pornografi di berbagai daerah di Indonesia ini, merupakan wujud riil bahwa masyarakat kita tengah mengalami dekadensi moral dan kelemahan sendi-sendi pilar dalam berbangsa dan bermasyarakat. Kegagalan ini, seyogyanya dikaji ulang, yang melibatkan berbagai elemen bangsa, guna menciptakan kehidupan bermasyarakat yang madani.
Kalau kita lihat dari sisi sejarah di bentuknya undang-undang kontroversial ini sebenarnya sudah dibahas oleh pemerintah kita semenjak tahun 1997, jadi sudah sekitar 13 tahun yang lalu. Yaitu ketika Rapat Paripurna periode 1999-2004, yang menyatakan bahwa RUU APP adalah sebagai RUU usul inisiatif DPR pada tanggal 23 Spetember 2003, kemudian hal ini menyebabkan kontroversi di berbagai daerah dan menyebabkan polemik atau perbantahan antar pihak. Maka dari itu, maka RUU APP ditarik dan disusun kembali.
Kemudian pada tanggal 14 Februari 2006, draft RUU APP diajukan yang berisi 11 Bab & 93 Pasal. Dalam draft ini, Pornografi dan Pornoaksi dibedakan dan dimuat didalamnya. Dalam draft pertama, pada Bab IV Pasal 40 sampai dengan 50, mengenai pembentukkan BAPPN atau Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional dihapuskan, juga definisi mengenai Pornografi dan Pornoaksi dirubah karena melahirkan kontroversi, sehingga diajukan draft baru dengan isi 8 Bab & 82 Pasal.
Pro kontra ketika pembahasan RUU APP pada tahun 2006 ini, masih menimbulkan banyak kontroversi di masyarakat. Hal ini di sebabkan, bahwa isi dari pasal RUU APP masih memuat kalimat-kalimat yang ambigu. Yang masih mengandung multi tafsir, sebagaimana orang yang mendukung dan menolaknya.
Para pendukung dari RUU APP ini seperti MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir dan PKS mereka memaknai arti dari pornografi dan pornoaksi ini sesuai dengan penafsiran mereka sendiri-sendiri. MUI pernah mengatakan, bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya di simpan di museum. Namun beda lagi dengan orang-orang yang menolak RUU APP ini. Mereka mengatakan bahwa isi substansi dari RUU APP ini masih menimbulkan berbagai masalah, yang diantaranya isi substansi dari RUU APP ini masih mengandung kalimat ambigu, tidak jelas atau bahkan tidak dirumuskan secara absolut.
Pada tahun 2006, DPR RI dan Presiden memberikan pengertian dari Pornografi dan Pornoaksi yang tercantum dalam Pasal 1 yaitu:
Pornografi adalah : substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pornoaksi adalah : perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.
Kalimat mengeksploitasi seksual, erotis dan kecabulan inilah yang dianggap para penolak RUU APP masih merupakan kalimat ambigu, tidak jelas dan perumusannya tidak absolut. Pihak ini mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP ini tetapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang.
Banyak sekali yang menuduh bahwa para pendukung dari RUU APP ini adalah orang-orang yang anti multi-kulturalisme, yang hendak memaksakan standar moralitasnya kepada pihak lain. Begitu juga yang kontra terhadap RUU APP ini mereka dituduh sebagai orang-orang yang abai terhadap dekadensi moralitas bangasanya sendiri.
Pada tanggal 24 Agustus 2007, draft mengenai RUU APP ini dikirimkan dari DPR kepada Presiden dengan berisikan 10 Bab & 52 Pasal. Hal yang sangat penting yang berubah dalam draft ini adalah “Judul”. Rancangan Undang-Undang Aksi Pornografi dan Pornoaksi dirubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi (ketentuan mengenai Pornoaksi dihapuskan). Tetapi akhirnya pada definisi Pornografi, dimasukkan atau disinggung mengenai Pornoaksi lewat kata “gerak tubuh”.
Akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2008, RUU Pornografi disahkan menjadi Undang-Undang yang disepakati oleh 8 fraksi DPR. Mereka menandatangani naskah draft dan tinggal menunggu pengesahannya pada rapat paripurna. Delapan fraksi tersebut adalah F-PKS, F-PAN, F-PDIP, F-PG, F-PBR, F-PPP dan F-PKB. Sedangkan 2 fraksi yakni F-PDIP dan FPDS melakukan aksi 'walk out'. Sebelumnya, masing-masing fraksi menyampaikan pandangan akhir mereka. Hingga kemudian, mayoritas fraksi mencapai kesepakatan. "Kami dari pemerintah mewakili presiden menyambut baik diselesaikannya pembahasan RUU Pornografi," ujar Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja pansus RUU Pornografi di Gedung DPR Senayan. Mengenai Undang-Undang pada draft finalnya berisikan 8 Bab & 44 Pasal.
BAB II
PEMBAHASAN

Berbagai argumentasi para penolak RUU ini sangatlah variatif. Dari mulai mengangkat isu budaya, eksploitatif terhadap perempuan, bahkan menyangkutpautkan hal ini dengan masalah HAM. Memang, sebenarnya RUU ini masih ada hubungannya dengan ketiga-tiganya. Namun, ada ruang gerak yang membatasi RUU ini. Ada batasan-batasan yang memang seyogyanya di gunakan agar tidak menimbulkan kericuhan dalam memahami dan melaksanakan RUU ini. Ada beberapa wilayah di Indonesia yang selama ini disebut-sebut menolak dengan tegas adanya RUU tersebut. Yaitu : Bali, Batam dan Papua. Akan tetapi, hal ini tidaklah sesuai dengan kenyataan yang ada.
Jero Wijaya, salah seorang mantan DPRD Kabupaten Bali mengatakan, bahwa penolakan sejumlah elemen masyarakat Bali terhadap RUU itu tidak lebih dari ikut-ikutan. Dari apa yang dilihatnya di lapangan, Wijaya yakin tidak semua dari mereka memahami isi dan makna RUU tersebut. Mantan anggota DPRD Kabupaten Bangli itu tidak menampik, bila yang banyak bersuara di Bali saat ini memang dari kalangan yang kontra. Padahal, ia melihat masyarakat Bali sendiri terpecah ke dalam tiga sikap besar sehubungan RUU tersebut. Selain mereka yang menolak secara total dengan meminta DPR membatalkan pengesahan RUU itu, kelompok kedua adalah kalangan yang meminta revisiatas sejumlah pasal. Kelompok ketiga adalah kalangan yang mendukung secara total pemberlakuan RUU APP. Saya termasuk di antaranya,'' kata dia . Dukungan Wijaya bukan tanpa alasan. Ia mengajak masyarakat Bali tidak menutup mata akan begitu banyaknya perilaku masyarakat yang menyimpang dan dipertontonkan di depan umum. Misalnya, kata Jero Wijaya, makin lazimnya orang berciuman terbuka di ruang tunggu keberangkatan Bandara Ngurah Rai, mengenakan bikini ke pusat perbelanjaan. ''Itu jelas bukan budaya Bali'', kata dia. Bila hal seperti itu dibiarkan terus berkembang, mau tidak mau budaya Bali akan diselewengkan.
Sebagaimana warga Bali, sikap masyarakat Papua dan Batam seolah terpecah. Berlainan dengan apa yang digembar-gemborkan selama ini, ternyata kedua daerah itu menyambut positif. Alasan mereka sederhana, pornografi dan pornoaksi sudah sedemikian meracuni anak-anak Papua dan Batam. Hadirnya undang-undang diharapkan bisa mengubah citra Kota Batam. Ada beberapa hal yang perlu di cermati tentang argumentasi para penolak RUU ini. Diantaranya adalah :

1. Pemberlakuan RUU ini akan mematikan budaya dan pariwisata
Ditinjau dari keragaman budaya bangsa Indonesia, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sangat potensial dapat menghancurkan budaya-budaya lokal dan pariwisata di berbagai daerah yang sampai saat ini masih eksis dan dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, pariwisata macam apa yang bisa tersingkir jika undang-undang anti pornografi dan pornoaksi diberlakukan? Tentu pariwisata yang menawarkan pornografi dan pornoaksi! Dalam tataran Kapitalisme, industri semacam ini memang dianggap absah dan bahkan dianggap sebagai bagian dari
kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberikan keuntungan yang sangat besar.
Akan tetapi, dalam konteks kemanusiaan dan kemasyarakatan,
keberadaannya tentu sangat merugikan masyarakat, seperti menimbulkan eksploitasi kemanusiaan yang berdampak pada merebaknya children and women
trafficking dan menghasilkan dampak lanjutan berupa merebaknya penyakit-penyakit sosial dan seksual semacam AIDS dan lain-lain. Semua ini dalam jangka
panjang bisa menghancurkan keberadaan generasi mendatang. Jika demikian faktanya, masih layakkah industri kemesuman dipertahankan, sementara kita memiliki sekian banyak potensi pariwisata yang layak jual dan
bisa dikembangkan, seperti keindahan panorama alam, keragaman dan kelezatan makanan, dan lain-lain.

2. Pemberlakuan RUU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan berekspresi(melanggar HAM).
Para penolak RUU APP ini mengatakan bahwa dengan dibahasnya RUU APP ini akan memasung dan melanggar kebebasan berekspresi, atau kata lain adalah melanggar HAM.Ketika kata seni di artikan sebagai hasil cipta karsa budi manusia dan kreatif dalam berkesenian, apakah eksploitasi ketelanjangan dan erotisme atas nama seni sejalan dengan keluhuran budi manusia dan di akui sebagai sebuah karya inovatif, bahkan menjadi standar kreativitas dalam berkesenian dan berkebudayaan. Kalau demikian halnya, maka hal ini sangatlah naif. Kreativitas dalam bidang seni dan budaya tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, tetap saja keduanya harus diarahkan, jangan sampai dengan dalih kreativitas lantas hasil-hasil kesenian dan budaya malah merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang senyatanya sudah jatuh ke kubangan krisis. Bukankah tidak bisa dibantah jika ketelanjangan dan erotisme-yang mereka klaim sebagai produk seni bebas nilai yang selama ini bebas terjaja di pinggir-pinggir jalan, bahkan sudah menerobos masuk ke setiap rumah melalui media tv, telah menginspirasi maraknya dekadensi moral di masyarakat.
Mungkin kalau kita lihat dari kaca mata hukum hak asasi manusia, hal ini memang melanggar hak asasi manusia. Akan tetapi, kita sebagai seorang pendidik generasi muda dan yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sangatlah sulit untuk menerimanya. Bukan saja pornografi tidak mencerminkan budaya bangsa, tetapi juga karena pornografi dibaca, ditonton dan disimak pula oleh anak-anak di bawah umur yang belum dapat memberikan penilaian baik dan buruk. Selain itu, semua orang tahu bahwa sebagian pelaku pornografi, dalam hal ini kaum industrialis yang bergerak di bidang media massa, tidak mempertimbangkan nilai dan moral agama dalam menjalankan bisnisnya. Tujuan utama mereka adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya meski harus merusak moral satu generasi. Kita semua ingin maju, kita semua ingin sederajat dengan bangsa dan negara lain, namun demikian, tidak berarti kita harus mengabaikan bahasa moral karena nilai moral mampu membuat tingkah laku yang menjamin setiap individu agar tidak terjerumus ke dalam dekadensi moral.
Selain itu, segala upaya pembaruan yang mengabaikan nilai-nilai moral, bukannya mewujudkan peradaban yang bermartabat, justru akan membawa kehancuran peradaban manusia. Terbukti dalam sejarah bahwa kehancuran suatu bangsa selalu diawali oleh kehancuran moral dari bangsa tersebut, sebaliknya, kemajuan suatu bangsa selalu diawali dengan tumbuh dan berkembangnya moral bangsa tersebut. Demikian kesimpulan dari penelitian Zaki Najib Mahmud, pakar filsafat Mesir kontemporer.
Dalam Deklarasi Universal HAM, tepatnya pada Pasal 39 dituliskan bahwa “Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh hukum dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang-orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Dari Pasal 39 di atas dapat dipahami bahwa kebebasan dalam melaksanakan dan menuntut hak sesungguhnya memiliki beberapa rambu yang harus ditaati, dan salah satu dari rambu itu adalah memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan hak harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Jika RUU ini melanggar HAM, maka mereka juga telah melanggar HAM. Karena mereka telah menginjak-injak nilai-nilai moral.

3. UU APP akan mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan
Menurut mereka, UU ini dibuat dengan paradigma yang bertumpu pada sudut pandang kepentingan laki-laki (bias jender) dan pada saat yang sama melanggar integritas tubuh perempuan, karena menganggap perempuan sebagai obyek yang harus diatur. UU ini juga dipandang berpotensi melahirkan kekerasan baru dan bersifat represif. Sebab, selain yang akan menjadi korban adalah kebanyakan perempuan, penerapannya juga akan menghancurkan budaya masyarakat. Mereka mencontohkan, pada kasus tertentu, penerapan pasal-pasal pornoaksi yang antara lain memuat pelarangan memperlihatkan payudara atau pantat di tempat umum ditengarai akan banyak menjerat kaum perempuan sebagai pelaku kriminal, karena tidak sedikit dari mereka yang terbiasa menyusui anaknya di muka umum, mandi di sungai, berpakaian ketat dan 'terbatas', dan lain-lain.
Sesungguhnya, persoalan pornografi dan pornoaksi tidak bisa dipandang secara parsial, karena keduanya melibatkan banyak unsur, termasuk laki-laki dan perempuan. Pada kedua kasus ini kedua-duanya bisa bertindak sebagai pelaku sekaligus korban. Karena itu, keduanya sebenarnya berkepentingan untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan problem bersama ini. Adapun ketika faktanya perempuan yang seolah banyak diatur, karena fakta pula yang menunjukkan bahwa sensualitas perempuanlah yang sering memicu perilaku amoral, sekalipun tentu tak bisa dilepaskan dari faktor cara pandang laki-laki atas sensualitas perempuan. Adapun apa yang mereka sebut dengan budaya dan ekspresi masyarakat yang manusiawi seperti kebiasaan menyusui dan mandi di tempat umum, berpakaian ketat dan serba terbatas, dan lain-lain merupakan kebiasaan yang selayaknya diubah, sekalipun untuk itu negara harus menanggung konsekuensi berupa upaya penyadaran terus-menerus dan menyediakan berbagai infrastruktur yang memungkinkan masyarakat tersebut mengubah kebiasaan-kebiasaan 'buruknya' menjadi lebih baik.

4. Pemberlakuan RUU APP tidak mendidik masyarakat
Karena masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekedar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat diterapkannya hukum, bukan atas kesadaran pribadi. Argumentasi ini jelas mengada-ada. Sebab, jika logika ini dipakai, negara tidak perlu mengatur apapun untuk meraih kemaslahatan masyarakat. Tidak perlu ada undang-undang yang mengatur tindak pidana/kriminalitas, undang-undang anti korupsi, undang-undang anti narkoba, peraturan lalu-lintas dan lain-lain. Biarkan saja masyarakat dengan kesadarannya sendiri memilih untuk tidak melakukan tindak kriminal, korupsi, menggunakan narkoba dan lain-lain.
Faktanya, hal ini tidak mungkin, bukan? Pada kasus pornografi-pornoaksi, diakui bahwa dampak keduanya sudah sangat memprihatinkan. Karena itu, mau tidak mau, memang harus ada perangkat hukum yang berfungsi menekan tindak pornografi dan pornoaksi berikut berbagai dampak yang ditimbulkannya. Bahwa proses penyadaran adalah penting memang tidak bisa dibantah. Bahkan tanpa kesadaran masyarakat, hukum sebagus apapun tidak akan ada artinya. Akan tetapi, keberadaan perangkat hukum di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang menyangkut sanksi atas pelanggarannya, juga tidak dapat diabaikan. Sebab, salah satu fungsi hukum atau undang-undang-di samping untuk merekayasa masyarakat-adalah juga untuk mendidik dan membentuk kesadaran masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermoral mana yang tidak, dan seterusnya.
5. UU APP mencerminkan tirani mayoritas atas minoritas
Tudingan ini sebenarnya dipicu oleh kenyataan bahwa mayoritas desakan terhadap pemberlakuan RUU APP datang dari umat Islam, sekalipun jika RUU APP dan revisinya dicermati, sebenarnya sama sekali tidak mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari Islam. Adapun bahwa Islam anti pornografi dan pornoaksi, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih bahwa UU APP adalah islamisasi, karena senyatanya agama samawi manapun menganggap pornografi dan pornoaksi sebagai perbuatan terkutuk. Kalaupun, misalnya, spirit dan materi UU APP ini memang mengadopsi hukum-hukum Islam secara utuh, juga tidak perlu muncul kekhawatiran akan terjadinya tirani tirani Islam atas non-Islam. Sebab, syariat Islam justru untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan. (Lihat: QS al-Anbiya [21]: 107). Dengan demikian, alasan ini sebenarnya muncul bukan semata-mata untuk menolak UU APP, melainkan lebih merupakan upaya stigmatisasi untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim di tengah maraknya wacana mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan.
BAB III
PENUTUP

A.Simpulan
Dari pemaparan pada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan mengapa RUU APP tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat. Alasan tersebut antara lain adalah :
1.Pemberlakuan RUU ini akan mematikan budaya dan pariwisata
2.UU APP mencerminkan tirani mayoritas atas minoritas
3.Pemberlakuan RUU APP tidak mendidik masyarakat
4.Pemberlakuan RUU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan berekspresi(melanggar HAM).
5.UU APP akan mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan

B. Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kemajuan karya penulis di masa mendatang.
Semoga makalah yang penulis paparkan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Ats-Tsaqafah dan Zaki Najib Muhammad, Philosophy of Science, Cairo : Dar el-Shoruq, 2000
Fuady, Munir. Sosiologi Hukum Kontemporer (Interaksi Hukum, Kekuasaan dan Masyarakat). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
Djamali, Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan VI. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Cetakan IV. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
http://www.republika.co.id. 16 Januari 2010
http://www.prajuritkecil.multiply.com/reviews/item/68. 16 Januari 2010
htttp://www.docstoc.com/01524357124/HAK-ASASI-MANUSIA. 16 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar