Jumat, 18 Juni 2010

“TEBANG PILIH KASUS KORUPSI DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

TEBANG PILIH KASUS KORUPSI DALAM
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Guntoro, Mhs UID, Angkt XI
Dosen Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA.

I.Pendahuluan
Beberapa hari yang lalu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menuding pemerintah melakukan praktik tebang pilih yang sarat muatan politis dalam penuntasan kasus korupsi di negeri ini. Pernyataan Megawati tersebut menyikapi proses hukum sejumlah kasus lama yang diduga melibatkan beberapa anggota partai pendukung Panitia Khusus Bank Century setelah kalah koalisi. Hal ini diungkapkan Megawati pada Konferensi Daerah (Konferda) ketiga PDI Perjuangan Propinsi Papua di Hotel Rimba Papua, Timika, Papua, Selasa (15/3) malam. Megawati menjelaskan, keganjilan tersebut terlihat seperti pada kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang melibatkan beberapa kader PDI Perjuangan.
Pernyataan Megawati tersebut sangat mengejutkan bagi kita semua. Sebagai mantan orang nomor satu di republik ini dan paham betul seluk beluk pemerintahan, pernyataan tersebut adalah hal tak lazim. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa ternyata dalam prakteknya masih ada praktek tebang pilih. Sangat ironis apabila pernyataan Megawati itu benar, karena disatu sisi pemerintahan SBY berkomitmen memberantas korupsi sampai tuntas tanpa pandang bulu

II.Korupsi di Indonesia
A.Pengertian Korupsi.
Korupsi dalam istilah Kamus Bahasa Indonesia mengandung pengertian, kecurangan dalam melaksanakan jabatannya seperti memakai uang, minta sogok dsb. Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan . Namun dalam kenyataannya seperti yang kita ketahui perilaku korupsi seringkali tidak harus selalu melibatkan negara, aparatur Negara ataupun hubungan negara.
Korupsi dalam praktiknya dilapangan dapat berwujud dalam tiga bentuk yaitu : 1) sogokan (bribery), 2) pemerasan (estortion) dan 3) nepotisme (nepotism). Untuk dapat terlaksana ketiga bentuk korupsi tersebut, maka dibutuhkan adanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang, dimana kewenangan tersebut adalah akibat jabatan yang diembannya waktu itu. Menjadi sangat heboh dan destruktif apabila kemudian ternyata kewenangan karena jabatan tersebut adalah kewenangan yang mengatur hajat hidup orang banyak seperti finansial (keuangan), politik (kebijakan), hukum (ketertiban masyarakat) dan sektor pertahanan. Maka tidaklah terlalu berlebihan bahkan menjadi suatu keharusan apabila korupsi dinyatakan sebagai extra ordinary crime bukan lagi tindak pidana biasa.
Sedangkan menurut hukum berdasarkan pasal 2 UU No. 31 th. 1999 korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan / perekonomian negara . Sehingga menurut hukum suatu tindakan tersebut dianggap sebagai suatu tindakan korupsi apabila terdapat tiga unsur didalamnya yaitu:
1. Secara melawan hukum yang artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatu dalam peraturan perundang-undangan ( melawan hukum formil), namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan hukum materiil, maka perbuatan tersebut dapat dipidanakan.
2. Memperkaya diri sendiri/ orang lain
3. “dapat” merugikan keuangan perekonomian negara, yang mana tindakan korupsi telah dianggap ada apabila ada unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan terpenuhi, bukan dengan timbulnya akibat.
Oleh karena itu secara umum korupsi haruslah diletakkan kedalam ranah publik atau dengan kata lain semua hal yang menyalahgunakan kekuasaan publik dan merugikan negara adalah tindakan korupsi. Istilah korupsi yang mengandung makna dan pengertian yang begitu luas ini, menurut Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya etika administrasi negara (1992:208) didukung oleh kenyataan bahwa korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang punya itikad kurang baik, dan manusia sebagai subjek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak baik tersebut.
Oleh karena itu, dapat dikemukakan secara singkat bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (nonviolence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran

B. Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong , ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Survei tersebut memang tidak mengejutkan kita karena kita harus akui, korupsi di negeri ini seperti budaya yang sulit dihilangkan.
Korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan merajalela dan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan luar biasa (bahaya laten) Sudah lusinan koruptor yang tertangkap lalu diadili dan mendapatkan hukuman, entah itu berat atau ringan, baik itu dari kalangan eksekutif, legislatif dan yudikati, ternyata tidak juga menjadikan jera para pelaku korupsi. Korupsi masih saja marak terjadi atau bahkan sementara orang mengatakan makin marak saja terjadi, bahkan saat ini masyarakat disunguhi adanya konpirasi korupsi penggelapan pajak 28 Milyard yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus Tambunan, jaksa penuntut umum, kepolisian, hakim dan pengacara yang notabne mereka adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sepertinya sulit untuk dihilangkan, padahal menurut Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) ) kalau kita ingin belajar dari negara Latvia dan China yang berani melukan rombakan besar untuk menumpas koruptor di negara mereka. sebelum tahun 1998, Latvia negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, akhirnya negara itu menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi.
Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang begitu parah, akhirnya negara tersebut menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi. “Melalui undang-undang ini, seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan semua tokoh pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi,” paparnya. Sementara itu, di China dilakukan pemutihan seluruh koruptor yang telah melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, maka pejabat yang korupsi langsung dijatuhi hukuman mati. “Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China telah dijatuhi hukuman mati. Tapi, sekarang China juga menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,” tambahnya.
Namun jika kita memutar sedikit sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, maka sejak rezim Presiden Soekarno sampai Presiden SBY, pemberantasan korupsi sudah mulai dilakukan. Sejak tahun 1960 telah melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada tahun 1971, diterbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian pada tahun 1999 diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hingga pada tahun 2006, Pemerintah juga telah meratifikasi kovenan internasional tentang anti korupsi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satgas Mafia Hukum. Hal tersebut semakin menegaskan komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi di Negara kita.
Selain itu juga, persoalan korupsi tidak cukup dengan aturan aturan-aturan tertulis dan institusi penindaknya akan tetapi persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara.sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuarakannya.
Lalu yang menjadi fokus kita semua adalah mana yang lebih prioritas dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?, apakah aturan-aturan hukum tersebut harus diperbaiki untuk memberikan sanksi yang keras bagi koruptor misalnya hukuman mati seperti di cina, atau institusi aparat penegak hukum harus lebih agresif dan tanpa kompromi menindak korupsi atau moralitas bangsa yang harus dibenahi. Ketiga-tiganya haruslah berjalan berdampingan dan saling bersinergi, sehingga kita berharap suatu saat bangsa ini bebas dari korupsi.
Keberadaan KPK sejak kelahirannya tahun 2003 setidaknya telah memberikan terapi kejut pagi praktisi korupsi. Sejak 2003 hingga 2010 KPK telah berhasil mem”bui”kan pejabat-pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, anggota DPR/DPRD, praktisi hukum, birokrat, pengusaha dan pejabat Negara lainnya. Bahkan beberapa hari yang lalu KPK berhasil menangkap Hakim Ibrahim (Hakim PTTUN), yang ditangkap KPK lantaran menerima suap sebesar Rp. 300 juta dari pengacara Adner Sirait yang tengah menangani kasus sengketa lahan milik Pemprov DKI Jakarta. Bahkan desakan dari masyarakat agar KPK dilibatkan secara aktif dalam kasus konpirasi korupsi penggelapan pajak 28 Milyar yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus tambunan dengan melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara terus bergulir. Desakan ini semata-mata adalah kepecayaan publik terhadap KPK sebagai institusi yang independen untuk menuntaskan korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya, apalagi keberadaan Satuan Tugas (Satgas) mafia hukum yang dibentuk Presiden SBY telah memberikan kegelisahan bagi koruptor-koruptor yang saat ini masih lepas dari jeratan hukum.
C.Tebang Pilih Kasus Korupsi, adakah?

Penyataan Mantan Presiden Megawati, Soekarno Putri yang menuding pemerintah melakukan praktik tebang pilih yang sarat muatan politis dalam penuntasan kasus korupsi di negeri ini, haruslah ditanggapi sebagai kritik. Sebagai Mantan orang satu di negeri ini Megawati pasti tahu betul seluk beluk korupsi di negeri ini.
Diluar aspek politis, pernyataan Megawati ttersebut bukanlah kekesalannya terhadap dipanggilnya beberapa politisi PDIP oleh KPK dalam dugaan suap yang melibatkan deputi senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom dan tidak jelasnya arah kasus Ballout Bank Century 6,7 Trilyun yang melibatkan Wakil Presiden Boediono yang pada saat itu menjabat Gubenur BI serta Menteri Keuangan (ketua KSSK) Sri Mulyani, yang secara jelas dan tegas berdasarkan rekomendasi sebagian besar Pansus Bank Century (Komisi III DPR) adanya dugaan kesalahan dalam mengambil kebijakan yang dilakukan Boediono dan Sri mulyani.
Lalu, yang menjadi pertanyaan kita, adakah tebang pilih kasus korupsi di negeri ini? Meski sukses memenjarakan sejumlah pejabat yang terlibat korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih dipandang tebang pilih dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Akibatnya, banyak pejabat yang tersangkut korupsi menghirup udara bebas.
Kasus tebang pilih ini dapat dilihat pada kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom sarat dengan muatan politis. Pelaku penerima suap yang merupakan anggota dewan sampai saat ini tidak satupun ditangkap aparat penegak hukum. Padahal ada pengakuan Agus Condro yang menerima duit Rp. 500 juta.. atau kasus Penyediaan mobil Pemadam kebakaran (damkar) dimana KPK telah mem”bui”kan beberapa pejabat-pejabat/kepala daerah dan staf pegawai/sekjen Departemen Dalam Negeri namun KPK belum mem”bui”kan Mantan Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, yang diduga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus damkar ini.
Kalau kita mundur sejenak, pada kasus-kasus korupsi yang sudah dikerjakan KPK bisa kita lihat pada kasus sebelumnya, contohnya adalah akasus besar yang mendapat sorotan publik adalah skandal korupsi yang melanda Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kasus ini, KPK kehilangan kemampuan dan keberanian untuk menuntaskan semua kasus korupsi yang terjadi. Sekalipun sudah mendorong beberapa aktor utama skandal korupsi KPU ke pengadilan dan sebagiannya sudah dinyatakan bersalah, KPK dapat dikatakan gagal melakukan penyelesaian secara menyeluruh. Kegagalan tersebut terjadi karena sampai saat ini KPK hanya menyentuh secara terbatas aktor-aktor yang terkait dengan skandal korupsi KPU. Sebagian kalangan menilai, proses hukum terhadap Ketua KPU menjadi lebih mudah karena posisi politik Nazaruddin Sjamsuddin tidak sekuat beberapa anggota KPU yang lain. Padahal, dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, kalau salah seorang pelaku sudah dijadikan tersangka (apalagi Nazaruddin sudah dinyatakan bersalah), tidak ada alasan untuk tidak menindaklanjuti proses hukum pelaku yang lain.
Karena perbedaan perlakuan itu, beberapa anggota Komisi III DPR pernah
menyatakan bahwa KPK diskriminatif dalam pengusutan skandal korupsi di tubuh
KPU. Bahkan, dalam pandangan salah seorang anggota Ketua Komisi III DPR, Benny Harman (dari Fraksi Partai Demokrat), sejak kasus KPU muncul, ia sudah mencium ada beberapa orang yang tidak akan diseret KPK Hampir dapat dipastikan, pandangan Benny Harman didasarkan pada posisi politik beberapa
anggota KPU.
Contoh lain yang cukup menarik untuk disimak adalah pengungkapan kasus korupsi penyalahgunaan Dana Abadi Umat (DAU). Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu telah menyentuh beberapa orang yang dianggap punya peran penting dalam penyalahgunaan DAU, termasuk mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar.
Dikatakan menarik, ketika permulaan proses hukum terhadap Said Agil disebutkan bahwa sebagian DAU dinikmati oleh pejabat negara, mulai dari anggota DPR sampai anggota kabinet. Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu tidak kunjung bergerak kepada pihak-pihak lain yang juga ikut menerima aliran DAU. Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi, semua pihak yang menerima aliran DAU harus ikut bertanggung jawab.
Kasus yang saat ini ditunggu-tunggu publik dalam menilai kinerja KPK pasca kriminalisasi Bibit-Chandra adalah kasus ballout Bank Century Rp. 6,7 Trilyun. Rekomendasi pansus Bank Centry DPR sangat jelas menyatakan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani telah melakukan pelanggaran dalam mengambil kebijakan dan untuk itu harus bertanggungjawab. Namun hingga kini nasib kasus Bank Century tak jelas dan tertutupi kasus Gayus Tambunan
Fenomena tersebut menunjukkan terjadinya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi jika pelaku-pelaku korupsi itu mempunyai kedekatan dengan elit politik dan/ataupun mempunyai kekuatan politik dan uang yang kuat, apalagi jika kekuatan politik dan uang dimiliki sesorang (baca: koruptor) maka hal mustahil korupto-koruptor tersebut tidak akan tersentuh hukum.
D.Tebang Pilih Kasus Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Seperti dikemukakan penulis diatas, koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan dan/atau mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah menghenrankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi panglima tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan.
Para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah berpegang pada hukum positif yang berlaku, namun dari sudut politik, orang tidak hanya melihat pada pelaksanaan hukum an sich, akan tetapi juga mempertimbangkan akibat-akibat suatu keputusan yang berlandaskan hukum pada kepentingan bangsa dan Negara yang lebih luas. Kedua macam sikap dan pandangan itu acap kali menimbulkan keraguan dalam melaksanakan hokum di lapangan.
Jadi sulit sekali bagi kita untuk memisahkan hukum, politik, dan ekonomi mengingat hukum merupakan produk bersama DPR (sekumpulan politisi) dengan pemerintah, walaupun sudah ada political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mengedepankan supremasi hukum, namun hal tersebut belumlah cukup dan mungkin hanya akan menjadi jargon-jargon politik, untuk itu diperlukan political action (aksi politik) yang nyata di lapangan, yang tentunya hal ini akan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Namun mengingat pemerintahan SBY jilid II dibentuk merupakan kualisi partai politik, rasanya lima tahun kedepan sulit bagi kita untuk mengatakan hukum menjadi panglima atau istilah sosiologi hukumnya, hukum baik secara yuridis dan empiris tidak mengalami pertentangan dalam pelaksanaan di masyarakat
Korupsi sebagai musuh bersama, tetap akan ada. Kita tetap akan dipertontonkan keberhasilan aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor, namun jangan banyak berharap para koruptor yang bersembunyi di ketiak penguasa akan tersentuh hukum, kecuali ada keberanian dari pemerintahan SBY bahwa pemberantasan korupsi di negeri tanpa tebang pilih, smoga.

E.Kesimpulan.
Dalam tulisan akhir ini penulis mencoba menyimpulkan sebagai berikut :
1.Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan
2.Korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan merajalela, bahkan sulit untuk diberantas. Dalam sejarah negeri pemberantasan korupsi sudah mulai dilakukan di rezim soekarno hingga Presiden SBY, baik itu melalui produk hukum dan institusi hukum penindaknya.
3. Pemberantasan kasus korupsi di Indonesia dalam faktanya ada tebang pilih. KPK sebagai institusi yang masih dipercayai publik ternyata dalam menangani korusi masih adanya tebang pilih.
4. Tebang pilih kasus korupsi ini dikarenakan pelaku korupsi tersebut mempunyai kedekatan dengan penguasa dan mempunyai kekuatan politik ekonomi yang kuat.
5. Dalam ilmu sosiologi hukum dijelaskan bahwa kekuatan politik ekonomi mempengaruhi hukum itu dijalankan. Hukum belum menjadi panglima. Tapi hukum hanyalah posisis tawar menawar, bagi mereka yang mempunyai kekuatan politik dan ekonomi di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Lengkap 2005: Bandung ,Fokus Media, , 2005.
S. Wojowansito, Kamus Bahasa Indonesia : Bandung, Shinta Dharma, 1972
Ali, Zainudin, Sosiologi Hukum, Cet. 4: Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Sumardjan, Selo, Dalam Pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard, 1998.
Media Lain :
http://vhajrie27.wordpress.com/2010/04/05/pemberantasan-korupsi-di-indonesi/
http://impian-kita.blogspot.com/2010/04/memalukan-indonesia-negara-terkorup.html
http://education-lili.blogspot.com/2009/02/pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
http://hariansib.com/?p=117776
http://www.forum-politisi.org/berita/article.php?id=848
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-TebangPilih-Berantas-Korupsi,1
http://bataviase.co.id/node/87330
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/12167-kpk-tebang-pilih-dalam-kasus-mirada-gulto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar