HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK
Oleh: Tanpa Nama, Mhs UID
Dosen: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA
A. Latar Belakang
Untuk dapat memahami hukum sebagai alat intervensi negara maju terhadap negara berkembang, pertama-tama harus dipahami, hukum memiliki banyak fungsi. Kurang tepat bila hukum semata-mata dipahami sebagai kaidah yang berfungsi untuk mengatur apa yang baik dan buruk bagi masyarakat. Dalam kenyataan sehari-hari hukum dapat berfungsi untuk berbagai kepentingan. Hukum dapat berfungsi sebagai alat pengubah masyarakat, hukum dapat berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat, bahkan hukum dapat berfungsi sebagai instrument politik.
Sebagai instrumen politik, hukum digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hukum sebagai instrumen politik terjadi saat penguasa menggunakan hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang dimilikinya. Penguasa dapat menggunakan hukum untuk membatasi, bahkan memberangus kekuatan oposisi dan kegiatan masyarakat. Sebaliknya, kekuatan oposisi ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat menggunakan hukum untuk menjatuhkan pemerintah.
Pada tingkat masyarakat internasional, ada dua cara yang kerap dilakukan negara maju dalam pemanfaatan hukum sebagai alat politik terhadap negara berkembang.
Pertama, dengan memanfaatkan perjanjian internasional. Kedua, dengan memanfaatkan ketergantungan di bidang tertentu untuk mendesak pemerintahan negara berkembang melakukan pembentukan atau perubahan terhadap peraturan perundang-undangannya.
Intervensi melalui dua cara ini tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian internasional berarti negara itu dengan sengaja membebankan dirinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional. Salah satu kewajiban itu adalah mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
Begitu pula dengan desakan negara maju atas pembentukan peraturan perundang-undangan negara berkembang dengan memanfaatkan faktor ketergantungan. Ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum internasional. Kerelaan memenuhi tuntutan dilakukan atas dasar ketidakberdayaan. Indonesia tidak banyak berkutik ketika Dana Moneter Internasional (IMF) mensyaratkan Indonesia untuk mengamandemen UU Kepailitan dan membentuk undang-undang Anti Monopoli. Demikian pula Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang bersedia memberi hibah (grant) ke Indonesia bila pemerintah mau membuat undang-undang Anti Pencucian Uang.
Pelanggaran terhadap hukum internasional kian tidak terasa jika intervensi yang dilakukan dan dikehendaki komponen dalam negeri negara berkembang itu sendiri, baik sadar maupun tidak. Di sini seolah-olah ada gayung bersambut antara apa yang diinginkan negara maju dengan komponen dalam negeri untuk mengubah peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks seperti inilah kemudian perjanjian internasional dimanfaatkan. Perjanjian internasional umumnya dirancang negara maju yang memiliki kepentingan. Perjanjian internasional dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan negara maju terbungkus dengan berbagai kalimat hukum yang canggih untuk melindungi kepentingan mereka yang akan membebani berbagai kewajiban bagi negara berkembang. Selanjutnya perjanjian internasional didiskusikan dengan negara berkembang dalam suatu konperensi internasional.
Berikutnya adalah proses sosialisasi dan upaya-upaya yang menyebabkan negara berkembang untuk turut dalam perjanjian internasional dimaksud. Ketika negara berkembang telah turut dalam perjanjian internasional itu, negara berkembang akan selalu diingatkan untuk mengubah atau mengamandemen ketentuan hukum nasionalnya.
Dalam konteks demikian, pembentukan atau amandemen terhadap peraturan perundang-undangan tidak bertujuan untuk merespons problem yang dihadapi masyarakatnya, tetapi dilakukan untuk merespons kewajiban yang diamanatkan dalam perjanjian internasional.
Pemanfaatan "ketergantungan" sebagai alat untuk mengintervensi kedaulatan dalam proses legislasi suatu negara terjadi karena negara maju telah lama melihat ketergantungan ekonomi negara berkembang. Mereka tahu, semakin negara berkembang tergantung secara ekonomi pada mereka atau lembaga keuangan internasional yang mereka kendalikan, semakin rentan negara berkembang itu untuk diintervensi dibidang peraturanperundang-undangannya.
Ketergantungan ekonomi dapat berbentuk insentif maupun sanksi. Insentif antara lain berupa hibah atau kuota tekstil yang diberikan kepada negara berkembang hingga tercipta ketergantungan. Ketergantungan inilah yang lalu dimanfaatkan untuk melakukan intervensi atas kedaulatan di bidang legislasi. Sementara sanksi yang dikenakan kepada negara berkembang yang tidak mengikuti kehendak negara maju dapat berupa penundaan kucuran pinjaman, pencabutan kuota bahkan dimasukkan dalam daftar hitam (black list). Sikap Indonesia.
Mengamati apa yang diuraikan ini, pertanyaan mendasar bagi kita adalah bagaimana kita harus menyikapi rongrongan terhadap kedaulatan dalam proses legislasi di Indonesia? Satu hal yang pasti, apa yang diuraikan di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak bersikap antinegara maju, anti-IMF, anti terhadap utang luar negeri, dan berbagai anti lainnya. Sikap "anti" tidak akan mengeluarkan kita dari masalah, justru akan menimbulkan masalah baru yang tidak diharapkan.
Apa yang diuraikan di atas dimaksudkan agar para anggota rakyat baru waspada bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat politik oleh kekuatan asing. Jika para anggota dewan telah menyadari hal ini, yang menjadi tantangan adalah bagaimana mereka dapat berupaya untuk menangkalnya dengan menggunakan akal dan nurani.
B.Akibat Hukum
Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus diatur dengan baik. Apabila pembicaraan sudah sampai kepada tata hukum, maka ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum itu. Hal ini tidak mengherankan, karena yang menjadi taruhan pada saat itu adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, ketertiban harus dipertahankan dengan mengesampingkan tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Hukum dan keadilan adalah titipan dari tuhan dan dari masyarakat yang harus ditegakkan untuk menjaga ketertiban hidup dan keserasiaan masyarakat. Sebagai titipan, hukum dan keadilan harus dipertanggungjawabkan didepan manusia dan didepan tuhan. Inti dari norma hukum itu sendiri adalah perbuatan yang bertanggungjawab. (Ka’bah: 2005; 81).
Dalam negara hukum, sebagaimana halnya Indonesia kekuasaan pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Kesinambungan sikap, konsistensi dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menetukan kadar kepastian dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum. Karena lembaga-lembaga kenegaraan senantiasa bertanggungjawab dan berwenang terhadap terhadap penyelenggaraan hukum, yang pada akhirnya merupakan produk dari proses politik. Kesinambungan sikap dan konsistensi tindakan mereka juga sangat tergantung dari stabilitas politik
Dengan pengertian bahwa suatu negara hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, maupun lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif selaku instrumen politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum. Namun hukum hanya memberikan kerangka idiologis dalam perubahan-perubahan social yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan diperlakukan sama. Hal ini sangat penting, karena tanpa jaminan tersebut, maka perubahan-perubahan social yang dikehendaki alam masyarakat hampir tidak mungkin, karena orang tidak percaya lagi kepada negara (pemerintah), kepada struktur dalam masyarakat, atau kepada siapa saja.
Menurut prof. Subekti, Politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Sedangkan menurut Prof, Zainuddin Ali, M.A, Hukum adalah pelembagaan aturan. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di control oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun Politik adalah permainan kekuasaan. Dalam Masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok.
C.Aspek sosiologi Hukum
Kajian tentang instrument politik di Indonesia berhubungan erat dengan kebijakan dibidang hukum, seperti sekeping mata uang yang sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam kenyataan bahwa hukum merupakan produk alat politik, yang diciptakan untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum berkaitan pula dengan manusia, yang memenuhi tugasnya didunia untuk menciptakan aturan hidup bersama yang baik, yakni secara rasional dan moral berpedoman kepada hak-hak asasi manusia. Sebagai produk politik hukum diciptakan oleh negara dan dianggap sah apabila dikukuhkan oleh negara.
Akan tetapi menurut ketua Jurusan Pascasarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), DR. H. Idrus Abdullah, SH, M.Hum, menyayangkan sikap politisi yang menggunakan instrument hukum sebagai alat politik, khususnya saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dimana, para politisi itu kerap kali mencari–cari kelemahan lawan politiknya yang berkaitan dengan hukum untuk membunuh karakter rivalnya ditengah–tengah masyarakat.“ Tindakan itu sudah melanggar moral dan etika politik serta peraturan yang ada. Selain itu, tindakan itu akan meracuni masyarakat dengan isu – isu hukum yang belum tentu benar. (Abdullah: Global FM).
Idrus mengungkapkan, antara hukum dan alat politik tidak boleh dijadikan satu, karena memiliki dunia yang berbeda. Penggunaan instrument hukum untuk menjatuhkan lawan politiknya saat pelaksanaan Pilkada, dinilai tidak tepat bila dilihat dari momentumnya. Jika isu yang digelontorkan itu benar dan dibuktikan dengan data – data akurat, hendaknya para politisi itu tidak ragu – ragu melaporkan ke lembaga penegak hukum.
Idrus mencontohkan, Pilkada di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang salah satu paket calon Bupati, yakni KH. Zulkifli Muhadli, yang diduga memiliki ijazah palsu, dari SDN 4 Taliwang. Dan masih banyak lagi dugaan kasus yang menjatuhkan lawan dalam proses pemilihan pejabat berlangsung. Belum lagi ditambah dengan Kasus dugaan ijazah palsu itu pernah digelontorkan lawan politik Zulkifli pada 5 tahun silam saat akan mencalonkan diri menjadi Bupati KSB. Tapi, keputusan pengadilan tata usaha negara Mataram menyebutkan, dugaan itu tidak benar adanya. Saat ini, isu itu kembali diangkat para politisi lawan politiknya, karena Zulkifli kembali mencalonkan diri sebagai calon Bupati KSB.
Lebih jauh Idrus menegaskan, ijazah palsu sudah masuk ranah hukum bukan politik. Artinya, suatu ijazah dikatakan palsu apabila sudah ada keputusan dari Pengadilan dengan mempertimbangkan hasil uji klinis atau uji materiil. KPU sendiri hanya melakukan verifikasi perlengkapan fisik bakal calon, termasuk ijazah. Apabila dianggap sudah sah secara formal, maka bakal calon itu dinyatakan lolos sebagai seorang calon. “ Akan berbeda apabila, sudah ada keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa ijazah yang dimiliki Zulkifli palsu, maka segala produk yang telah dibuat Zulkifli sebagai Bupati KSB selama 5 tahun menjadi batal demi hukum.“pungkasnya.
Dengan demikian ukurannya bukan “sudah berapa jumlah undang-undang yang dibuat”, “berapa tambahan gedung pengadilan” dan sebagainya, melainkan apakah “jalan masuk kepada keadilan” itu telah dirasakan oleh kebanyakan orang di Indonesia, khususnya dari lapisan bawah yang ada di pedesaan.
Hukum merupakan alat yang dipergunakan untuk menata kehidupan sosial yang penuh dengan gejolak dan dinamika. Magnis Suseno mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial berdimensi politik, dengan kata lain manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan bersama. Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang efektif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam negara supaya tidak terjadi kekacauan dan pertentangan satu dengan yang lainnya. Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau perbedaan.
Sehubungan dengan hal ini maka perlu diadakan penataan terhadap lembaga politik yang diarahkan untuk terciptanya suatu kepemimpinan yang berwibawa, aparat penegak hukum yang bersih, jujur, efisien dan bertanggungjawab, demokratis dan memiliki komitmen yang tinggi dengan nasib rakyat banyak.
Dari segi sosiologis sering dikatakan oleh para ahli sosiologi hukum, bahwa proses pembuatan undang-undang, pelaksanaan undang-undang, maupun peranan-peranan yang tersangkut di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial budaya. Di Indonesia terlihat bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi pembentukan dan penegakan hukum, sehingga para pengamat hukum dan masyarakat berpendapat bahwa perkembangan struktur social di Indonesia tidak sesuai dengan hukumnya. Memang bisa dibayangkan bahwa akal yang bekerja berdasarkan kehendak bebas, dapat sampai kepada aneka keputusan yang berbeda atau bersilangan. Untuk itu perlu adanya patokan perilaku yang sedermikian rupa, sehingga dapat dibedakan mana perilaku yang dapat diterima oleh umum dan mana yang tidak. Oleh karena itu pemerintah selaku penyelenggara negara secara politis harus dapat memberikan patokan atau batasan terhadap produk hukum yang dikeluarkan, sehingga tidak terjadi salah tafsir antara berbagai pihak dan kalangan, demi terciptanya kepastian hokum.
Perubahan hukum muncul dari proses politik dan tidak dari tindakan kebijaksanaan oleh lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi tuntutan para pejuang politik. Dalam hal ini pemisahan antara hukum dan politik harus jelas, dan pelanggaran hukum harus ditindak dengan tegas tanpa adanya perbedaan. Kepastian hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. Rawls memberi nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum, sehingga hukum dapat memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat ini terlihat bahwa hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas politik negara.
Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh sifat serta karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan politik serta proses perubahan tatanan sosial. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa stabilitas politik sangat perlu dijaga agar jangan sampai terjadinya kekacauan dan ketegangan politik, sehingga dapat menciptakan keresahan dalam masyarakat. Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan partisipasi politik. Adapun yang penting menurut tinjauan kebijakan strategis, ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofis supaya setiap garis kebijakan dan aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan cultural merupakan tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya. Apabila stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknyamaka tidak mungkin hal tersebut dapat dicapai dengan baik.
Terakhir Firdaus dalam bukunya yang berjudul tinjauan Sosiologis terhadap intrument Politik dan hukum bahwa “ The country is as an institutional that will bring into the reality of peoples’ hope to get the order, fair and prosperous life. Through the government should be able to carry out the state base on low supremacyn as a system in creating any kinds of policies. In attendance for creating its goal, the government ought to create the stability of politics. Thus, the low decisions can be applied consistently as to gain the real low for the sake of public order and people prosperous. It’s the same with the political power, run by government and other institutions, should be concur eon with the constitutional agreement, as to get the low supremacy. In this case, all the community has to realize the low implementation in our daily life”.
Jumat, 18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar