Senin, 11 Juli 2011

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG HUKUM KEWARISAN
DI INDONESIA SECARA FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS



Makalah yang disampaikan pada Workshop Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang
Hukum Kewarisan tanggal 12-13 Juli 2011
di Hotel Horison Bekasi
Oleh:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA
(Guru Besar Sosiologi Hukum di Fakultas Hukum Univ. Tadulako Palu dan beberapa Perguruan Tinggi Lainnya di Sulawesi, Jakarta dan sekitarnya )

PANITIA WORKSHOP PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA
BIDANG HUKUM KEWARISAN
TAHUN 2011

A. Pendahuluan
Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama Islam di Indonesia dari masa ke masa.
Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.
1. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
2. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan
3. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);
4. Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesiaan.
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke Indonesiaan. Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyelesaian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala. Hal dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang bidang hukum kewarisan.
B. Permasalahan
1. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis?
2. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis?
3. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis
4. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis
5. Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
C. Pembahasan
1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis
Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali) mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.
a. Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia;
b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, Syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syari’at yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna. Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum pidana (Islam) seperti zina, pencurian, pembunuhan yang memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.
c. Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing.
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Yuridis
Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini:
a. DR. Muhammad Hatta (almarhum) ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama. Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945 itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah, kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; (c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Demikian juga beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan hukum Islam Selain itu, juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Pedoman bagi para hakim di Peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia. Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma-norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Karena itu, keberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketata negaraan di negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh murid-muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar, H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua) buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud sebagai berikut.
a. Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam, bila mereka membagi harta warisan maka ia menggunakan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan. Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan.
b. Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis “majjujung makkunraie mallempa oroane”.
c. Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah: “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Artinya: hukum adat bersumber dari hukum Islam, hukum Islam bersumber dari Alqur’an.
d. Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: “Adek dan syara’ sanda menyanda, syara mengato adek memakai”. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam menentukan, hukum adat melaksanakan.
Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah ungkapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum majemuk. Namun demikian, sistem-sistem hukum dimaksud merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap norma-norma hukum lainnya termasuk Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya di satu pihak dan pihak lainnya sebagai dasar negara republik Indonesia.
Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indonesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai berikut.
a. Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642 menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.
b. Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa dari para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu. Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan ummat Islam. Kitab ini dianalisis oleh Sjekh Arsyad al-Banjari kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang diberi judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antar ummat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
c. Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di luar dan di dalam Pengadilan Agama.
Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6) bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan hukum kewarisan Islam.
a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis
1) Kerangka Dalil
a) Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam, di antaranya:
(1) Qur`an Surah IV: 11
Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3) mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seper enam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris.
(2) Qur`an Surah IV: 12.
Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian isteri mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan isterinya kalau si isteri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian isteri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan isterinya kalau si isteri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya kalau si suami tidak meninggalkan anak; (4) janda karena kematian suami mendapat pembagian seperdelapan dari harta suaminya kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.
(3) Qur`an Surah IV; 176.
Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan; (5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan apabila terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah itu mengetahui segala sesuatunya.10
(4) Qur`an Surah IV: 33.
Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum, yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (2) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (4) atas alasan termaksud dalam garis hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka berikanlah kepada mereka (mawali) itu bagiannya masing-masing.11
b) Hadis Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum Kewarisan Islam, di antaranya:
(1) Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud dan at-Tirmizi.
Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah memba-wa kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12
(2) Hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.
Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.13
(3) Hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh ibn Majah dan at-Tirmizi.
Seorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya.14
c) Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari Ijtihad, yaitu:
1) Kewarisan Cucu
Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid (termasuk Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak yang langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak) itu, juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu).16
2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara.
Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris (kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisan-nya berdasarkan perluasan pengertian kata akhun (saudara) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 176, yaitu bukan saja berarti saudara kandung atau se ayah, melainkan pengertian akhun (saudara) itu, juga termasuk keturunannya.
3) Ketentuan Kewarisan Paman.
Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadis Rasulullah dari Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke bawah yakni paman.17
2) Kerangka Teoretis
Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan kerangka teoretis.21
b. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a
1) Pendahuluan
Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan: (1) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar Pengadilan Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris, (1.2) musyawarah Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan Negeri, (2) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di Pengadilan Agama. Dalam bab ini juga akan diuraikan persesuaian hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dan perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala.
2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama
Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3 (tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala. Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan masing-masing contohnya sebagai berikut.
a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris
Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu), pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli). Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai berikut.
(1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan seluas 946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berdasarkan hukum Islam karena ada di antara ahli waris yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris lainnya, yaitu anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal dan sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua) orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing satu areal kebun kelapa dan tanah perumahan 473 M2. Musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Ahkam tersebut, dapat terlaksana karena adanya kerukunan di antara para ahli waris dan adanya ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya3
(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6 (enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700 M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka24
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas 200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui musyawarah karena orangtua mereka sudah membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25.
Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima) buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan (4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan penyebabnya sebagai berikut.
(a) Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris karena ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu sudah menjadi budaya hukum secara turuntemurun dalam keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 31, 32, 33, dan 34.
(b) Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan tetapi harta warisan mereka relatip sedikit, baik harta warisan yang terdiri atas kebun kelapa, kebun kapok, tanah sawah, maupun harta warisan yang sifatnya usaha. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 6, 8, 9, 12, 18, 20, 25, 27, dan 28.
(c) Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang menginginkan tidak dibedakan bagian harta warisan anak perempuan dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai akibat kurang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa dalam pembagian harta warisan, sehingga merelakan sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 15, 24, 26, dan 35.
(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian harta warisan bila ada di antara ahli waris yang dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris. Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30.
b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan Adat
Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil) membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang ahli waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada yang disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya.27 Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian harta warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut.
(1) Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta warisan itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan status pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak berhasil sehingga diajukan pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris (as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp. 400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat bagian masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu disetujui oleh para ahli waris. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat karena anak perempuan menghendaki bagian warisannya tidak dibedakan dengan bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara perempuannya.29
Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun, ke dua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah disebutkan.
(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiriatas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2. Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut haknya melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30.
Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat bagian kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat tanah perumahan, anak pertama perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal, dan anak ketiga perempuan mendapat tanah perumahan bersama perhiasan emas. Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat atas persetujuan ahli waris ketika tokoh agama sudah menyampaikan nasehat kepada ahli waris mengenai keadilan yang dikandung oleh hukum kewarisan Islam dan pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan.31
Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai 16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota Dewan Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam amat besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu tampak karena ada di antara ketua dan anggota Dewan Adat yang berasal dari tokoh agama Islam yang menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat. Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu.
c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di Kab. Donggala.
Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala, maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.
(1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990. Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun 1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5 (lima) orang anak perempuan dan berupa harta yang terdiri atas sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta tersebut dijual oleh anak laki-laki yang pertama dan disetujui oleh 8 orang saudaranya.
Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa adalah harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan tergugat) yang belum terbagi kepada ahli warisnya, sehingga perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat cs bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa akan memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini, hakim memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan akhirnya berhasil. Pada sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris. Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama, yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.32
Putusan pengadilan tersebut mencerminkan hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak.
(2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn. Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga, sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga Rp.510.000.-
Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan bahwa tergugat tidak berhak menjual harta peninggalan Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya (para penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku di Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksi-saksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai. Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan harga tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.33
Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga (penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris.
Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7 (tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19, dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5.
Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebalik¬nya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak men¬cerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor 6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20.
d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama Kabupaten Donggala
Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya dikemukakan sebagai berikut.
(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990. H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj. Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama janda isteri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari isteri pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki dari isteri kedua, janda isteri kedua; harta yang ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal dikuasai oleh isteri kedua dan sebuah rumah lainnya dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari isteri pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak menempati rumah yang menjadi obyek sengketa warisan.34
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti, ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5 (lima) orang anak dari isteri pertama mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan isteri kedua bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Tawaili.35
Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga memungkinkan muncul masalah baru kepada yang berhak menerima warisan kollektip.
(2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23 Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama seorang anak perempuan melalui anak perempuan pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui anak laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya.36
Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter. Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris. Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan hukum Islam. Pihak penggugat menge-mukakan bahwa harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris melalui surat wasiat.37
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris tidak disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya digantikan kedudukannya oleh anaknya atau keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan38
Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh turunannya.
D. Kesimpulan
1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis berdasarkan Sila Pertama Pancasila
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis berdasarkan Pasal 29 UUD 1945
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan Pengadilan Agama
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a contrario
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4 (empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris, melalui musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan Agama, dan Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat bentuk penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud, mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam, dan asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat ketidak tahuan filosofi hukum kewarisan Islam.

KEPUSTAKAAN

Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992
Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press, 1984
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952
Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966
Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985.
---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998
---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938
Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta: Nurcahaya, 1983.
Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hild-Co, 1992.
B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953
Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8, Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.
David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, America: International Microfilms University Press, 1986
Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbanding-an". Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith. Jakarta: Tintamas, 1990.
Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978
Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-Wasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun
Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1981
Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadis lit-tab`i wannasyar, 1962
Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, Myland: Amana Corp Brentwood, 1983

Selasa, 05 Juli 2011

SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
Oleh :
MELANI YUSUP, SH - 072310012
POPPI ALMIRA, SH - 072310015
ELLYA RISSA, SH - 072310004
DEDY SUWANDY, SH - 072310020
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR
BOGOR
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka sesungguhnya fungsi lembaga peradilan bagi Indonesia amatlah penting. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu diperlakukan di Indonesia, apakah ada system peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.
Sejarah perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama sejalan dengan perkembangan system hukum yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum bangsa Eropa (Belanda) dating ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. Lembaga pengadilan dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Ketika Hindia Belanda berkuasa dikenal adanya dualism dalam system pengadilan di Indonesia. Karena adanya pemisahan Pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah ada penklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiksi perkara yang ditangani.
Pada periode awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an dimana perkembangan hokum nasional diarahkan untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo kolonialisme maka peran pengadilan sangatlah penting dalam mendorong transformasi hokum colonial menjadi hukum nasional. Sedangkan perkembangan pengadilan dalam masa Orde Baru diarahkan untuk mengembalikan wibawa hukum dengan memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering) untuk suksesnya pembangunan. Namn kenyataan selama hamper 30 tahun lamanya kekuasaan Orde Baru, hukum dan peradilan justru mengalami kemerosotan karena tatanan hukum yang ada saat itu dilandasi oleh paradigma kekuasaan, sentralisme dan monolitik.
Namun seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan dimualinya era reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, bergulir pula tuntutan untuk mereformasi hukum secara menyeluruh. Dengan melihat hukum sebagai suatu sistem bagaimana dikemukakan L. M. Friedman, maka reformasi hukum selain menyangkut perbaikan substansi peraturan perundang-undangan, juga harus menyentuh struktur/kelembagaan penegakan hukum serta kultur/budaya hokum masyarakatnya. Sejalan dengan tuntutan Reformasi dan amandemen UUD 1945 muncul lembaga peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan keberadaannya dapat meningkatkan wibawa hukum dan peradilan di Indonesia.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah ini mengenai sejarah peradilan Indonesia sebagai salah satu bagian yang integral dari system hokum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.

B. Permasalahan
 Bagaimana sejarah lembaga peradilan yang ada di Indonesia dari masa ke masa?

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

A. Era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Tahun 1926-1942
Pada tahun 1918 oleh pemerintah Belanda dibentuk Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wadah bagi rakyat pribumi untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah jajahan, dan pada tahun 1926, Volksraad diberi kewenangan untuk ikut serta dalam pembentukan undang-undang berdasarkan perubahan II Grondwet Belanda Tahun 1922 khusus tentang tata pemerintahan Hindia Belanda). Kemudian Regerings Reglement diubah dan diganti menjadi IS (Indische Staatsregeling).
Pasal 131 IS (salinan Pasal 75 RR) menyatakan :
- Mendorong upaya legislasi (pembuatan hokum dalam bentuk tertulis) di Hindia Belanda;
- Dualisme hukum tetap dipertahankan;
- Namun ada dorongan unifikasi, yakni secara tidak penuh melalui penetapan Gubernur Jenderal atas perkara-perkara tertentu (jika dipandang perlu) yang harus diatur dengan hukum Eropa (toepasselijk Verklaring) dan secara pasif melalui mekanisme penundukkan diri secara sukarela terhadap hukum Eropa (vrijwilligeonderweping).

Pasal 163 IS (salinan pasal 109 RR baru), menyatakan:
“membedakan penduduk menjadi 3 golongan yaitu golongan Eropa, Pribumi dan Timur Asing”.
- Yang termasuk golongan Eropa (Pasal 163 ayat I.S) yaitu : Semua orang Belanda;
1. Semua orang yang berasal dari Eropa non Belanda;
2. Semua orang Jepang;
3. Semua orang (non 1, 2, 3) yang negaranya menerapkan hukum keluarga yang sama dengan hukum Belanda;
4. Semua anak sah dari orang-orang yang termasuk poin 2, 3, 4;
- Yang termasuk golongan pribumi (Pasal 163 ayat 3 I.S) :
1. Penduduk asli Hindia Belanda;
2. Golongan lain yang meleburkan diri dengan penduduk asli Hindia Belanda;
- Yang termasuk golongan Timur Asing (Pasal 163 ayat 4 I.S) :
Mereka yang tidak termasuk ke dalam golongan Eropa maupun golongan Pribumi. (agar tidak ada penghuni Hindia Belanda yang terlewatkan dari pembagian golongan penduduk).

B. Susunan Badan Peradilan bagi golongan Eropa Untuk Wilayah Jawa dan Madura:
a. Residentiegerecht, berada di kota karesidenan, dengan susunan kelembagaan seorang hakim tunggal dan seorang panitera (yang sekaligus bertugas di Pengadilan Landraad), dan memiliki kewenangan mengadili atas perkara perdata kecil (bagi orang-orang Eropa), perkara perdata dimana orang Eropa/Tionghoa sebagai pihak tergugat, perkara perdata orang-orang Indonesia danTimur Asing non Tionghoa yang menundukkan diri dengan sukarela pada hukum perdata Eropa (vrijwillige onderweping) dan persengketaan perjanjian kerja orang Indonesia dan Timur Asing non Tionghoa (walaupun tidak tunduk pada hukum perdata Eropa).
b. Raad van Justitie, terdapat di Jakarta (Batavia), membawahi wilayah: Jabar, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, dan Kalimantan Barat. Di Semarang, membawahi wilayah: Jateng dan Surabaya, membawahi wilayah: Jatim, Madura, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Susunan kelembagaan Raad van Justitie terdiri dari: Presiden, wakil presiden, anggota, Officier van Justitie, Substituut-Officier van Justitie, Justite, Panitera, Wakil Panitera pertama.
Raad van Justitie memiliki kewenangan:
1. Peradilan (bagi orang Eropa) untuk perkara pidana dan perdata pada umumnya;
2. Peradilan harian bagi orang Tionghoa yang melakukan gugatan perdata kepada sesama orang Tionghoa atau Eropa;
3. Peradilan harian atas perkara perdata dengan tergugat adalah orang Indonesia dan Timur Asing non Tionghoa yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa;
4. Peradilan bagi semua golongan atas perkara tertentu seperti: penemuan barang di laut, tindak pidana kepailitan, dan pembajakan dalam pelayaran perdagangan;
5. Menyelesaikan sengketa kewenangan antara: hakim dengan pegawai di bawahnya, hakim peradilan pemerintah dengan hakim peradilan bumiputera, dan antara hakim peradilan pemerintah dan peradilan bumiputera dengan hakim peradilan swapraja;
6. Sebagai pengadilan tingkat banding atas perkara yang telah diputus di pengadilan Residentiegerecht dan pengadilan Landraad. (dilakukan di RvJ Jakarta);
7. Juga dapat berfungsi sebagai Politierechter (hakim kepolisian) untuk perkara pidana ringan. Dilakukan oleh seorang hakim tunggal sehinga juga disbut sebagai “Kamar Tunggal”;
c. Hooggerechtshof, merupakan peradilan yang tertinggi di Hindia Belanda, yang hanya berkedudukan di Jakarta, untuk membawahi wilayah hukum seluruh Hindia Belanda. Presiden Hooggerechtshof diangkat oleh Raja dan kedudukannya diatur dalam Indische Staatsregeling, dan keputusan dari mahkamah Hooggerechtshof dinamakan sebagai “Arrest”.
Hooggerechtshof memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Pengawas pengadilan-pengadilan di bawahnya;
2. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas perkara pidana dg terdakwa para pegawai kehakiman, pegawai tinggi pemerintahan, dan anggota Volksraad;
3. Pengadilan tingkat banding atas perkara perdata yg diadili di Residentiegerecht di luar wil Jawa dan Madura dg nilai gugatan f.500 ke atas;
4. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas perkara perdata yang ditolak/dihambat penyelesaiannya di Raad van Justitie atau di Residentiegerecht;
5. Menyelesiakan sengketa kewenangan para hakim: hakim peradilan pemerintah dengan hakim bumiputera, hakim peradilan pemerintah dan peradilan bumiputera dengan hakim swapraja, hakim sipil dengan hakim militer;

C. Susunan Badan Pengadilan bagi Golongan Eropa untuk wilayah di Luar Jawa dan Madura:

a. Residentiegerecht, berada di ibu kota karesidenan dengan susunan terdiri dari seorang hakim sarjana hukum yang sekaligus sebagai ketua Landraad (jika ada), atau seorang pegawai pemerintahan Belanda (jika tdk ada landraad).
Residentiegerecht disini memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Perkara pidana untuk orang Eropa untuk tingkat I dan terakhir berupa tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal f.300 tanpa penyitaan barang. (Jika di daerah tersebut tidak ada). Landsgerecht sebagai pengadilan pidana semua golongan;
2. Perkara perdata pada tingkat I atas gugatan (oarng Eropa atau Tionghoa) pada orang Indonesia atauTimur Asing non Tionghoa yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan f.500-f.1500 (untuk wilayah Aceh, Sumatera Timur, Jambi, Riau, Bangka Belitung, Palembang, Lampung, Kalimantan – Barat – Selatan –Timur, Bali – Lombok, Sulawesi, Menado, dan Ternate);
3. Perkara perdata tingkat I atas gugatan perdata kepada tergugat orang Indonesia atau Timur Asing non Tionghoa yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan > f.1500 (untuk wilayah idem di atas);
4. Perkara perdata atas gugatan orang Eropa, Tionghoa, Timur Asing non Tionghoa dan Pribumi yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa (untuk wilayah Sumatera Barat dan Tapanuli);
5. Perkara perdata bagi orang Eropa danTionghoa dengan nilai gugatan tak terbatas (untuk wilayah Amboina, Tual, Irian Utara, dan Irian Barat Sedangkan bagi orang Pribumi dan TimurAsing non Tionghoa ke Residentiegerect).
b. Raad van Justitie, terdapat di daerah, Padang, membawahi wilayah: Sumbar, Tapanuli, dan Bengkulu. Medan, membawahi wilayah: Aceh, Sumatera Timur, dan Riau. Dan Makasar, membawahi wilayah: Sulawesi,Manado. Timor, dan Maluku. Kewenangan Raad van Justite sama dengan Raad van Justitie Jawa&Madura.
D. Susunan pengadilan bagi golongan Pribumi di wilayah Jawa dan Madura: Districtsgerecht.
a. Districtsgerecht terdapat di daerah kawedanan. Susunan kelembagaan yang terdiri dari seorang wedana sbg hakim tunggal, dengan kewenangan sebagai berikut:
1. Perkara pidana ringan/pelanaggaran (yang dilakukan oleh orang pribumi) dengan ancaman denda maksimal f.3,-
2. Perkara perdata (gugatan oleh orang non Eropa danTionghoa) dengan nilai gugatan.
b. Regentschapsgerecht, terdapat di kota-kota kabupaten, dengan susunan kelembagaan yang terdiri dari seorang Bupati (atau Patih) sebagai hakim tunggal, dibantu oleh pegawai kabupaten, penghulu dan jaksa (adjunct magistraat). Regentschapsgerecht, memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Pidana pelanggaran (oleh org Pribumi) dengan ancaman hukuman maksimal 6 hari atau denda maksimal f.10,-;
2. Perdata (atas gugatan oleh orang non Eropa dan Tionghoa) dengan tergugat orang Pribumi dengan nilai gugatan f.20;
3. Pengadilan tingkat banding dari Districtsgerecht;
c. Landraad, terdapat di kota-kota kabupaten atau kota lain sesuai kebutuhan. Susunan kelembagaan yaitu terdiri dari majelis hakim dengan seorang sarjana hukum sebagai hakim ketua yang membawahi pegawai pemerintahan sebagai hakim anggota, seorang panitera, seorang jaksa (jika perkara pidana), dan seorang penasihat sidang jika yang diperkarakan orang beragama Islam atau golongan lain yang berlaku hukum Adat. Landraad memiliki kewenangan sebagai berikut yaitu:
1. Perkara perdata dan pidana (yang mengadili golongan Pribumi) yang diperkenankan oleh UU untuk diadili pada tingkat pertama.
2. Perkara perdata pada tingkat pertama untuk golongan Timur Asing non Tionghoa yang berlaku hukum adatnya.
3. Pengadilan tingkat banding dari Regentschapsgerecht.
4. Permohonan banding dari Landraad ke Raad van Justite.
E. Susunan pengadilan bagi golongan Pribumi untuk Wilayah Luar Jawa dan Madura
a. Negorijrechtbank, hanya tedapat di desa (negorij) di Ambon. Susunan kelembagaannya terdiri dari majelis yang diketuai kepala negorij dengan anggota-anggota negorij sebagai anggota majelis. Kewenangan Negorijrechtbank adalah menangani Perkara pidana pelanggaran atas semua golongan yg diancam kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal f.15,- di luar pelanggaran fiscal.
b. Districtsgerecht, terdapat di kawedanan dari daerah Bangka Belitung, Menado,Sumbar, Tapanuli, dan Kalimantan Selatan-Timur. Susunan kelembagaannya terdiri dari hakim tunggal seorang wedana untuk wilayah Bangka Belitung dan Manado, atau majelis hakim dengan wedana sebagai ketua dan beberapa anggota yang ditunjuk oleh Residen. Districtsgerecht mempunyai kewenangan (untuk wilayah Bangka Belitung dan Manado) dalam perkara:
1. Perkara perdata atas gugatan oleh orang Pribumi danTimur Asing non Tionghoa kepada orang Pribumi dengan nilai gugatan 8 f.50,-;
2. Perkara pidana pelanggaran (oleh orang Pribumi) dengan ancaman kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal f.15,- di luar pelanggaran fiscal;
3. Banding putusan Districtsgerecht dilakukan ke Landraad untuk perkara dengan nilai > f.20,- , atau kebagian Magistraatsgerecht untuk perkara pidana pelanggaran dengan ancaman kurungan atau dengan f.3 < <>
c. Magistraatsgerecht, merupakan pengadilan setingkat Landgerecht untuk wilayah-wilayah yang tidak terdapat Landgerecht. Susunan kelembagaan Magistraatsgerecht adalah terdiri dari hakim tunggal yang merupakan pegawai-pegawai pemerintah Belanda yang diangkat oleh Residen. Kewenangannya adalah sebagai berikut:
1. Perkara pidana yang dilakukan oleh golongan Pribumi dan TimurAsing non Tionghoa;
2. Perkara perdata bagi orang pribumi dan Timur Asing non Tionghoa yang menundukkan diri secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan maksimal f.30,-;
3. Pengadilan tingkat banding dari putusan Distrcitsgerecht untuk perkara pidana pelanggaran dengan ancaman kurungan atau dengan f.3
d. Landgerecht, memiliki kedudukan dan susunan kelembagaan yang sama dengan Landraad di Jawa, kecuali untuk daerah yang kekurangan sarjana hukum diketuai oleh pegawai pemerintah Belanda. Kewenangan Landgerecht adalah menangani perkara perdata dan pidana sebagai pengadilan biasa bagi golongan pribumi. Dan mengani perkara banding yang dilakukan ke Raad van Justitie;
F. Lembaga peradilan lain di luar lembaga-lembaga di atas, yaitu terdiri dari:
a. Pengadilan Swapraja, terdapat di daerah yang memiliki pemerintahan sendiri dan diselenggarakan oleh pemerintah tersebut sebagai akibat kontrak politik dan ijin penyelenggaraannya oleh Pemerintah Belanda (contoh: wilayah Surakarta danYogyakarta).
b. Peradilan Agama, terdapat di seluruh wilayah Hindia Belanda yaitu pertama untuk wilayah Jawa & Madura, terdiri dari dua tingkat yakni: Raad agama (Pri-esterraad) dan Mahkamah Tinggi Islam (Hof voor Islamietische Zaken). Kedua untuk wilayah di luar Jawa & Madura susunannya sama, hanya penamaannya berbeda menyesuaikan dengan wilayah bersangkutan. Kewenangan Peradilan Agama yaitu mengadili perkara perdata hukum keluarga (masalah: nikah, talak/cerai, rujuk, waris, dan wakaf) orang Islam.
c. Pengadilan Militer, memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pidana oleh anggota militer (Angkatan Darat dan Angkatan Laut) bagi semua golongan. Susunan kelembagaan Peradilan Militer yaitu:
1. Krijgsraad untuk Angkatan Darat, terdapat di Padang, Cimahi, dan Makasar. Tdr dari majelis hakim dengan seorang sipil sarjana hukum sebagai ketua dan empat orang perwira sebagai anggota yang diangkat oleh Komandan Garnisum, dan seorang Penuntut Umum (Auditeur Militair) sarjana hukum.
2. Zeekrijgsraad_untuk Angkatan Laut, Susunan kelembagaannya terdiri dari perwira-perwira angkatan laut yang mengadili perkara di atas kapal.
3. Hoog Militair Gerechtshof, hanya terdapat di Batavia, sebagai pengadilan tingkat Banding dari Krijgsraad dan Zeekrijgsraad.
G. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Hukum yang berlaku pada masa pendudukan Jepang tidak berubah. Peraturan Osamu Sirei (UU BalaTentara Jepang) No. 1 Tahun 1942 pasal 3 menyatakan:
“Segala badan pemerintahan dan kekuasannya, hukum dan undangundang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.” Sehingga pada saat itu politik hukum kembali merujuk pada pasal 131 dan pasal 163 I.S.
Pemerintah Jepang melakukan perubahan atas badan-badan peradilan. Perubahan atas badan-badan peradilan tersebut antara lain, dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan, sehingga badan-badan peradilan yang ada diperuntukkan bagi semua golongan.
Berdasarkan kebijakan di atas, maka badan-badan peradilan yang ada tinggal meliputi:
1. Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi, dengan nama yang diganti menjadi Saiko Hoin.
2. Raad van Justite, yang berubah nama menjadi Koto Hoin.
3. Landraad, yang berubah nama menjadi Tiho Hoin.
4. Landgerecht, yang berubah nama menjadi Keizai Hoin.
5. Regentschapsgerecht, yang berubah nama menjadi Ken Hoin.
6. Districtsgerecht, yang berubah nama menjadi Gun Hoin.
H. Masa Kemerdekaan Tahun 1945 - sekarang
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (pra amandemen) menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Amandemen Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 juga menyatakan: “Semua badan negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Susunan pengadilan yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi dan Reglement tersebut merupakan pengadilan-pengadilan yang diakui oleh Negara. Namun, di luar pengadilan tersebut masih terdapat pengadilan yang berlakunya diakui pula oleh Negara, misalnya pengadilan Agama dan pengadilan Adat. Dasar diakuinya pengadilan agama adalah Pasal 134 Indische Ataatsregeiing (I.S) yang menentukan bahwa dengan menyimpang dari ketentuan tentang bak kekuasaan pengadilan-pengadilan yang diadakan oleh Negara, perkara-perkara perdata diantara orang-orang Islam, apabila sesuai dengan kehendak hukum adat, diadili oleh hukum agama, sepanjang tidak ditentukan lain d dalam undang-undang.
Adapun dasar berlakunya pengadilan adat ditentukan dalam Pasal 130 I.S, yang menentukan bahwa dimana-mana sepanjang rakyat Indonesia tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Ini berarti bahwa di samping pengadilan-pengadilan oleh Negara, diakui dan dibiarkan berlakunya pengadilan-pengadilan asli. Pengadilan ash ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Pengadilan adat di sebagian daerah yang langsung ada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda;
b. Pengadilan Swapraja.
Lembaga pengadilan kembali mengalami perubahan ketika Indonesia disusuki oleh Jepang. Pada waktu Balatentara jepang dating di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia-Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Raja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Dan sejak Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh Gunpokaigu, Gunritukaigi, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.
Oleh karena itu, semua badan-badan peradilan dari Pemerintah Hindia-Belanda, kecuali residentiegerecht, yang dihapuskan dengan Undang-undang No. 4 tahun 1942 diganti namanya, enjadi sebagai berikut:
a. Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);
b. Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian);
c. Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);
d. Districtsgerecht menjadi Gun Hooi (Pengadilan Kewedanaan).
Setelah Indonesia merdeka, di awal kemerdekaan belum terlihat adanya perubahan terhadap lembaga pengadilan. Berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945, maka susunan pengadilan masih menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 34 tahun 1942. Perubahan mulai terjadi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 tahun 1948. Undang-undang ini bermaksud melaksanakan Pasal 24 UUU 1945 tentang kekuasaan kehakiman sealigus juga mencabut Undang-undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 19 tahun 1948 dalam Negara RI dikenal adanya 3 lingkungan peradilan, yaitu :
1). Peradilan umum
2). Peradilan Tata Usaha Pemerintahan;
3). Peradilan Ketentaraan.
Selanjutnya Pasal 10 ayat 1 menyebutkan tentang sebagai “pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang menurut hokum yang hidup di masyarakat desa”. Tentang peradilan agama tidak disebutkan oleh Undang-undang No. 19 tahun 1948 itu, hanya dalam Pasal 35 ayat 2 ditetapkan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hokum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hokum agamanya, harus diperiksa oleh pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim beragama Islam, sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota.
Pada saat Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga peradilan di dalam konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan UUD 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik, maka dalam KRIS diatur pula tentang syarat-syarat pengangkatan, penghentiann pemecatan kecakapan dan kepribadian daripada Hakim. Badan-badan peradilan yang ada seperti badan peradilan umum tetap dipertahankan, termasuk juga Peradilan Swapraja tetap dilanjutkan, kecuali peradilan Swapraja di Jawa dan Sumatra telah dihapuskan dengan Undang-undang No. 23 tahun 1947. Peradilan tetap dipertahankan demikian juga peradilan agama. KRIS telah mengatur pula peradilan tata usaha sekalipun belum ada peraturan pelaksanaanya.
Perubahan terhadap lembaga pengadilan kembali terjadi setelah Republik Indonesia enjadi Negara kesatuan. Ketika Negara RIS menggunakan KRIS, namun setelah RI menjadi Negara Kesatuan KRIS tidak lagi digunakan, yang digunakan adalah UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara). Perubahan ini dengan sendirinya berpengaruh kepada lembaga peradilannya. Karena UUDS tidak lagi mengenal daerah-daerah atau Negara-negara bagian, berarti pula tidak dikenal lagi pengadilan-pengadilan di daerah bagian sebagai realisasi dari UUDS, maka pada tahun 1951 diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951. UU Darurat inilah yang kemudian menjadi dasar menghapuskan beberapa pengadilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan, termasuk secara berangsur-angsur menghapuskan pengadilan tertentu dan semua pengadilan adat.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai berlakunya kembali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa, namun badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang. Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan Orde baru yang disertai dengan tuntutan Reformasi di segala bidang termasuk hokum dan peradilan, maka para Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendesak emerintah supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena kekuasaan Pengadilan yang ada saat itu masih belum bisa dipisahkan dari Eksekutif, oleh karena untuk urusan administrasi dan finansial masih di bawah Menteri Kehakiman yang merupakan pembantu presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan Yudikatif yang mandiri dibawah Mahkamah Agung berlangsung cukup lama hingga kemudian mengalami perkembangan ang cukup mendasar, yakni setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi Yudikatif di bawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian di cabut dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar terhadap badan/lembaga peradilan di Indonesia. Perubahan ini tidak saja terjadi pada elemen lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada pengorganisasiannya, baik mengenai organisasinya, administrasi, dan finansial, yakni semula berada di bawah kekuasaan kehakiman berubah menjadi berada di bawah kekuasaan mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan finansial lembaga pengadilan bukan lagi menjadi urusan Departemen Hukum dan HAM melainkan menjadi urusan Mahkamah Agung. Sementara itu, organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan lainnya untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Perubahan pada elemen kelembagaan, yakni ditandai dengan dilahirkannya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan terhadap UUD 1945. Berdasarkan Pasal 12 UU No. 4 tahun 2004 menyebutkan sebagai berikut :
(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
 Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
 Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
(2). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakray bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Perubahan ini telah melahirkan 2 (dua) mahkamah di negeri ini dan keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yakni sama-sama sebagai pelaksana kekuasan kehakiman. Sekalipun kedudukannya sama, dalam hal kewenangan ternyata undang-undang memberikan kewenangan yang berbeda satu dengan yag lainnya.
Demikianlah perkembangan lembaga pengadilan yang terjadi di Indonesia. Apakah akan mengalami perubahan kembali, perubahan itu pasti terjadi karena hukum selalu ada karena manusia sedangkan manusia senantiasa bergerak dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tetap, namun apakah perubahan itu menjadi lebih baik ataukah malah menjadi semakin buruk, maka waktulah yang akan menentukan.

BAB III
Kesimpulan

Dari uraian perjalanan panjang sejarah lembaga peradilan di Indonesia dapat kita simpulkan bahwa lembaga Pengadilan senantiasa berubah dari waktu ke waktu mengikuti perubahan masyarakatnya. Perubahan itu tentunya kea rah penyempurnaan kelembagaan yang lebih baik sehingga bisa menjadikan Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sebagai pilar Negara hukum.

DAFTAR PUSTAKA

R. Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983.

HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN

HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN

Oleh: DEDDan Y ISKANDAR, SUKACA, EFFENDY HUTAPEA, dan ZULIANA
Sistem Hukum Indonesia
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan dasar dan tujuan Negara sebagaimana diletakkan oleh pendiri Republik Indonesia, mengikat sebagai landasan kebijakan Negara, baik dibidang ekonomi, sosial, politik dan hukum. Oleh karenanya politik hukum yang akan dijalankan bertitik tolak pada pandangan hidup, cita-negara dan cita hukum yang termuat dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana diamantkan dalam Pasal 1 ayat (3) batang tubung UUD 1945 , dimana
hukum merupakan perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi. Di Indonesia Hukum kita ditelurkan oleh dua lembaga yakni legislatif dan eksekutif dapat dilihat jelas pada hierarkis perundangan di indonesia dengan urutan berdasarkan Pasal UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, antara lain :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Undang-undang dan perda dibuat oleh lembaga legislatif, perpu, peraturan pemerintah dan perpres merupakan produk hukum dari eksekutif. Produk-produk tersebut merupakan produk dari pemegang kekuasaan di indonesia. Produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi dan biasanya ditaati. Dalam membuat peraturan perundang-undangan harus melewati tahap mendengarkan pendapat dari masyarakat. Jika hal ini dijalankan maka dapat dikatakan bahwa Undang-undang yang lahir merupakan keinginan individu-individu dalam masyarakat atau dengan kata lain berasal dari tekanan dalam diri tiap individu .
Permulaan munculnya Negara Hukum ketika pada zaman tokoh dari filsufmYunani dan Kristiani memunculkankan bahwa tujuan negara hukum adalah untuk mewujudkan kepentingan umum, hukum merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan tersebut .

Negara Hukum adalah suatu wilayah berdaulat yang penyelengaraan kekuasaan pemerintahannya berdasarkan hukum artinya kekuasaan negara itu didasarkan atas hukum bukan atas kekuasaan belaka atau dapat juga dikatakan pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham konstitusionalisme. Menurut doktrin Friederich Julius Stahl Negara Hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtstaat (Eropa Kontinental) dan Rule of Law (Anglo Saxon), dengan Ciri-ciri Rechtstaat menurutnya antara lain :
-Hak Asasi manusia;
-Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM;
-Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
-Peradilan tata usaha negara;
Pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan yang umumnya kita kenal, alhasil dari pengembangan yang dilakukan oleh Montesquieu, yaitu :

-Kekuasaan Legislatif yang membuat hukum;
-Kekuasaan Eksekustif yang menjalankan hukum;
-Kekuasaan Yudikatif yang menafsirkan hukum;

Pembagian kewenangan tersebut merupakan alternatif untuk membatasi kekuasaan penguasa, dengan membatasi kekuasaan dengan kekuasaan lain, maksudnya adalah untuk mencegah agar para penguasa jangan sampai menyalahgunakan kekuasaanya atau bertindak sewenang-wenang dan memperdalam cengkeraman totaliternya terhadap rakyat. Kebebasan politik hanya ada di negara-negara dimana kekuasaan negara bersama-sama dengan fungsi yang berhubungan tidak berada pada orang yang sama atau badan yang sama. apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif menyatu dalam satu organ tangan atau badan, tidak ada kebebasan; akan timbul keprihatinan, karena raja atau majelis akan melaksanakan hukum-hukum yang zalim, melaksanakan dengan cara yang zalim. Sebagaimana dengan Doktrin Lord Acton yang menyatakan bahwa :
“ Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya”.

Jadi ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dan bukan pemisahan kekuasaan.
Tidak semua orang dapat memaksa atau memberikan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah penguasa dalam hal ini pemerintah, karena penegakan hukum dalam suatu pelanggaran merupakan monopoli penguasa. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum. Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. Sebaliknya hukum itu pada hakikatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, membatasi ruang gerak dan memaksa. Hukum adalah kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mengusahakan terciptanya ketertiban. Akan tetapi karena adanya penguasa yang menyalahgunakan hukum serta menciptakan hukum semata-mata untuk kepentingannya sendiri, maka muncullah istilah rule of law. Rule of law artinya pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur, menguasai dan memaksa adalah hukum. Inilah yang dinamakan supremasi hukum.

Dalam pengaturan tersebut akan memunculkan dua masalah. Pertama, terjadi pembungkaman hak masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menolak atau menerima rencana tersebut; Kedua, ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi besar terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari yaitu diabaikannya hak-hak masyarakat yang melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal masyarakat setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah. penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Intervensi hukum ke dalam sistem politik. Karena salah satu ciri negara demokratis adalah ketika dapat berdiri di atas pondasi hukum dan ditegakkan melalui penegakkan hukum (Cornelis Lay, 40, 2006). Adanya rapat-rapat pemilihan di lingkup “negara” terkecil sekalipun seperti keluarga atau rapat RT, mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah diperkenalkan dari awal tentang persoalan kekuasaan dan relasi kekuasaan satu sama lain, Oleh karena, politik adalah persoalan relasi kuasa dan salah satu persoalan kunci dalam perpolitikan adalah relasi kuasa untuk mengelola kepentingan kolektif (Purwo Santoso, 2010). Dan ketika relasi kuasa yang menjadi pondasi dari bekerjanya sistem politik, diatur, dibatasi, bahkan diintervensi oleh nalar yuridis tersebut, maka yang terjadi adalah pencurian besar-besaran dari hak-hak sipil seseorang untuk berpartisipasi dalam ranah politik sumber kekuasaan menjadi 2 pengelompokkan umum, yaitu :
1. Kekuasaan formal selalu didasarkan pada posisi pada posisi individu didasarkan pada posisi individu dalam organisasi;
2. Kekuasaan personal Kekuasaan yang berasal dari karakteristik unik individu – individu.
Persoalan intervensi yang membuat mengapa persoalan kekuasaan di Indonesia seolah tidak akan pernah selesai. Bukan persoalan kekuasaan itu sendiri yang salah sehingga dapat menghasilkan absolutisme korupsi kekuasaan (Lord Acton). Tapi, kesadaran tentang relasi dan nafsu untuk berkuasa dalam politik dengan menjunjung tinggi etika sosial (social ethics) dalam politik itulah yang mesti dilahirkan dan dirawat. Cara berpikir yuridis mengandaikan bahwa setiap persoalan mesti diatur dalam mekanisme hukum yang memiliki kompensasi reward and punishment di dalamnya serta mesti tertuang dalam ketetapan legal-formal dalam konstitusional modern. Padahal, jika berbicara dalam konteks relasi kekuasaan, ketiga cabang kekuasaan tersebut telah saling bersentuhan dan saling mengendalikan satu dengan yang lainya sesuai dengan prinsip cheks and balances.

Hukum dan kekuasaan pada prinsipnya saling mengikat. Hukum digunakan oleh penguasa untuk menegakkan keadilan semesta yang seharusnya tidak memandang jabatan, kedudukan, atau kekayaan seseorang. Posisi hukum memang seharusnya di atas penguasa. Sementara itu, jika tidak ada pencipta hukum yang kemudian disamakan dengan penguasa, hukum juga tidak pernah bisa ditegakkan. Badan legislatif tetap saja menjadikan dirinya “penguasa”. Di sinilah, letak “kecacatan” hukum jika dibenturkan dengan kekuasaan. Susah-susah hukum dibuat. Namun, akhirnya, penguasa memanfaatkan hukum tersebut demi kepentingan Partai yang mayoritas dan kepentingan pribadinya. Padahal, biasanya semua penguasa atau penegak hukum akan berkoar bahwa semua orang harus mematuhi hukum. Hukum hanya bisa paksakan kepada masyarakat kecil, namun menjadi lumpuh saat berhadapan dengan kekuasaan dan uang. Sehingga dalam beberapa aspek, demokrasi dindonesia mendapat banyak pujian dari negara luar yang mengatakan Indonesia adalah negara yang paling demokratis, namun jika dilihat dari penegakan hukumnya masih sangat jauh dari harapan.

Hukum dan kekuasaan saling terkait dan dapat dipengaruhi oleh bebrbagai macam faktor, adapun pokok-pokok hubungan kekuasaan dengan Hukum sebagai berikut:
1. Kekuasaan tanpa hukum akan menjadi dictator;
Apabila hukum ditiadakan, maka penguasa akan menjalankan kekuasaannya sesuai keinginan sendiri, tanpa ada batasan sekalipun ada dan banyak masyarakat yang mengalami kerugian atas tindakan penguasa akibat kekuasaannya yang tidak ada batasannya, sehingga apabila ini terjadi, maka suatu Negara atau pemerintahan dapat mengakibatkan kehancuran, baik dari segi ekonomi, social budaya dan politik;

2. Hukum adalah sebagai pengendali kekuasaan
Dengan adanya hukum maka kekuasaan dapat terkendali, dimana penguasa tidak lagi sewenang-wenang untuk menjalankan kekuasaamya, karena ada hukum yang mengatur segala tindak tanduk dalam melaksanakan kekuasaan yang dimiliki penguasa;

3. Hukum sebagai alat kontrol kekuasaan
Dapat dijelaskan dengan adanya hukum, maka kekuasaan akan terkendali, Oleh karena adanya yang mengendalikan kekuasaan, maka segala sesuatu tindakan penguasa, telah dikontrol oleh hukum itu sendiri, sehingga tidak akan adalagi yang berjalan dengan sendirinya tanpa diatur oleh hukum. Kekuasaan itu harus terkontrol, agar tidak terjadi dictator, tentu yang mengontrol kekuasaan adalah hukum, dan penguasa dalam menjalankan kekuasaannya sesuai aturan hukum yang berlaku dan tidak terjadi kesewenang-wenangan;
4. Kekuasaan haaya dapat dijalankan berdasarkan hukum
Setiap penguasa menjalankan kekuasaannya haruslah dengan hukum yang telah ditetapkan, karena kekuasaan dan hukum haruslah sejalan dan saling melengkapi agar apa yang dilakukan penguasa atas kekuasaannya sesuai kehendak berbangsa dan bernegara;

5.Hukum adalah sebagai panglima yang dapat mengatur segala bentuk kekuasaan
Sebagai panglima artinya bahwa hukumlah diatas segala-galanya yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara
6.Kekuasaan tidak dapat dijalankan tanpa adanya hukum
Kekuasaan itu baru dapat berjalan apabila ada hukum yang mengatumya, apabila tidak diatur oleh hukum, maka roda pemerintahan menjadi timpang, karena hanya berdasarkan keinginan semata.
Dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 4 menyatakan :"Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah berdasarkan UUD" yang memimpin semua program kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakyat, berbangsa dan bernegara dalam segala aspek.