Sabtu, 17 Juli 2010

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP ANAK JALANAN

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP ANAK JALANAN
Oleh: Muris Lahayati, MHS S2 Ilmu HUKUM UID
Dosen: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia sejak bulan Agustus 1997 telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.Puluhan juta jiwa penduduk angsung terperosok di bawah garis kemiskinan. Hal inidapat dilihat pada waktu sebelum krisis ekonomi melanda, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan mencapai 20-25 juta jiwa, tetapi setelah terjadi krisis ekonomi angka tersebut melonjak drastis, pada tahun1998 tercatat 79 juta jiwa atau sekitar 40% dari penduduk Indonesia dan setelah dikoreksi kembali oleh BPS pada tahun 1999 tercatat 49 juta jiwa penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan, (St. Sularto, 2000).Makin bertambahnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut terjadi karena secara umum kelompok masyarakat yang paling terpukul oleh krisis ekonomi yang berke panjangan adalah mereka yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat yang tidak stabil, mudah tergeser, rapuh, miskin dan jauh dari jangkauan pembangunan. Kelompok inilah yang menurut Bagong Suyanto disebut sebagai massa rentan, kelompok marjinal atau masyarakat miskin. Kelompok miskin tersebut umumnya buta hukum, jauh dari akses pelayanan publik, terisolasi dari informasi dan koneksi, tidak memiliki patron yang kuat, sehingga sangat tergantung pada sedikit sumber penghasilan.Dampak yang ditimbulkan dari keterbatasan-keterbatasan tersebut telah menyebabkan kerentanan penderitaan yang lebih parah. Oleh karena itu kelompokmasyarakat miskin sering mengalami gangguan kejiwaan maupun fisik sebagaiakibat dari ketidak ampuannya dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar hidupnya dalam waktu yang cenderung berkepanjangan Menurut Bagong Suyanto, di wilayah perkotaan, keberadaan kelompok tersebut akanterlihat pada sederetan perkampungan kumuh atau disebut dengan daerah slum area.Secara umum yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat miskin itu adalah tukang becak, pembantu rumah tangga, kuli bangunan, pedagang kaki lima, dansebagainya yang kebanyakan bekerja disektor informal. Sedangkan pada masyarakat perdesaan, kelompok yang sangat rentan biasanya buruh tani, petani gurem, buruhperkebunan, dan lainnya yang tidak memiliki penghasilan tetap.Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarga tersebut telah berakibat buruk pada status gizi dan kesehatan serta kualitas anak, yang jelas-jelas mempengaruhi tingkat kesejahteraan anak itu sendiri. Oleh karena itu dikhawatirkanakan timbul suatu generasi yang tingkat kecerdasan, kesehatan fisik dan mentalnya berkurang, sehingga akan terjadi lost generation. Kemiskinan akibat krisis juga akanmeningkatkan eksploitasi terhadap anak dalam melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan atau keahlian tertentu, seperti pemulung, pedagang asongan dan prostitusi. Disamping itu krisis ekonomi juga melahirkan anak-anak yang tergolong sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, seperti anak terlantar,anak nakal, pecandu narkotika, balita terlantar, anak jalanan dan lain sebagainyayang jumlahnya kian hari kian meningkat.Meningkatnya populasi anak jalanan terutama di kota-kota besar di Indonesia telah memperlihatkan fakta bahwa anak-anak yang seharusnya berada dalam dunianya,harus berhadapan pada dunia orang dewasa. Populasi anak jalanan meningkat hingga mencapai angka 40% ditahun 1999, dan di Bandar Lampung sendiri, sebagaipintu gerbang dari dan akan ke Sumatera jumlah anak jalanannya meningkat cukup tajam dari 748 anak menjadi 1.314 anak (Lampost, 2 April 2001), dan saat inidiperkirakan sudah meningkat lebih kurang 2 - 4% per tahun.Munculnya fenomena seperti di atas tentu menjadi sebuah pertanyaan besarmanakala pada konstitusi dasar bangsa Indonesia diakui pelaksanaan dan menjamin hak-hak anak, namun disisi lain permasalahan anak banyak terjadi, padahal dalam UUD 1945 Pasal 28 b ayat (2) disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan darikekerasan dan diskriminasi.Berpangkal dari landasan hukum di atas sebenarnya dari sisi esensi pasalnya secaraluas telah menyebutkan perlindungan anak yang mencakup aspek kelangsunganhidup, tumbuh kembang serta berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasandan diskriminasi.Begitu pula pada Pasal 34 UUD 1945 juga dijelaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini paling tidak memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan anak terutama memenuhi kebutuhandan anak-anak yang dalam kondisi terlantar. Salah satu yang termasuk dalam anak-anak terlantar adalah anak-anak jalanan.Ini sama sekali bukan amanat UUD 45, biarpun sudah 63 tahun menghirup kemerdekaan. Enam puluh tiga tahun adalah angka ketika junjungan Nabi Besar Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa salam berpulang. Kalau kalimat itu adalah amanat, maka harus tercermin dalam setiap APBN, APBD, dan juga berbagai-bagai organisasi sosial kemasyarakatan dengan atau tanpa embel-embel agama. Juga keluarga-keluarga kaya dan mampu yang dengan kedermawanan hatinya yang ikhlas dan tulus memencet atau memutar engsel kaca mobilnya dan dengan uang sebesar-besarnya mengulurkan jari tangannya untuk disambut para kaum miskin dan terlantar. Kadang dengan sedikit keluhan dan do’a dari kamu terpuruk ini :”alhamdulillah semoga Allah menggantinya dengan yang lebih besar lagi“. Kaum miskin memang jauh dari tepat untuk dimasukkan sebagai amanat UUD 45, tapi lebih tepat sebagai objek untuk mengisi pundi-pundi kaum terhormat
B. PERMASALAHAN
Bagaimanakah solusi sosiologis yang dapat dilakukan pemerintah pusat dan daerah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial dalam menangani masalah anak jalanan.
Bagaimana menyelesaikan problem anak jalanan, yang merupakan salah satu produk peradaban kapitalisme ini, memang tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri oleh kelompok masyarakat. Buktinya sudah banyak LSM yang peduli untuk mengurus mereka, sekaligus juga banyak yang gulung tikar.
Bagaimana pogram pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan Anak Jalanan

BAB II
PEMBAHASAN


A.Anak Jalanan; Siapa Peduli

Budi, sebut saja begitu, bocah kecil berkepala gundul itu tengah sibuk menghitung kepingan rupiah hasil jerih payahnya mengamen. Profesi yang emang setiap harinya ia jalani. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hujan yang mengguyur kota Jakarta sudah mulai mereda. Menyisakan jalanan yang agak licin dan tanah basah. Di depan toko elektronik, Budi diam mematung sambil matanya tak berkedip melihat tayangan telenovela. Mungkin ia sedang mencoba memahami arti hidup ini. Sebab yang ia tahu dalam film, bahwa kehidupan itu serba mudah dan enak. Itu sebabnya, Budi sempat juga bermimpi ingin menjalani kisah hidup seperti dalam film itu.
Menjelang maghrib, Budi terlihat kembali memainkan gitar mungilnya sambil bernyanyi dengan suara yang super sumbang di sebuah bis kota. Ya, anak umur 11 tahun itu seperti nggak mengenal waktu. Sebab waktu baginya ibarat harapan, yang akan terus dikejar. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa di jalanan adalah hidupnya. Ia nggak kenal siapa orangtuanya. Yang ia kenal hanya uang, petugas tramtib, dan teman sesama anak jalanan.
Dari hari ke hari hidup Budi adalah di jalanan. Langit jadi atapnya, dan angin menjadi selimutnya. Itu dilakoni bukan karena Budi betah dengan kehidupan seperti itu, justru ia pun pernah ingin untuk hidup seperti layaknya anak-anak lain yang punya orangtua. Di saat Budi harus bersusah pTayah mengumpulkan uang recehan di terik matahari dan guyuran hujan, anak-anak yang lain bisa sekolah, punya pakaian bersih, makanannya bergizi, dan bisa bercengkerama dengan ortunya di ruang keluarga dengan nyaman. Budi juga ingin merasakan kasih sayang seorang Ibu. Sebab, sejak kecil Budi belajar sendiri tentang kehidupan jalanan yang keras dan tak kenal kompromi.
Suatu ketika Budi pernah berdiri di depan sebuah Mal. Ia kebetulan melihat anak kecil dituntun ibunya menuju mobil. Mata Budi berkaca-kaca, sebab ia tak pernah merasakan hal itu. Dalam kamus hidupnya selama ini, Budi tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang ibunya ketika ia pertama kali belajar bicara. Padahal yang ia tahu sekarang, ada orangtua yang ketika mengetahui anaknya pandai menirukan sesuatu, serta merta anaknya dipangku, dipeluk, diciumi, dan disapa dengan ucapan-ucapan yang lembut. Namun ia tidak merasakan kasih sayang seperti itu. Sebab, itu tadi, ia dibesarkan di jalanan, entah siapa orang tuanya, dan entah di mana mereka berada sekarang. Ia tidak tahu dan tidak peduli.
Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Budi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pengamen seperti Budi, entah sebagai penjual koran, pengemis, preman, pencoleng, pemulung, dan beragam “profesi” yang muncul akibat kebutuhan hidup yang makin mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.
Inilah sepenggal cerita dari sudut remang-remang Jakarta, kota metropolitan di mana denyut kehidupan berlangsung terus menerus, sepanjang 24 jam sehari. Di ibukota ini, semua berhak hidup, termasuk anak-anak jalanan yang kini memenuhi jalan-jalan protokol di seluruh wilayah setiap harinya. Karenanya, meski hidup di sudut-sudut buram kota Jakarta, mereka adalah teman-teman kita juga. Yang kehilangan masa kanak-kanaknya direnggut kerasnya kehidupan jalanan. Sebagian besar hidupnya tak pernah mendapatkan kasih sayang dari ortu dan masyarakatnya.
B.Mereka ada di mana-mana
Berdasarkan hasil survai dan pemetaan sosial Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Atmajaya-Jakarta, tahun 1999 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia mencapai 39.861 orang, terdiri atas 32.678 orang laki-laki dan 7.183 orang perempuan. Pada tingkat nasional terdapat sekitar 2,5 juta anak jalanan yang mendapat bantuan pembinaan keterampilan dari Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, Dinas Sosial, dan LSM. Sementara data dari Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat jumlah anak jalanan di Jakarta terdapat 10.800 orang. (Antara)
Dengan kenyataan seperti ini, banyak kalangan yang peduli untuk mengurus mereka. Maka bermunculanlah rumah-rumah singgah untuk sekadar menampung mereka, kemudian membekali dan mendidik mereka dengan keterampilan khusus untuk bisa menatap masa depan dengan lebih jelas dan terarah. Namun anehnya, mereka seperti semut yang nggak habis ditangkapi, terus-menerus bermunculan. Hingga banyak LSM yang menangani kasus ini kewalahan. Akhirnya, anak-anak lebih memilih hidup dengan caranya masing-masing. Dan tentu dari mereka lebih banyak melakoninya kembali di jalanan.
Padahal dalam usia-usia seperti itu, setiap “episode” kehidupan amat berpengaruh pada pembentukan kepribadian mereka. Maka jangan heran bin kaget kalo kemudian mereka belajar dari kehidupan yang salah. Sebab, siapa yang mau mengajari mereka? Sebagai contoh, anak jalanan yang umumnya laki-laki secara naluriah membutuhkan figur wanita dewasa sebagai pengganti ibu. Mereka kelewat cepat matang, mengenal seks kelewat dini, dan akrab dengan zat adiktif, seks, omongan dan tindakan jorok adalah dunia keseharian anak jalanan. Naudzubillahi min dzalik.
Nggak percaya? Silakan ngecek di stasiun, terminal, pasar, dan di jalan-jalan protokol kota besar. Memang sulit dipercaya, banyak orang miskin dan susah untuk hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini—bahkan saking suburnya negeri ini, Koes Ploes pernah menyebutkan bahwa tongkat, kayu, dan batu pun jadi tanaman dalam sebuah lagunya. Coba saja, menurut data tadi, sekitar 2,5 juta anak jalanan ada di negeri ini. Dan perlu diketahui, bahwa jumlah itu nggak mutlak, artinya bisa bertambah. Sebab, siapa tahu yang nggak tercatat malah lebih banyak lagi dari angka itu.
C.Produk kapitalisme
Kalau kamu jalan-jalan ke kawasan perumahan elit di Pondok Indah Jakarta, rasa-rasanya kamu bakal berdecak kagum, dan secara spontan bakal meluncur kata-kata dari mulutmu, “Indonesia benar-benar makmur!”. Tapi kalo kamu teruskan perjalanan menyusuri jalan itu menuju Tangerang, sekitar 3 atau 4 kilometer bakal menemui antrean panjang kendaraan. Sebab di situ ada pasar tumpah di kanan-kiri jalan. Baru deh kamu bilang juga, “Indonesia amburadul!”
Kamu tahu kenapa bisa begitu? Sebab peredaran harta kekayaan njomplang alias nggak seimbang. Kelompok yang memiliki modal kuat, lobynya kuat, maka merekalah yang memenangkan pertarungan ini dan berhak dengan porsi kue pembangunan lebih besar. Itu namanya konglomerat. Sebaliknya, bagi kelompok yang moderat alias modal dengkul sama urat, mereka mencari nafkah dengan rasa cemas. Sebab yang ada dalam pikirannya, adalah pertanyaan-pertayaan seperti ini; “Hari ini dapat untuk makan nggak ya? Hari ini, bisa membelikan susu buat si kecil nggak ya? Hari ini, ada razia dari tramtib nggak ya?”
Tentu ini berbeda dengan para konglomerat, dalam pikiran mereka yang muncul adalah pertanyaan berikut; “Hari ini makan apa ya? Siang nanti makan di resto mana ya? Malam nanti makan dengan siapa ya? Dan, pagi nanti makan siapa ya?” Walah?
Hal itu benar-benar sudah terjadi di negeri ini, kawan. Di mana harta kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Pak AM Saefuddin yang mantan Menpangan itu, dalam sebuah wawancara dengan majalah PERMATA (edisi 13/V/Januari 1997) menyebutkan bahwa ada 200 konglomerat dari 200 juta penduduk Indonesia. Berarti sekitar 0,0001% memiliki sumber pendapatan nasional 60%. Sisanya, 40% dimiliki sekitar 99,9999% (199.999.800) penduduk Indonesia lainnya. Waduh, apa pula jadinya ya?
Ya, seperti sekarang ini, jutaan anak harus rela hidup di jalanan. Ini merupakan salah satu produk dari idiologi yang berakidah sekular ini. Sistem kehidupan kapitalisme emang jahat dan bathil, sobat. Sistem kehidupan ini telah membentuk manusia yang rusak bin bejat dalam gaya hidupnya.
Coba, apa sekarang para pejabat di negeri ini peduli sama nasib anak jalanan dan kaum miskin lainnya; baik di kota maupun di desa? Ah, kayaknya kamu yang rajin baca koran udah pada tahu mental para pejabat kita. Bener nggak? Pokoknya dari pejabat yang tingkat rendahan sampe yang menentukan kebijakan, hampir semuanya sulit dipercaya. Dulu ada pejabat pemda di wilayah Kalimantan, tiap minggu jalan-jalan ke Puncak di Bogor dengan mengatasnamakan perjalanan dinas. Kamu tahu di sana mereka ngapain? Ya, main golf. Belum lagi pejabat DPRD DKI, mereka malah melakukan studi banding ke Eropa dan Amerika. Hasilnya? Lebih banyak jadwal kunjungan ke daerah wisata ketimbang studi banding urusan pemerintahan.
Terakhir anggota DPR RI, ikut menyusul Megawati ke AS dengan alasan yang tak jelas. Semua itu. Sekali lagi. Semua itu dibiayai dari dana rakyat. Coba, kalo dana yang jumlahnya miliaran rupiah itu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, berapa banyak orang yang tadinya miskin menjadi mapan dan bisa hidup layak? Bener nggak? Lagipula, katanya anak-anak terlantar dan orang miskin sepenuhnya dipelihara oleh negara. Tapi kenyataannya? Memang dipelihara, maksudnya dipelihara supaya tetap ada!
Oya, bukan cuma bapak-bapak pejabatnya aja yang split personality, teman-teman remaja di negeri ini juga banyak yang amburadul kepribadiannya. Untuk yang berhubungan dengan masalah ini adalah masalah kepedulian terhadap sesama. Buktinya, tanggal 3 Oktober kemarin sekitar 6000 orang rela ngeluarin duit 350 ribu perak sampe 550 ribu perak untuk nonton konsernya The Corrs di Jakarta Convention Cente. Tuh, coba, betapa mudahnya “membuang” uang segitu banyak. Cuma untuk menikmati musik beberapa jam doang! Walah?
Tanggung jawab Negara
Untuk menyelesaikan problem anak jalanan, yang merupakan salah satu produk peradaban kapitalisme ini, emang nggak bisa diselesaikan sendiri-sendiri oleh kelompok masyarakat. Buktinya udah banyak LSM yang peduli untuk ngurus mereka, sekaligus juga banyak yang gulung tikar. Ini menunjukkan bahwa kudu ada campur tangan negara untuk menyelesaikannya. Berapapun jumlah LSM yang peduli, kalo negara nggak merespon, tetep aja nggak bakaln kelar juga. Sebab, masalah ini adalah persoalan yang memang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Dalam Islam, seorang pemimpin itu akan dimintai tanggungjawabnya dalam mengatur rakyat. Ia seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan malah menyengsarakan rakyat. Sabda Rasulullah saw.:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam. Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil maka dia akan mendapat pahala, akan tetapi sekiranya dia menyuruh selain dari yang demikian itu, pasti dia akan menerima akibatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, kalo kita nggak ingin terus menyaksikan penderitaan anak jalanan, kita ingatkan para pejabat di negeri ini supaya menyelesaikan problem ini. Sebab semua itu adalah tanggungjawab bapak-bapak kita para pejabat negeri ini. Namun, tentu, harapan ini sulit berubah menjadi kenyataan, jika Islam tidak diterapkan sebagai sistem kehidupan di negeri ini.
Di bawah naungan Islam, insya Allah segalanya menjadi cerah dan jelas. Itu sebabnya, mulai sekarang kita belajar tentang Islam sampai ke akar-akarnya. Lalu sebarkan ajaran mulia ini kepada masyarakat. Agar dunia tahu, bahwa Islam amat peduli dengan kehidupan manusia di dunia ini. Juga agar dunia paham, bahwa kapitalisme ataupun sosialisme dan komunisme tak bisa menjanjikan apapun untuk menjamin kehidupan umat manusia selain kerusakan. Insya Allah dalam kehidupan Islam, nggak bakal ada lagi anak-anak terlantar.

1.Pengertian Anak Jalanan
Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Bab II Pasal 2 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak pada dasarnya berhak mendapatkan kesejahteraan,perawatan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dalam kehidupan sosial,mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan baik sebelum atau sesudah lahir sertamen dapatkan perlindungan terhadap lingkungan yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan.Sedangkan menurut UNICEF (1986), anak jalanan adalah anak yang berusia kurang dari 16 tahun yang bekerja di jalan-jalan perkotaan, tanpa perlindungan dan mereka menghabiskan waktu dijalanan atau alasan mereka berada dijalanan. Begitu pula dalam Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 jugadisebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup dijalanan dan anak yangmenghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membiayai hidupnya, baikyang masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memilikikeluarga lagi.Sementara itu menurut International Conference on Street Children, (1986),dijelaskan bahwa anak jalanan pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu:
2. Anak yang hidup/tinggal di jalanan (children of the street/living in the street).
Pada kelompok ini kebanyakan adalah anak-anak yang tidak lagi berhubungan dengan keluarganya, tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Anak-anak pada kelompok ini mempunyai ciri-ciri:
a. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun sekali;
b. Berada dijalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja,sisanya untuk menggelandang;
c. Tidak bersekolah lagi;
d. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur disembarang tempat, seperti emper toko, kolong jembatan, dan lain-lain;
e. Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri;
f. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
Anak yang bekerja dijalanan (children on the street/working children).
Mereka adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya
dijalanan atau tempat-tempat umum untuk membantu ekonomi keluarganya.
Pada kelompok ini anak-anak memiliki hubungan dengan anggota
keluarganya dan sebagian masih duduk dibangku sekolah. Kelompok ini
bercirikan:
a. Berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, yakni pulang secara
periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu, mereka umumnya berasal dari luar kota untuk bekerja dijalanan;
b. Berada dijalanan 8-12 jam untuk bekerja dan sebagian lagi mencapai 16 jam;
c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri/bersama teman,dengan orang a/saudara/ditempat kerjanya dijalanan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri dari orang-orang sedaerah;
d. Tidak bersekolah lagi;
e. Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci mobil, pemulung, penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utamasetelah putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orangtuanya yang miskin, cacat/tidak mampu
f. Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
Anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan (urnerable to become street children).
Mereka adalah anak-anak yang sering berhubungan dengan jalanan seperti menjual koran. Ciri-ciridari anak yang termasuk kelompok ini adalah:
a. Setiap hari bertemu dengan orang tua;
b. Berada dijalanan sekitar 4-6 jam untuk berkerja;
c. Tinggal dan tidur bersama orang tua atau walinya;
d. Pekerjaannya menjual koran, pengamen, menjual alat-alat tulis, menjual kantong plastik, penyemir, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan orang tuanya;
e. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.

3.Faktor Penyebab Meningkatnya Kuantitas Anak Jalanan

Menurut Tata Sudrajat (1998), ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak
menjadi anak jalanan, baik pada tingkat mikro maupun makro, yaitu:
1.Tingkat mikro (Immediate causes)
Yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya, seperti lari dari keluarga,dipaksa ekerja, berpetualang, diajak teman, kemiskinan keluarga, ditolak/kekerasan/terpisah dari orang tua dan lain-lain.
2.Tingkat meso (underlying causes)
Yaitu faktor masyarakat yang mengajarkan anak untuk bekerja, sehingga suatu saat menjadi keharusan dan kemudian meninggalkan sekolah, kebiasaan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan pada suatu masyarakat karena keterbatasan kemampuan didaerahnya, penolakan anak jalanan oleh
masyarakat yang menyebabkan mereka makin lama dijalanan dan lain-lain. 3. Tingkat Makro (basic cause) Yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro, seperti peluang kerja pada sektor nformal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, urbanisasi,biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, belum adanya kesamaan persepsi instansipemerintah terhadap anak jalanan.Sementara itu menurut Makmur Sanusi (1996), beberapa faktor yang menjadi pendorong munculnya anak jalanan khususnya di Indonesia adalah:
1. Lingkungan anak tersebut.
Dalam hal ini lingkungan dan kondisi kehidupan keluarga merupakan penyebab utama timbulnya masalah kenakalan remaja dan kaburnya anak dari rumah. Umumnya anak jalanan ini hidup didaerah-daerah kumuh, yang tandai :
a. Tidak adanya tempat untuk anak-anak bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya;
b. Perumahan yang sempit dan tidak sesuai untuk tempat tinggal manusia;
c. Tersedianya fasilitas yang tidak mendidik untuk anak-anak sebagai dasar
pendidikan dan kebutuhan sosial mereka.
2. Status sosial ekonomi keluarga yaitu faktor kemiskinan;
3. Faktor kekerasan dalam keluarga dan keretakan hubungan dalam kehidupan
rumah tangga orang tua.

4.Landasan Hukum Kebijakan dalam penanganan Anak Jalanan
Permasalahan pekerja anak, tidak hanya terletak pada standar perburuhan internasional atau international labour standard, namun lebih relevan denganpermasalahan pekerja anak. Sejak berdirinya ILO yaitu setelah berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1919, masalah pekerja anak telah menjadi salah satu pusatperhatiannya dan masalah ini telah dicantumkan pada pembukaan konstitusi ILO.Pada tahun itu pula ILO mengeluarkan Convention No. 5 yang isinya melarang anak-anak dibawah 14 tahun untuk bekerja di sektor industri ,(Pandji Putranto,2000). Setelah itu paling tidak ILO telah mengadopsi lebih dari 15 konvensi yangsecara substansial sangat berkaitan langsung dengan permasalahan anak terutama para pekerja anak. Konvensi-konvensi itu antara lain:
1. Konvensi No. 5/1919 mengenai Batasan Usia Kerja untuk Industri;
2. Konvensi No. 6/1919 mengenai Batasan Kerja Malam buat Orang Muda;
3. Konvensi No. 7/1920 mengenai Batasan untuk Pekerja Laut;
4. Konvensi No. 10/1921 mengenai Batasan Usia Minimum untuk Pekerjaan di Pertanian;
5. Konvensi No. 15/1921 mengenai Batasan Usia Kerja Sebagai Juru Api dan Juru Mudi di Kapal;
6. Konvensi No. 33/1932 mengenai Batasan Usia Kerja Non Industri;
7. Konvensi No. 58/1936 mengenai Batasan Usia Kerja di Laut (revisi);
8. Konvensi No. 59/1937 mengenai Batasan Usia Kerja pada Industri (revisi);
9. Konvensi No. 60/1937 mengenai Batasan Usia Kerja pada Pekerja Non Industri (revisi);
10. Konvensi No. 77/1946 mengenai Pemeriksaan Kesehatan pada Tenaga Kerja Usia Muda diIndustri;
11. Konvensi No. 78/1946 mengenai Pemeriksaan Kesehatan bagi Tenaga Muda pada Pekerjaan Non Industri;
12. Konvensi No. 79/1946 mengenai Kerja Malam bagi Orang Muda pada Pekerjaan Non Industri;
13. Konvensi No. 90/1948 mengenai Kerja Malam bagi Orang Muda pada Industri (revisi);
14. Konvensi No. 112/1959 mengenai Batasan Usia sebagai Nelayan;
15. Konvensi No. 123/1965 mengenai Batasan Usia untuk Pekerjaan-pekerjaan di Bawah Tanah;
16. Konvensi No. 138/1973 mengenai Batasan Usia Minimum untuk Bekerja;
17. Konvensi No. 182/1999 mengenai Pekerjaan-pekerjaan yang Terburuk yang Dilakukan oleh Anak-anak (worst forms of child labour). Berdasarkan konvensi-konvensi di atas, maka yang paling komprehensif dan relevanterhadap permasalahan pekerja anak adalah Konvensi ILO No. 138/1973 yang diikuti dengan Rekomendasi No. 146 yang didalamnya ada pengaturan perlindungan tenaga kerja anak yang komprehensif, tegas dan fleksibel, karena adanya perbedaanantara negara-negara yang sedang berkembang dengan yang sudah maju. Disamping itu konvensi ini juga membolehkan anak yang usianya 13-15 tahun untuk melakukanpekerjaan yang ringan, dengan syarat tidak menimbulkan sesuatu yang buruk bagikesehatan dan pertumbuhannya.Sementara itu menurut World Summit for Children tahun 1990 di New York (dalamJoni Muhammad, 1999) yang kemudian melahirkan Konvensi Hak Anak, dijelaskanbahwa paling tidak ada 4 hak anak yaitu:
1. Hak terhadap kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untukmelestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standarkesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya;
2. Hak terhadap perlindungan, yaitu yang meliputi hak perlindungan daridiskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi;
3. Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak yang meliputi segala bentuk pendidikan(formal-informal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagiperkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak;
4. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a chil to express her/his views in all matters affectingthatchild).
1. Kebijakan Nasional
Kebijakan nasional Indonesia yang membahas tentang perlindungan terhadap hakhak
anak, antara lain tertulis dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa
fakir miskin dan anak terlantar diperlihara negara. Pasal ini paling tidak memberikan
legitimasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan anak terutama
memenuhi kebutuhan dan hak anak yang dalam kondisi terlantar.
Selain itu dalam GBHN 1999-2004 di dalam beberapa klausul atau babnya telah
secara eksplisit menyebutkan, terutama Bab IV mengenai arah kebijakan yang
mencakup kebijakan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, dan
sosial budaya. Beberapa bidang yang menyebutkan masalah anak secara spesifik
adalah bidang ekonomi, pendidikan dan sosial budaya, yang berbunyi sebagai
berikut:

2.Bidang Ekonomi, Ayat (4):
Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas/kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan sistem dana jaminan sosia
3.Bidang Pendidikan, Ayat (7) :
Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secaraterarah, terpadu dan enyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif,oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secaraoptimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
4.Bidang Sosial dan Budaya, Ayat (1) Kesehatan dan kesejahteraan sosial :
Meningkatkan kepedulian terhadap penyandang cacat, fakir miskin, dan anak terlantar, serta kelompok rentan sosial melalui penyediaan lapangankerja yang seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.Begitu pula dalam Undang Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anakdalam Bab II Pasal 2 juga disebutkan bahwa anak berhak mendapatkankesejahteraan, perawatan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dalamkehidupan sosial, mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan baik sebelum atausesudah lahir serta mendapatkan perlindungan terhadap lingkungan yangmembahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.Berdasarkan pada aturan-aturan yang jelas dan tegas di atas, seharusnya bangsaIndonesia khususnya pemerintah Indonesia lebih proaktif dalam menyelesaikanpermasalahan anak, terutama anak jalanan yang kian hari kian kompleks. Namundemikian menurut Emil Salim dalam Sambutan Rakernas YKAI 1999 dinyatakanbahwa realitas menunjukkan bahwa pada takaran makro, isue anak di Indonesiamasih dianggap non marketable, tidak diacuhkan, sehingga kepentingan anakterpinggirkan. Marginalisasi tersebut seperti tampak pada beberapa indikator bahwaanak tidak masuk dalam platform politik partai, DPR tidak pernah membicarakansecara khusus permasalahan anak dan isue anak. Anak selalu menjadi sasaran
gugatan tanpa berusaha memahami permasalahan mereka, bahkan media pun kurang meminati permasalahan mengenai isue anak. Disamping itu persoalan anak selaludipandang sebagai permasalahan domestik atau persoalan privat sehingga konsepkepemilikan begitu kuat, bahkan barangkali juga adanya usaha dehumanisasisistematis dalam masyarakat bernegara, sehingga gerakan yang sistematis dari ataske bawah dan menempatkan anak selalu berada pada struktur terbawah dalam setiap pembahasan.Sementara itu menurut Benjamin Balugh (2000), dikatakan terdapat produkperundang-undangan yang secara umum berkaitan dengan permasalahanperlindungan anak, yaitu:
1. Hukum ketenagakerjaan; UU No. 1 Tahun 1951, Permenaker No. 11 Tahun1984, UU No. 20 Tahun 1999, dan UU No. 1 Tahun 2000;
2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
3. Peraturan Menteri Kehakiman No. M.03-UM.01.06 Tahun 1991 mengenai Tata Tertib dan Tata Ruang Sidang Peradilan Anak;
4. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa;
5. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah;
6. Undang Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;
7. Undang Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
8. Surat Edaran Menteri No. Ed.10/M/BW/1990 tentang Peningkatan Pelaksanaan
Pengawasan terhadap Perusahaan yang Memperkerjakan Anak;
9. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga sejahtera;
10. Inpres No.1Thn 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar tanggal15April 1994;
11. Undang Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak; dan mungkinmasih banyak lagi yang lainnya
A.Solusi Sosiologis Penanganan Anak Jalanan
Sebagai tindak lanjut dari berbagai landasan hukum sebagaimana telah dipaparkandi atas, maka Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung mengeluarkan kebijakanmelalui program kemitraan antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan Lembaga Swadaya Kemasyarakatan (LSK) dalam bentuk pengelolaan rumah singgah yang tertuang dalam Surat Keputusan Tim Koordinasi Kota Pemberdayaan Anak Jalanan Kota Bandar Lampung No. 400/500/52/III/2000.Menurut Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, (1999), dikeluarkannya kebijakan rumahsinggah atau open house ini didasarkan pada pertimbangan bahwa diberbagai negarasudah digunakan untuk menangani masalah anak jalanan. Disamping itu juga dapatdigunakan untuk melengkapi berbagai pendekatan yang sudah lama dikenal yaitustreet based (berpusat di jalanan), center based (berpusat di panti), dan community
based (berpusat di masyarakat).Sementara itu tujuan dari rumah singgah secara umum adalah untuk menyelamatkandan melindungi anak agar dapat tumbuh kembang secara wajar sehingga dapatmenjadi sumber daya manusia yang produktif. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1.Menyatukan anak dengan orang tua dan jika memungkinkan memasukkan anak ke keluargapengganti, panti pesantren dan sebagainya;
2. Mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan anak jalanan;
3. Mempertahankan/mengembalikan anak jalanan ke sekolah dan meningkatkan prestasi belajar;
4. Mendidik anak jalanan menjadi warga masyarakat yang terampil dan produktif;
5. Meningkatkan pendidikan keluarga dan kemampuan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anaknya;
6. Memberikan bantuan tambahan dengan orang tuanya agar dapat mempertahankan status kesehatan dan gizinya.Namun demikian, dalam realitasnya pelaksanaan kebijakan rumah singgah ini
ternyata belum mampu secara efektif menangani masalah anak jalanan. Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan lemahnya manajemen pengelolaan para pengurus rumahsinggah. Disamping itu, karena perilaku para anak jalanan itu sendiri yang dianggapkurang bertanggung jawab, sebagai akibat kurang dilakukannya pendekatan secaramendalam terhadap sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kurangefektifnya peran rumah singgah ini kemudian menimbulkan anggapan bahwapelaksanaan penanganan anak jalanan tersebut hanya dijadikan lahan untuk mencarikeuntungan pribadi oleh oknum-oknum tertentu.Mencermati penerapan kebijakan pengelolaan rumah singgah tersebut, terdapat indikasi bahwa Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial belumsepenuhnya mampu melakukan penanganan masalah anak jalanan secara optimal.Hal ini terbukti bahwa sampai saat ini kuantitas anak jalanan nampak masih terusmeningkat yang tersebar di berbagai sudut kota di Bandar Lampung. Menurut pengamatan sementara bahwa kenyataan ini amat menganggu ketertiban jalan raya,menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu keindahan kota yangnotabene tidak sesuai dengan slogan Bandar Lampung Kota TAPIS BERSERI.Dalam rangka membantu Pemerintah Daerah untuk menangani masalah anak jalanantersebut, maka diusulkan beberapa solusi sosiologis sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial secara terpadu bersamasamadengan pihak legislatif, dinas instansi, lembaga dan organisasi social lainnya agar menyepakati upaya pendanaan secara rutin melalui APBD baikdalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan demikian diharapkan pembinaan anak jalanan secara operasional dapat berkesinambungan.
2. Dengan memanfaatkan dana yang tersedia diharapkan Dinas Kesejahteraan Sosial dapat memiliki komitmen yang kuat dan berkiprah secara langsung dalamupaya penanganan masalah anak jalanan dengan mengangkat para anak jalanantersebut keluar dari kebiasaannya sehari-hari, dan melakukan pembinaanketerampilan sesuai dengan usia, bakat, minat dan kemampuannya masingmasing,agar mereka tidak memiliki keinginan untuk kembali kejalanan.Pembinaan tersebut diantaranya dapat dilakukan:
a. Bagi anak jalanan dalam kategori di bawah umur, seyogyanya pihak yang terkait melakukan pembinaan terhadap orang tuanya dengan memberibantuan modal usaha ekonomi produktif sesuai dengan bakat, minat danketerampilan yang dimiliki. Dengan demikian diharapkan orang tuanya dapatkembali mendidik dan mengasuh anaknya tanpa ketergantungan danmengganggu ketertiban pengguna jalan raya .
b. Bagi anak jalanan dalam ategori di bawah umur yang sudah tidak memiliki orang tua (yatim piatu), seyogyanya pihak yang terkait melakukan pembinaandengan menempatkan pada orang tua asuh atau panti asuhan. Hal inidiharapkan agar mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk tidak kembalikejalanan yang selama ini meresahkan masyarakat pengguna jalan.
c. Bagi anak jalanan dalam kategori remaja, seyogyanya pihak yang terkait melakukan pembinaan keterampilan tertentu yang produktif sesuai denganpangsa pasar. Hal ini diharapkan agar setelah mereka keluar dari pembinaandapat hidup secara mandiri.
d. Bagi anak jalanan dalam kategori remaja yang tergolong sering melakukanperilaku menyimpang dan kejahatan, seyogyanya pihak yang terkait denganbekerjasama dengan aparat kepolisian melakukan penjaringan secara tegasuntuk kemudian dititipkan pada lembaga-lembaga tertentu yang bergerakpada bidang pembinaan mental spiritual. Sebagai tindak lanjut daripembinaan ini, maka selanjutnya melakukan pembinaan keterampilan tertentuyang produktif sesuai dengan pangsa pasar. Hal ini diharapkan agar setelahmereka keluar dari pembinaan dapat hidup secara mandiri.3. Untuk menghindari terjadinya benturan sikap dan pandangan antara lembagapenanganan HAM dengan aparat keamanan, antara pemerintah dengan pengguna jalan, maka pihak-pihak yang terkait perlu melakukan penyeragaman visi danmisi yang berkaitan dengan keberadaan anak jalanan.
4. Dinas Kesejahteraan Sosial harus segera melakukan upaya yang bersifat lintassektoral dengan melibatkan berbagai pihak, baik swasta, pemerintah, pribadi ataukelompok yang didalamnya terdiri dari kaum profesional, praktisi, akademisidari berbagai disiplin ilmu, tokoh-tokoh masyarakat maupun agama yangdiharapkan mampu memberikan jalan keluar terbaik bagi penanganan danpemanfaatan para anak jalanan. Upaya itu antara lain pihak-pihak tersebut agar
berpartisipasi secara aktif baik dalam menginformasikan, menyalurkan terhadappihak terkait di atas, atau secara langsung melakukan pembinaan sesuai denganbidangnya secara kelembagaan, sekaligus sesuai pula dengan bakat, minat danketerampilan para anak jalanan yang bersangkutan.
5. Dinas Kesejahteraan Sosial harus melakukan upaya kemitraan dengan berbagaiLembaga Swadaya Kemasyarakatan (LSK) dengan kendali utama tetap beradapada Dinas Kesejahteraan Sosial, yang disertai dengan kontrol yang ketat.Disamping itu pemilihan Lembaga Swadaya emasyarakatan sebagai mitra kerjaharus dilakukan secara selektif dan profesional. Hal ini dimaksudkan untukmenghindarkan manipulasi dana maupun data yang berkaitan dengan penanganananak jalanan.
6. Dinas Kesejahteraan Sosial harus senantiasa melakukan upaya jemput social terhadap para anak jalanan dengan menggunakan pendekatan kultural,fungsional, manusiawi dan simpatik, sehingga dapat menumbuhkan kesadarandan pola pikir baru untuk mengikuti berbagai pembinaan yang ditawarkan tanpapaksaan. Disamping itu mereka juga harus merasakan adanya jaminan untukmendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui pemberian berbagai bekalpengetahuan maupun keterampilan produktif, yang hasilnya dapat dipasarkan keberbagai tempat melalui kerja sama antara Dinas Kesejahteraan Sosial denganberbagai pihak.Dengan berbagai upaya di atas, diharapkan penanganan terhadap anak-anak jalanandapat berhasil efektif, dan mampu memberikan harapan hidup yang lebih baik dalam menyongsong masa depannya.


BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN

1. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan, baik pada tingkat mikro maupun makro, yaitu:
a. Tingkat mikro (Immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya
b. Tingkat meso (underlying causes), yaitu faktor masyarakat yang mengajarkan anak untuk pekerja
c. Tingkat Makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro, seperti peluang kerja pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar
2. Solusi penanganan anak jalanan yang diusulkan adalah:
a. Perlu adanya kesepakatan upaya pengadaan dana melalui APBD baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
b. Perlu adanya komitmen bersama antar pihak terkait tentang penanganan anak jalanan baik melalui pembinaan terhadap anak jalanan dalam kategori di bawah umur, yatim piatu, dan remaja.
c. perlu penyeragaman visi dan misi dalam penanganan masalah anak jalanan.
d. Perlu adanya pusat informasi penyaluran dan pengentasan anak jalanan melalui partisipasi aktif berbagai pihak yang terkait.
e. Perlu adanya kontrol yang ketat terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penanganan masalah anak jalanan agar tidak terjadi manipulasi dana maupun data.
f. Dinas Kesejahteraan Sosial harus senantiasa melakukan upaya jemput sosial
terhadap para anak jalanan dengan menggunakan pendekatan kultural, fungsional, manusiawi dan simpatik

B. Saran

Kami sarankan kepada Pemerintah pusat dan daerah agar penanganan anak jalanan dijakarta dan didaerah melalui Departemen kesejahteraan social Ri Dan Dinas Kesejahteraan didaerah masing
solusi sosiologis yang dapat dilakukan pemerintah pusat dan daerah melalui departemen Kesejahteraan Sosial RI khususnya dalam menangani masalah anak jalanan,pemerintah harus mencetak lapangan kerja dipuast dan di daerahnya.









DAFTAR PUSTAKA



1.Balugh, Benjamin. 2000. Kerangka Kebijakan Masalah-Masalah Anak. Disampaikan pada Konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta, 26-28 Oktober 2000.
2. Depsos RI. 1999. Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, Jakarta.
3. HNSDP. 2000. Petunjuk Teknik HNSDP Anak Jalanan. HNSDP, Jakarta.
4. Joni, Muhammad. 2000. Analisis Kebijaksanaan Masalah Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus. Disampaikan pada Konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta, 26-28 Oktober 2000.
5. Putranto, Pandji. 2000. Sosialisasi UU No. 1/2000 dan UU No. 20/1999 serta
Realitas Permasalahannya. Disampaikan pada Konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta, 26-28 Oktober 2000.
6. Sularto, ST. ed. 2000. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Kompas, Jakarta.
7. Suyanto, Bagong. 2000. Konvensi ILO dan Realitas Pekerja Anak. Artikel, Harian Umum Republika, 7 April 2000.

Jumat, 18 Juni 2010

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK
Oleh: Tanpa Nama, Mhs UID
Dosen: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA


A. Latar Belakang
Untuk dapat memahami hukum sebagai alat intervensi negara maju terhadap negara berkembang, pertama-tama harus dipahami, hukum memiliki banyak fungsi. Kurang tepat bila hukum semata-mata dipahami sebagai kaidah yang berfungsi untuk mengatur apa yang baik dan buruk bagi masyarakat. Dalam kenyataan sehari-hari hukum dapat berfungsi untuk berbagai kepentingan. Hukum dapat berfungsi sebagai alat pengubah masyarakat, hukum dapat berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat, bahkan hukum dapat berfungsi sebagai instrument politik.
Sebagai instrumen politik, hukum digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hukum sebagai instrumen politik terjadi saat penguasa menggunakan hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang dimilikinya. Penguasa dapat menggunakan hukum untuk membatasi, bahkan memberangus kekuatan oposisi dan kegiatan masyarakat. Sebaliknya, kekuatan oposisi ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat menggunakan hukum untuk menjatuhkan pemerintah.
Pada tingkat masyarakat internasional, ada dua cara yang kerap dilakukan negara maju dalam pemanfaatan hukum sebagai alat politik terhadap negara berkembang.
Pertama, dengan memanfaatkan perjanjian internasional. Kedua, dengan memanfaatkan ketergantungan di bidang tertentu untuk mendesak pemerintahan negara berkembang melakukan pembentukan atau perubahan terhadap peraturan perundang-undangannya.
Intervensi melalui dua cara ini tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian internasional berarti negara itu dengan sengaja membebankan dirinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional. Salah satu kewajiban itu adalah mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
Begitu pula dengan desakan negara maju atas pembentukan peraturan perundang-undangan negara berkembang dengan memanfaatkan faktor ketergantungan. Ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum internasional. Kerelaan memenuhi tuntutan dilakukan atas dasar ketidakberdayaan. Indonesia tidak banyak berkutik ketika Dana Moneter Internasional (IMF) mensyaratkan Indonesia untuk mengamandemen UU Kepailitan dan membentuk undang-undang Anti Monopoli. Demikian pula Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang bersedia memberi hibah (grant) ke Indonesia bila pemerintah mau membuat undang-undang Anti Pencucian Uang.
Pelanggaran terhadap hukum internasional kian tidak terasa jika intervensi yang dilakukan dan dikehendaki komponen dalam negeri negara berkembang itu sendiri, baik sadar maupun tidak. Di sini seolah-olah ada gayung bersambut antara apa yang diinginkan negara maju dengan komponen dalam negeri untuk mengubah peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks seperti inilah kemudian perjanjian internasional dimanfaatkan. Perjanjian internasional umumnya dirancang negara maju yang memiliki kepentingan. Perjanjian internasional dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan negara maju terbungkus dengan berbagai kalimat hukum yang canggih untuk melindungi kepentingan mereka yang akan membebani berbagai kewajiban bagi negara berkembang. Selanjutnya perjanjian internasional didiskusikan dengan negara berkembang dalam suatu konperensi internasional.
Berikutnya adalah proses sosialisasi dan upaya-upaya yang menyebabkan negara berkembang untuk turut dalam perjanjian internasional dimaksud. Ketika negara berkembang telah turut dalam perjanjian internasional itu, negara berkembang akan selalu diingatkan untuk mengubah atau mengamandemen ketentuan hukum nasionalnya.
Dalam konteks demikian, pembentukan atau amandemen terhadap peraturan perundang-undangan tidak bertujuan untuk merespons problem yang dihadapi masyarakatnya, tetapi dilakukan untuk merespons kewajiban yang diamanatkan dalam perjanjian internasional.
Pemanfaatan "ketergantungan" sebagai alat untuk mengintervensi kedaulatan dalam proses legislasi suatu negara terjadi karena negara maju telah lama melihat ketergantungan ekonomi negara berkembang. Mereka tahu, semakin negara berkembang tergantung secara ekonomi pada mereka atau lembaga keuangan internasional yang mereka kendalikan, semakin rentan negara berkembang itu untuk diintervensi dibidang peraturanperundang-undangannya.
Ketergantungan ekonomi dapat berbentuk insentif maupun sanksi. Insentif antara lain berupa hibah atau kuota tekstil yang diberikan kepada negara berkembang hingga tercipta ketergantungan. Ketergantungan inilah yang lalu dimanfaatkan untuk melakukan intervensi atas kedaulatan di bidang legislasi. Sementara sanksi yang dikenakan kepada negara berkembang yang tidak mengikuti kehendak negara maju dapat berupa penundaan kucuran pinjaman, pencabutan kuota bahkan dimasukkan dalam daftar hitam (black list). Sikap Indonesia.
Mengamati apa yang diuraikan ini, pertanyaan mendasar bagi kita adalah bagaimana kita harus menyikapi rongrongan terhadap kedaulatan dalam proses legislasi di Indonesia? Satu hal yang pasti, apa yang diuraikan di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak bersikap antinegara maju, anti-IMF, anti terhadap utang luar negeri, dan berbagai anti lainnya. Sikap "anti" tidak akan mengeluarkan kita dari masalah, justru akan menimbulkan masalah baru yang tidak diharapkan.
Apa yang diuraikan di atas dimaksudkan agar para anggota rakyat baru waspada bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat politik oleh kekuatan asing. Jika para anggota dewan telah menyadari hal ini, yang menjadi tantangan adalah bagaimana mereka dapat berupaya untuk menangkalnya dengan menggunakan akal dan nurani.

B.Akibat Hukum
Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus diatur dengan baik. Apabila pembicaraan sudah sampai kepada tata hukum, maka ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum itu. Hal ini tidak mengherankan, karena yang menjadi taruhan pada saat itu adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, ketertiban harus dipertahankan dengan mengesampingkan tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Hukum dan keadilan adalah titipan dari tuhan dan dari masyarakat yang harus ditegakkan untuk menjaga ketertiban hidup dan keserasiaan masyarakat. Sebagai titipan, hukum dan keadilan harus dipertanggungjawabkan didepan manusia dan didepan tuhan. Inti dari norma hukum itu sendiri adalah perbuatan yang bertanggungjawab. (Ka’bah: 2005; 81).
Dalam negara hukum, sebagaimana halnya Indonesia kekuasaan pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Kesinambungan sikap, konsistensi dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menetukan kadar kepastian dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum. Karena lembaga-lembaga kenegaraan senantiasa bertanggungjawab dan berwenang terhadap terhadap penyelenggaraan hukum, yang pada akhirnya merupakan produk dari proses politik. Kesinambungan sikap dan konsistensi tindakan mereka juga sangat tergantung dari stabilitas politik
Dengan pengertian bahwa suatu negara hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, maupun lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif selaku instrumen politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum. Namun hukum hanya memberikan kerangka idiologis dalam perubahan-perubahan social yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan diperlakukan sama. Hal ini sangat penting, karena tanpa jaminan tersebut, maka perubahan-perubahan social yang dikehendaki alam masyarakat hampir tidak mungkin, karena orang tidak percaya lagi kepada negara (pemerintah), kepada struktur dalam masyarakat, atau kepada siapa saja.
Menurut prof. Subekti, Politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Sedangkan menurut Prof, Zainuddin Ali, M.A, Hukum adalah pelembagaan aturan. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di control oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun Politik adalah permainan kekuasaan. Dalam Masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok.

C.Aspek sosiologi Hukum
Kajian tentang instrument politik di Indonesia berhubungan erat dengan kebijakan dibidang hukum, seperti sekeping mata uang yang sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam kenyataan bahwa hukum merupakan produk alat politik, yang diciptakan untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum berkaitan pula dengan manusia, yang memenuhi tugasnya didunia untuk menciptakan aturan hidup bersama yang baik, yakni secara rasional dan moral berpedoman kepada hak-hak asasi manusia. Sebagai produk politik hukum diciptakan oleh negara dan dianggap sah apabila dikukuhkan oleh negara.
Akan tetapi menurut ketua Jurusan Pascasarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), DR. H. Idrus Abdullah, SH, M.Hum, menyayangkan sikap politisi yang menggunakan instrument hukum sebagai alat politik, khususnya saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dimana, para politisi itu kerap kali mencari–cari kelemahan lawan politiknya yang berkaitan dengan hukum untuk membunuh karakter rivalnya ditengah–tengah masyarakat.“ Tindakan itu sudah melanggar moral dan etika politik serta peraturan yang ada. Selain itu, tindakan itu akan meracuni masyarakat dengan isu – isu hukum yang belum tentu benar. (Abdullah: Global FM).
Idrus mengungkapkan, antara hukum dan alat politik tidak boleh dijadikan satu, karena memiliki dunia yang berbeda. Penggunaan instrument hukum untuk menjatuhkan lawan politiknya saat pelaksanaan Pilkada, dinilai tidak tepat bila dilihat dari momentumnya. Jika isu yang digelontorkan itu benar dan dibuktikan dengan data – data akurat, hendaknya para politisi itu tidak ragu – ragu melaporkan ke lembaga penegak hukum.
Idrus mencontohkan, Pilkada di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang salah satu paket calon Bupati, yakni KH. Zulkifli Muhadli, yang diduga memiliki ijazah palsu, dari SDN 4 Taliwang. Dan masih banyak lagi dugaan kasus yang menjatuhkan lawan dalam proses pemilihan pejabat berlangsung. Belum lagi ditambah dengan Kasus dugaan ijazah palsu itu pernah digelontorkan lawan politik Zulkifli pada 5 tahun silam saat akan mencalonkan diri menjadi Bupati KSB. Tapi, keputusan pengadilan tata usaha negara Mataram menyebutkan, dugaan itu tidak benar adanya. Saat ini, isu itu kembali diangkat para politisi lawan politiknya, karena Zulkifli kembali mencalonkan diri sebagai calon Bupati KSB.
Lebih jauh Idrus menegaskan, ijazah palsu sudah masuk ranah hukum bukan politik. Artinya, suatu ijazah dikatakan palsu apabila sudah ada keputusan dari Pengadilan dengan mempertimbangkan hasil uji klinis atau uji materiil. KPU sendiri hanya melakukan verifikasi perlengkapan fisik bakal calon, termasuk ijazah. Apabila dianggap sudah sah secara formal, maka bakal calon itu dinyatakan lolos sebagai seorang calon. “ Akan berbeda apabila, sudah ada keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa ijazah yang dimiliki Zulkifli palsu, maka segala produk yang telah dibuat Zulkifli sebagai Bupati KSB selama 5 tahun menjadi batal demi hukum.“pungkasnya.
Dengan demikian ukurannya bukan “sudah berapa jumlah undang-undang yang dibuat”, “berapa tambahan gedung pengadilan” dan sebagainya, melainkan apakah “jalan masuk kepada keadilan” itu telah dirasakan oleh kebanyakan orang di Indonesia, khususnya dari lapisan bawah yang ada di pedesaan.
Hukum merupakan alat yang dipergunakan untuk menata kehidupan sosial yang penuh dengan gejolak dan dinamika. Magnis Suseno mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial berdimensi politik, dengan kata lain manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan bersama. Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang efektif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam negara supaya tidak terjadi kekacauan dan pertentangan satu dengan yang lainnya. Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau perbedaan.
Sehubungan dengan hal ini maka perlu diadakan penataan terhadap lembaga politik yang diarahkan untuk terciptanya suatu kepemimpinan yang berwibawa, aparat penegak hukum yang bersih, jujur, efisien dan bertanggungjawab, demokratis dan memiliki komitmen yang tinggi dengan nasib rakyat banyak.
Dari segi sosiologis sering dikatakan oleh para ahli sosiologi hukum, bahwa proses pembuatan undang-undang, pelaksanaan undang-undang, maupun peranan-peranan yang tersangkut di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial budaya. Di Indonesia terlihat bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi pembentukan dan penegakan hukum, sehingga para pengamat hukum dan masyarakat berpendapat bahwa perkembangan struktur social di Indonesia tidak sesuai dengan hukumnya. Memang bisa dibayangkan bahwa akal yang bekerja berdasarkan kehendak bebas, dapat sampai kepada aneka keputusan yang berbeda atau bersilangan. Untuk itu perlu adanya patokan perilaku yang sedermikian rupa, sehingga dapat dibedakan mana perilaku yang dapat diterima oleh umum dan mana yang tidak. Oleh karena itu pemerintah selaku penyelenggara negara secara politis harus dapat memberikan patokan atau batasan terhadap produk hukum yang dikeluarkan, sehingga tidak terjadi salah tafsir antara berbagai pihak dan kalangan, demi terciptanya kepastian hokum.
Perubahan hukum muncul dari proses politik dan tidak dari tindakan kebijaksanaan oleh lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi tuntutan para pejuang politik. Dalam hal ini pemisahan antara hukum dan politik harus jelas, dan pelanggaran hukum harus ditindak dengan tegas tanpa adanya perbedaan. Kepastian hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. Rawls memberi nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum, sehingga hukum dapat memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat ini terlihat bahwa hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas politik negara.
Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh sifat serta karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan politik serta proses perubahan tatanan sosial. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa stabilitas politik sangat perlu dijaga agar jangan sampai terjadinya kekacauan dan ketegangan politik, sehingga dapat menciptakan keresahan dalam masyarakat. Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan partisipasi politik. Adapun yang penting menurut tinjauan kebijakan strategis, ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofis supaya setiap garis kebijakan dan aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan cultural merupakan tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya. Apabila stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknyamaka tidak mungkin hal tersebut dapat dicapai dengan baik.
Terakhir Firdaus dalam bukunya yang berjudul tinjauan Sosiologis terhadap intrument Politik dan hukum bahwa “ The country is as an institutional that will bring into the reality of peoples’ hope to get the order, fair and prosperous life. Through the government should be able to carry out the state base on low supremacyn as a system in creating any kinds of policies. In attendance for creating its goal, the government ought to create the stability of politics. Thus, the low decisions can be applied consistently as to gain the real low for the sake of public order and people prosperous. It’s the same with the political power, run by government and other institutions, should be concur eon with the constitutional agreement, as to get the low supremacy. In this case, all the community has to realize the low implementation in our daily life”.

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DAN EKONOMI DALAM PENEGAKAN HUKUM DILIHAT DARI SOSIOLOGI HUKUM

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DAN EKONOMI DALAM PENEGAKAN HUKUM DILIHAT DARI SOSIOLOGI HUKUM

oleh : Ermiyati Arifah, Mhs UID AKT XI
Dosen : Prof. Dr. Zainudin Ali, M.A
Pendahuluan
Lahirnya orde baru didahului oleh kemelut politik dan ambruknya perekonomian yang berakumulasi selama pemerintahan Soekarno, Soekarno menampilkan sistem pemerintahan yang otoriter melalui Demokrasi terpimpin.
Kejadian-kejadian orde lama mengakumulasikan keruwetan-keruwetan politik, merosotnya secara tajam penegakan hukum dan ambruknya ekonomi nasional, oleh karenanya pada masa awal orde baru terjadi perbedaan dalam mengambil kebijakan, kebijakan pertama dipelopori oleh Nasution menitik beratkan pada demokrasi dan penegakan konstitusi, kebijakan kedua dipelopori oleh Soeharto menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi, kedua aliran ini sulit untuk di pertemukan dalam suatu kebijakan.
Dari dua aliran ini soeharto mengambil kebijakan pembangunan ekonomi, maka pada masa orde baru hukum diposisikan hanya sebagai alat pembangunan semata, dimana kebijakan ekonomi adalah pada pertumbuhan ekonomi tinggi untuk memancing devisa yang bercengkrama erat dengan tatanan politik yang amat menonjolkan stabilitas dan ketertiban represif (ketertiban yang dipaksakan), pada era ini hukum ahirnya terperangkap menjadi media untuk memberikan justifikasi (pembenaran) kebijakan negara tanpa koreksi, termasuk pengaturan di bidang ekonomi yang sebenarnya amat responsive (menyesuaikan) tetapi terjebak kedalam perangkap kapitalisme (pemodal) semu yang menguntungkan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan.
Maka pada masa ini pembangunan hukum diabaikan, dilanggar bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan penguasa, tetapi berteriak-teriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelansungan kehidupan dan pembangunan ekonomi yang notabene disebabkan oleh sikap orogan para ahli dan pelaku ekonomi sendiri, seakan-akan hukum hanya merupakan penghambat pembangunan ekonomi saja.
Permasalahan.
Bagaimana hubungan ekonomi dan hukum dalam perspektif sosiologi hukum ?
Pembahasan.
Menurut Prof. A. F. K. Organski bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modern menempuh pembangunannya melalui tiga tahap, yaitu Unifikasi, Industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tingkat kedua perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Yang ketiga tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi industrialisasi, membetulkan pada tahap sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi, industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivis manusia diatur oleh suatu instrument yang disebut hukum, hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Negara, cita-cita hukum nasional merupakan satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan dan pelaksanaan nilai-nilai tertentu didalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berazaskan Pancasilan dan berdasarkan Undang-Undang dasar 1945. Oleh karenanya hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspek, baik dalam kehidupan social, politik, budaya, pendidikan dan yang tidak kalah pentingnya adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi.
Yayasan Indonesia Forum pernah menyampaikan Visi Indonesia 2030 kepada presiden, ditargetkan income perkapita Indonesia akan mencapai 18.000 dolar AS per tahun dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa, untuk mencapai hal tersebut ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain reformasi pepajakan, reformasi birokrasi, reformasi sitem hukum, good govermance yang ditunjang semua komponen bangsa, serta yang paling penting adalah adanya pemimpin yang memiliki visi dan kepemimpinan yang kuat (a vision and strong leadership). Penempatan reformasi sistem hukum sebagai salah satu persyaratannya merupakan pemikiran dan langkah strategis yang tepat. Karena tanpa memprioritaskan hukum sebagai salah satu pendukung utama untuk mencapai kemakmuran bangsa, maka usaha-usaha yang ditempuh akan sia-sia. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan ekonomi menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembangunan hukum yang mendahuluinya,
Demikian juga dalam tatanan sistemik, hukum sebagai sebuah sistem harus dipandang mempunyai titik temu yang sinergis dengan sistem ekonomi, dengan pemahaman ini , sinergi ini diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sitematik maupun pembangunan sistem hukum nasional, sehingga pada gilirannya baik sistem ekonomi nasional maupun sistem hukum nasional akan semakin mantap untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, pada sisi yang bersamaan tentu saja sistem ekonomi pun harus pula mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih mendukung pembangunan sistim ekonomi nasional secara positif dan begitu juga sebaliknya.
Namun demikian, sebagian besar masyarakat sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum, padahal peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsur saja dari keseluruhan sistem hukum yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur, yaitu asas, norma, sumberdaya manusia, pranata hukum, lembaga hukum, sarana dan prasarana hukum, serta budaya hukum. Oleh karenanya sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, dengan kata lain jika salah satu unsurnya berubah maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain nya juga harus berubah. Hukum juga sebagai social control menurut Zainudin Ali biasa diartikan sebagai proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi mapunun konsiliasi
Bagaimana dengan kehidupan ekonomi sebagai sistem?. Menurut Prof. Heinz Lampert membedakan antara 1). Tatanan dari suatu perekonomian nasional yang sedang berjalan atau tatanan ekonomi efektif yang menjabarkan keadaan, kejadian dan karena itu bersifat deskritif , dengan 2). Tatanan yang diharapkan atau tatanan ideal atau konsep tatanan kebijakan. Kaitannya dengan Hukum Ekonomi, tatanan ekonomi yang disebut pertama didasarkan pada hukum positif atau hukum yang berlaku, adapun pengertian sistem sebagai tatanan yang ideal untuk sebagian berhubungan konstitusi (UUD) dan untuk sebagian lagi hukumnya harus masih dibangun untuk mencapai sistem ekonomi mapun sistem hukum yang mendukungnya, maka suatu tatanan ekonomi haruslah bersifat instrumental untuk mengatasi tiga masalah yang terdapat dalam setiap masyarakat ekonomi, yaitu yang pertama fungsi perekonomian harus dijalankan dan diamankan, yang kedua semua aktivitas ekonomi harus dikoordinasikan dengan jelas dan ketiga tatanan ekonomi harus dijadikan sebagai alat bagi pencapaian tujuan-tujuan dasar politik.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara sistem hukum dan sistem ekonomi senantiasa terdapat interaksi dan hubungan pengaruh mempengaruhi yang mungkin positif jika hukum ditegakkan dengan sungguh-sungguh, tetapi juga dapat bersifat negative, karena hukum hanya sebagai alat pembangunan semata bahkan hukum diabaikan tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh, seperti terjadi masa orde baru, yang ikut menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Dari zaman ke zaman menunjukkan hubungan hukum dan ekonomi yang sangat erat sehingga timbul ilmu yang membidangai dua hal tersebut yang disebut hukmum ekonomi, menurut Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA :
Ali, H. Zainudin. Sosiologi hukum. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika, Cet ke 5, 2009
Hartono, C.F.G. Sunaryati. “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003.” Makalah Disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VII Dengan Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Hidayat, Syarip. “Pengaruh Globalisasi Ekonomi Dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia.” Http://www.legalitas.org/?q=category/kategori.artikel.hukum.perdata/ bisnis>. 19 Agustus 2008.
Kartika Sari, Elsi dan Advendi Simanungsong. Hukum Dan Ekonomi. Cet. V. Jakarta : PT. Gramedia Serana Indonesia, 2008.
Mahfud MD, Moh. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia. Yogyakarta : Gema Media, 1999.
Sulistiyono, Adi dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi Sebagai Panglima. Cet. I. Sidorajo, Jawa Timur. 2009.

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP TERJADINYA GANGGUAN KEAMANAN LALU LINTAS DI JALAN RAYA

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP TERJADINYA
GANGGUAN KEAMANAN LALU LINTAS DI JALAN RAYA
Disusun Oleh Syaifullah, AKT, III
Dosen: Prof Dr. H. Zainuddin Ali, MA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan dan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, mengakibatkan manusia dapat hidup lebih tentram. Akan tetapi di sisi lain terdapat pengaruh tertentu yang mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap ketentraman kehidupan manusia. Kenyataan menunjukkan betapa banyaknya kecelakaan lalu lintas terjadi setiap hari yang mengakibatkan matinya manusia, cideranya manusia dan kerugian secara material.
Penyebabnya berkisar pada faktor-faktor seperti pengemudi maupun pemakai jalan yang lainnya, konstruksi jalan yang kurang baik, kendaraan yang tidak memenuhi syarat, rambu-rambu lalu lintas yang tidak jelas, dan lain sebagainya. Jalan raya, misalnya, merupakan suatu sarana bagi manusia untuk mengadakan hubungan antar tempat, dengan mempergunakan pelbagai jenis kendaraan baik yang bermotor maupun tidak. Jalan raya mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan-keamanan dan hukum, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas keselamatan penggunaan jalan raya telah berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas. Pelbagai peraturan telah disusun dan diterapkan yang disertai dengan penyuluhan, kualitas kendaraan dan jalan raya ditingkatkan, serta bermacam-macam kegiatan dilakukan untuk menjaga jangan sampai jatuh korban maupun kemerosotan materi.
Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya. Soerjono Soekanto/Satjipto Rahardjo membuat rumusan yang sama tentang sosiologi hukum yakni sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat. Sedangkan Prof. M. Abduh, kurang menyetujui pemakaian istilah; Hubungan—karena hukum bukan manusia yang mempunyai hubungan cinta. Akan lebih tepat jika dikatakan sosiologi hukum adalah bias/refleksi hukum dalam masyarakat dan sebaliknya bias/refleksi masyarakat ke dalam hukum.
Sosiologi hukum memiliki kegunaan antara lain, memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial; penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, sarana mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu; sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi-evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
B.Rumusan Masalah
Dalam kenyataannya masih terdapat masalah-masalah di jalan raya yang sangat sulit untuk ditanggulangi, oleh karena itu akan dicoba untuk menelaah penegakan hukum di jalan raya dengan meninjau aspek-aspek sosiologisnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya adalah :
1.Mengapa pengendara menjalankan kendaraan terlalu cepat, kurang hati-hati dan tidak bertanggungjawab?
2.Bagaimana para pelanggar harus ditangani dan rehabilitasi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penegakan Peraturan Lalu lintas
Tinjauan utama dari peraturan lalu lintas adalah untuk mempertinggi mutu kelancaran dan keamanan dari semua lalu lintas di jalan-jalan. Identifikasi masalah-masalah yang dihadapi di jalan raya berkisar pada lalu lintas. Masalah-masalah lalu lintas, secara konvensional berkisar pada kemacetan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, kesabaran dan pencemaran lingkungan. Keadaan kemacetan lalu lintas berarti hambatan proses atau gerak pemakai jalan yang terjadi di suatu tempat. Hambatan dapat terjadi dalam batas-batas yang wajar; namun mungkin dalam batas waktu yang relatif pendek. Di samping itu mungkin gerakan kendaraan berhenti sama sekali atau mandeg.
Aparat penegak hukum (Polisi lalu lintas) berperan sebagai pencegah (politie toezicht) dan sebagai penindak (politie dwang) dalam fungsi politie. Di samping itu maka polisi lalu lintas juga melakukan fungsi regeling (misalnya, pengaturan tentang kewajiban bagi kendaraan bermotor tertentu untuk melengkapi dengan segi tiga pengaman) dan fungsi bestuur khususnya dalam hal perizinan atau begunstiging (misalnya, mengeluarkan Surat Izin Mengemudi).
Mengendarai kendaraan secara kurang hati-hati dan melebihi kecepatan maksimal, tampaknya merupakan suatu perilaku yang bersifat kurang matang. Walau demikian kebanyakan pengemudi menyadari akan bahaya yang dihadapi apabila mengendarai kendaraan dengan melebihi kecepatan maksimal tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya tidak sedikit pengemudi yang melakukan hal itu. Mereka demikian beraninya untuk mengambil resiko, akibatnya adalah perilaku-perilaku yang dihasilkan adalah frustasi, oleh karena konflik sebenarnya merupakan suatu bentuk dari frustasi. Di dalam menghadapi konflik, maka seseorang biasanya melakukan apa yang disebut displacement yang berwujud sebagai pengalihan sasaran perilaku agresif.
Kekhawatiran timbul sebagai akibat dari perasaan akan adanya bahaya dari luar, yang kadang-kadang hanya merupakan anggapan saja dari yang bersangkutan. Tidak jarang manusia mempergunakan mekanisme pertahanannya untuk mengatasi rasa khawatirnya itu, seperti misalnya acting out yakni individu yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan impulsif. Perilaku semacam ini dapat terjadi pada pengemudi, yang kemudian mengendarai kendaraannya secara membabi buta. Hal-hal yang dikemukakan di atas, merupakan ciri-ciri mental manusia yang sedang mengalami tekanan tidak jarang bahwa manusia mengalami kegembiraan yang luar biasa, oleh karena sebab-sebab tertentu. Tanpa disadari, rasa gembira tersebut mengakibatkan pengemudi menjalankan kendaraan dengan kecepatan yang melebihi kecepatan maksimal. Keadaan lelah, lapar, usia yang sudah mulai tua, obat-obatan dan lain sebagainya, merupakan beberapa faktor yang kemungkinan besar akan dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengemudikan kendaraan dengan baik. Kelelahan fisik dapat mengurangi kemampuan mengemudi, serta konsentrasi yang diperlukan untuk mengemudikan kendaraan dengan baik.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lalu lintas dan angkutan jalan raya, tidaklah sepenuhnya sinkron dan ada ketentuan-ketentuan yang sudah tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Namun demikian tidaklah berlebih-lebihan untuk mengemukakan beberapa cara penegakan peraturan lalu lintas yang menurut pengalaman akan lebih efisien.
Cara yang lazim disebutkan periodic reinforcement atau partial reinforcement. Cara ini diterapkan apabila terhadap perilaku tertentu, tidak selalu diberi imbalan atau dijatuhi hukuman. Kalau seorang pengemudi sudah terbiasakan menjalani rute jalan raya tertentu, maka ada kecenderungan untuk melebihi kecepatan maksimal. Hal itu disebabkan oleh karena pengemudi menganggap dirinya telah mengenal bagian dari jalan raya tersebut dengan baik. Kalau pada tempat-tempat tertentu dari jalan tersebut ditempatkan petugas patroli jalan raya, maka dia tidak mempunyai kesempatan untuk melanggar batas maksimal kecepatan. Akan tetapi apabila penempatan petugas dilakukan secara tetap, maka pengemudi mengetahui kapan dia harus mematuhi peraturan dan bilamana dia dapat melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Dengan menerapkan cara periodic reinforcement, maka ingin ditimbulkan kesan pada pengemudi bahwa di mana-mana ada petugas, sehingga dia akan lebih berhati-hati di dalam mengemudikan kendaraannya, kalaupun petugas kadang-kadang ditempatkan di jalan raya tersebut ada kesan bahwa petugas itu selalu ada disitu. Cara ini bertujuan untuk menghasilkan pengemudi yang berperilaku baik.
Cara kedua biasanya disebut conspicuous enforcement, yang biasanya bertujuan untuk mencegah pengemudi mengendarai kendaraan secara membahayakan. Dengan cara ini dimaksudkan sebagai cara untuk menempatkan mobil polisi atau sarana lainnya secara menyolok, sehingga pengemudi melihatnya dengan sejelas mungkin. Hal ini biasanya akan dapat mencegah seseorang untuk melanggar peraturan. Cara ini bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa manusia. Dan sudah tentu, bahwa kedua cara tersebut memerlukan fasilitas yang cukup dan tenaga manusia yang mampu serta terampil.
B. Menangani Para Pelanggar
Pertama-tama seorang petugas harus bertanya pada dirinya sendiri, siapakah pelanggar peraturan lalu lintas tersebut. Hal ini bukanlah menyangkut apa pekerjaannya, siapa namanya, dan seterusnya. Yang pokok disini adalah bahwa seorang yang melanggar peraturan lalu lintas, bukanlah selalu seorang penjahat (walaupun kadang-kadang petugas berhadapan dengan penjahat). Seorang pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas adalah seseorang yang lalai di dalam membatasi penyalahgunaan hak-haknya.
Yang kedua adalah bahwa seorang petugas atau penegak hukum harus menyadari bahwa dia adalah seseorang yang diberi kepercayaan oleh negara untuk menangani masalah-masalah lalu lintas. Pakaian seragam maupun kendaraan dinasnya merupakan lambang dari kekuasaan negara yang bertujuan untuk memelihara kedamaian di dalam pergaulan hidup masyarakat. Seorang petugas yang emosional dan impulsif tidak saja akan merusak seluruh korps, walaupun dia selalu disebut oknum apabila berbuat kesalahan. Penanganan terhadap para pelanggar, memerlukan kemampuan dan ketrampilan professional. Oleh karena itu, maka para penegak hukum harus mempunyai pendidikan formal dengan taraf tertentu, serta pengetahuan dan pemahaman hukum yang cukup besar. Pengutamaan kekuatan fisik, bukanlah sikap professional di dalam menangani masalah-masalah lalu lintas.
Perencanaan jalan raya dan pemasangan rambu lalu lintas yang disertai pertimbangan, akan mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pemasangan rambu yang tepat untuk memperingati pengemudi bahwa di mukanya terdapat tikungan yang berbahaya, misalnya, akan dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Pemasangan rambu yang tidak wajar akan menyebabkan terjadinya kebingungan pada diri pengemudi. Bentuk jalan raya, besar kecilnya bentuk huruf, dan warna rambu lalu lintas, mempunyai pengaruh terhadap pengemudi.
Pemasangan lampu lalu lintas, juga mempunyai pengaruh terhadap perilaku pengemudi. Apabila lampu lalu lintas tersebut ditempatkan sejajar dengan garis berhenti, maka hal itu akan menyebabkan pengemudi menghadapi masalah. Masalahnya adalah, untuk melihat lampu dengan jelas, maka dia harus berhenti jauh di belakang garis behenti. Apabila hal itu dilakukan, maka dia akan dimaki-maki oleh pengemudi-pengemudi yang berada di belakangnya. Kalau dia berhenti tepat di garis berhenti, maka agak sukar baginya untuk melihat lampu lalu lintas.
Pendidikan bagi pengemudi, juga merupakan salah satu cara dalam menangani para pelanggar lalu lintas. Pada masyarakat lain di luar Indonesia, sekolah mengemudi merupakan suatu lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghasilkan pengemudi-pengemudi yang cakap dan terampil di dalam mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh para ahli, yang tidak hanya melingkupi mereka yang biasa menangani masalah-masalah lalu lintas, akan tetapi kadang-kadang juga ada psikologinya maupun ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Di dalam sekolah pendidikan pengemudi tersebut, yang paling pokok adalah sikap dari instruktur. Instruktur harus mampu menciptakan suatu suasana dimana murid-muridnya dengan konsentrasi penuh menerima pelajarannya.
Seorang instruktur harus mempunyai kemampuan untuk mendidik, kemampuan untuk mengajar saja tidaklah cukup. Murid-murid harus diperlakukan sebagai orang dewasa, berilah kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengambil keputusan, oleh karena di dalam mengendarai kendaraan yang terpenting adalah dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Kalau tidak maka kemungkinan besar akan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kerugian benda atau hilangnya nyawa seseorang.

BAB III
P E N U T U P
A.Kesimpulan
Penegakan peraturan lalu lintas secara baik sangat tergantung pada beberapa faktor yang selama ini kurang mendapatkan perhatian yang seksama, yakni: pemberian teladan kepatuhan hukum dari para penegak hukum sendiri, sikap yang lugas (zakelijk) dari para penegak hukum, penyesuaian peraturan lalu lintas dengan memperhatikan usaha menanamkan pengertian tentang peraturan lalu lintas, penjelasan tentang manfaat yang konkrit dari peraturan tersebut, serta appeal kepada masyarakat untuk membantu penegakan peraturan lalu lintas.
Penegak hukum di jalan raya, merupakan suatu hal yang sangat rumit. Pertama-tama penegak hukum harus dapat menjaga kewibawaannya untuk kepentingan profesinya. Di lain pihak dia harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri untuk mengambil keputusan yang bijaksana, sehingga menghasilkan keadilan. Semenjak calon pengemudi menjalani ujian untuk memperoleh surat izin mengemudi harus dipertimbangkan hal-hal yang menyangkut tingkat kecerdasan pengemudi, kemampuan untuk mengambil keputusan dengan cepat, aspek fisik pengemudi/calon pengemudi.
B. Saran
Para pengguna jalan harus memiliki etika kesopanan di jalan serta harus mematuhi dan melaksanakan peraturan lalu lintas, misalnya ke kiri jalan terus atau ke kiri ikuti lampu, dilarang parkir juga tidak membuang sampah sembarangan di jalan. Kecepatan dalam mengendarai kendaraan harus disesuaikan dengan kondisi jalan, apakah jalan tersebut ramai atau sepi, waktu pagi, siang, sore, ataupun malam. Untuk angkutan umum hendaknya tidak menaikkan atau menurunkan penumpang sembarangan. Dalam memanfaatkan jalan, kita harus menyadari bahwa bukan hanya kita saja yang menggunakan jalan tersebut, tetapi setiap orang berhak menggunakannya. Walaupun itu merupakan hak setiap orang namun, setiap orang berkewajiban untuk menjaga kesopanan di jalan, salah satunya dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Abduh, M. 2002. Sosiologi Hukum. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soerjono. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Citra Aditya Bakti
Soekanto, Soerjono. 1990. Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum). Bandung: Mandar Maju
Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada

B.Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum

“TEBANG PILIH KASUS KORUPSI DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

TEBANG PILIH KASUS KORUPSI DALAM
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Guntoro, Mhs UID, Angkt XI
Dosen Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA.

I.Pendahuluan
Beberapa hari yang lalu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menuding pemerintah melakukan praktik tebang pilih yang sarat muatan politis dalam penuntasan kasus korupsi di negeri ini. Pernyataan Megawati tersebut menyikapi proses hukum sejumlah kasus lama yang diduga melibatkan beberapa anggota partai pendukung Panitia Khusus Bank Century setelah kalah koalisi. Hal ini diungkapkan Megawati pada Konferensi Daerah (Konferda) ketiga PDI Perjuangan Propinsi Papua di Hotel Rimba Papua, Timika, Papua, Selasa (15/3) malam. Megawati menjelaskan, keganjilan tersebut terlihat seperti pada kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang melibatkan beberapa kader PDI Perjuangan.
Pernyataan Megawati tersebut sangat mengejutkan bagi kita semua. Sebagai mantan orang nomor satu di republik ini dan paham betul seluk beluk pemerintahan, pernyataan tersebut adalah hal tak lazim. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa ternyata dalam prakteknya masih ada praktek tebang pilih. Sangat ironis apabila pernyataan Megawati itu benar, karena disatu sisi pemerintahan SBY berkomitmen memberantas korupsi sampai tuntas tanpa pandang bulu

II.Korupsi di Indonesia
A.Pengertian Korupsi.
Korupsi dalam istilah Kamus Bahasa Indonesia mengandung pengertian, kecurangan dalam melaksanakan jabatannya seperti memakai uang, minta sogok dsb. Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan . Namun dalam kenyataannya seperti yang kita ketahui perilaku korupsi seringkali tidak harus selalu melibatkan negara, aparatur Negara ataupun hubungan negara.
Korupsi dalam praktiknya dilapangan dapat berwujud dalam tiga bentuk yaitu : 1) sogokan (bribery), 2) pemerasan (estortion) dan 3) nepotisme (nepotism). Untuk dapat terlaksana ketiga bentuk korupsi tersebut, maka dibutuhkan adanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang, dimana kewenangan tersebut adalah akibat jabatan yang diembannya waktu itu. Menjadi sangat heboh dan destruktif apabila kemudian ternyata kewenangan karena jabatan tersebut adalah kewenangan yang mengatur hajat hidup orang banyak seperti finansial (keuangan), politik (kebijakan), hukum (ketertiban masyarakat) dan sektor pertahanan. Maka tidaklah terlalu berlebihan bahkan menjadi suatu keharusan apabila korupsi dinyatakan sebagai extra ordinary crime bukan lagi tindak pidana biasa.
Sedangkan menurut hukum berdasarkan pasal 2 UU No. 31 th. 1999 korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan / perekonomian negara . Sehingga menurut hukum suatu tindakan tersebut dianggap sebagai suatu tindakan korupsi apabila terdapat tiga unsur didalamnya yaitu:
1. Secara melawan hukum yang artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatu dalam peraturan perundang-undangan ( melawan hukum formil), namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan hukum materiil, maka perbuatan tersebut dapat dipidanakan.
2. Memperkaya diri sendiri/ orang lain
3. “dapat” merugikan keuangan perekonomian negara, yang mana tindakan korupsi telah dianggap ada apabila ada unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan terpenuhi, bukan dengan timbulnya akibat.
Oleh karena itu secara umum korupsi haruslah diletakkan kedalam ranah publik atau dengan kata lain semua hal yang menyalahgunakan kekuasaan publik dan merugikan negara adalah tindakan korupsi. Istilah korupsi yang mengandung makna dan pengertian yang begitu luas ini, menurut Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya etika administrasi negara (1992:208) didukung oleh kenyataan bahwa korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang punya itikad kurang baik, dan manusia sebagai subjek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak baik tersebut.
Oleh karena itu, dapat dikemukakan secara singkat bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (nonviolence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran

B. Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong , ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Survei tersebut memang tidak mengejutkan kita karena kita harus akui, korupsi di negeri ini seperti budaya yang sulit dihilangkan.
Korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan merajalela dan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan luar biasa (bahaya laten) Sudah lusinan koruptor yang tertangkap lalu diadili dan mendapatkan hukuman, entah itu berat atau ringan, baik itu dari kalangan eksekutif, legislatif dan yudikati, ternyata tidak juga menjadikan jera para pelaku korupsi. Korupsi masih saja marak terjadi atau bahkan sementara orang mengatakan makin marak saja terjadi, bahkan saat ini masyarakat disunguhi adanya konpirasi korupsi penggelapan pajak 28 Milyard yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus Tambunan, jaksa penuntut umum, kepolisian, hakim dan pengacara yang notabne mereka adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sepertinya sulit untuk dihilangkan, padahal menurut Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) ) kalau kita ingin belajar dari negara Latvia dan China yang berani melukan rombakan besar untuk menumpas koruptor di negara mereka. sebelum tahun 1998, Latvia negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, akhirnya negara itu menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi.
Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang begitu parah, akhirnya negara tersebut menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi. “Melalui undang-undang ini, seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan semua tokoh pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi,” paparnya. Sementara itu, di China dilakukan pemutihan seluruh koruptor yang telah melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, maka pejabat yang korupsi langsung dijatuhi hukuman mati. “Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China telah dijatuhi hukuman mati. Tapi, sekarang China juga menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,” tambahnya.
Namun jika kita memutar sedikit sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, maka sejak rezim Presiden Soekarno sampai Presiden SBY, pemberantasan korupsi sudah mulai dilakukan. Sejak tahun 1960 telah melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada tahun 1971, diterbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian pada tahun 1999 diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hingga pada tahun 2006, Pemerintah juga telah meratifikasi kovenan internasional tentang anti korupsi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satgas Mafia Hukum. Hal tersebut semakin menegaskan komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi di Negara kita.
Selain itu juga, persoalan korupsi tidak cukup dengan aturan aturan-aturan tertulis dan institusi penindaknya akan tetapi persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara.sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuarakannya.
Lalu yang menjadi fokus kita semua adalah mana yang lebih prioritas dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?, apakah aturan-aturan hukum tersebut harus diperbaiki untuk memberikan sanksi yang keras bagi koruptor misalnya hukuman mati seperti di cina, atau institusi aparat penegak hukum harus lebih agresif dan tanpa kompromi menindak korupsi atau moralitas bangsa yang harus dibenahi. Ketiga-tiganya haruslah berjalan berdampingan dan saling bersinergi, sehingga kita berharap suatu saat bangsa ini bebas dari korupsi.
Keberadaan KPK sejak kelahirannya tahun 2003 setidaknya telah memberikan terapi kejut pagi praktisi korupsi. Sejak 2003 hingga 2010 KPK telah berhasil mem”bui”kan pejabat-pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, anggota DPR/DPRD, praktisi hukum, birokrat, pengusaha dan pejabat Negara lainnya. Bahkan beberapa hari yang lalu KPK berhasil menangkap Hakim Ibrahim (Hakim PTTUN), yang ditangkap KPK lantaran menerima suap sebesar Rp. 300 juta dari pengacara Adner Sirait yang tengah menangani kasus sengketa lahan milik Pemprov DKI Jakarta. Bahkan desakan dari masyarakat agar KPK dilibatkan secara aktif dalam kasus konpirasi korupsi penggelapan pajak 28 Milyar yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus tambunan dengan melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara terus bergulir. Desakan ini semata-mata adalah kepecayaan publik terhadap KPK sebagai institusi yang independen untuk menuntaskan korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya, apalagi keberadaan Satuan Tugas (Satgas) mafia hukum yang dibentuk Presiden SBY telah memberikan kegelisahan bagi koruptor-koruptor yang saat ini masih lepas dari jeratan hukum.
C.Tebang Pilih Kasus Korupsi, adakah?

Penyataan Mantan Presiden Megawati, Soekarno Putri yang menuding pemerintah melakukan praktik tebang pilih yang sarat muatan politis dalam penuntasan kasus korupsi di negeri ini, haruslah ditanggapi sebagai kritik. Sebagai Mantan orang satu di negeri ini Megawati pasti tahu betul seluk beluk korupsi di negeri ini.
Diluar aspek politis, pernyataan Megawati ttersebut bukanlah kekesalannya terhadap dipanggilnya beberapa politisi PDIP oleh KPK dalam dugaan suap yang melibatkan deputi senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom dan tidak jelasnya arah kasus Ballout Bank Century 6,7 Trilyun yang melibatkan Wakil Presiden Boediono yang pada saat itu menjabat Gubenur BI serta Menteri Keuangan (ketua KSSK) Sri Mulyani, yang secara jelas dan tegas berdasarkan rekomendasi sebagian besar Pansus Bank Century (Komisi III DPR) adanya dugaan kesalahan dalam mengambil kebijakan yang dilakukan Boediono dan Sri mulyani.
Lalu, yang menjadi pertanyaan kita, adakah tebang pilih kasus korupsi di negeri ini? Meski sukses memenjarakan sejumlah pejabat yang terlibat korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih dipandang tebang pilih dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Akibatnya, banyak pejabat yang tersangkut korupsi menghirup udara bebas.
Kasus tebang pilih ini dapat dilihat pada kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom sarat dengan muatan politis. Pelaku penerima suap yang merupakan anggota dewan sampai saat ini tidak satupun ditangkap aparat penegak hukum. Padahal ada pengakuan Agus Condro yang menerima duit Rp. 500 juta.. atau kasus Penyediaan mobil Pemadam kebakaran (damkar) dimana KPK telah mem”bui”kan beberapa pejabat-pejabat/kepala daerah dan staf pegawai/sekjen Departemen Dalam Negeri namun KPK belum mem”bui”kan Mantan Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, yang diduga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus damkar ini.
Kalau kita mundur sejenak, pada kasus-kasus korupsi yang sudah dikerjakan KPK bisa kita lihat pada kasus sebelumnya, contohnya adalah akasus besar yang mendapat sorotan publik adalah skandal korupsi yang melanda Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kasus ini, KPK kehilangan kemampuan dan keberanian untuk menuntaskan semua kasus korupsi yang terjadi. Sekalipun sudah mendorong beberapa aktor utama skandal korupsi KPU ke pengadilan dan sebagiannya sudah dinyatakan bersalah, KPK dapat dikatakan gagal melakukan penyelesaian secara menyeluruh. Kegagalan tersebut terjadi karena sampai saat ini KPK hanya menyentuh secara terbatas aktor-aktor yang terkait dengan skandal korupsi KPU. Sebagian kalangan menilai, proses hukum terhadap Ketua KPU menjadi lebih mudah karena posisi politik Nazaruddin Sjamsuddin tidak sekuat beberapa anggota KPU yang lain. Padahal, dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, kalau salah seorang pelaku sudah dijadikan tersangka (apalagi Nazaruddin sudah dinyatakan bersalah), tidak ada alasan untuk tidak menindaklanjuti proses hukum pelaku yang lain.
Karena perbedaan perlakuan itu, beberapa anggota Komisi III DPR pernah
menyatakan bahwa KPK diskriminatif dalam pengusutan skandal korupsi di tubuh
KPU. Bahkan, dalam pandangan salah seorang anggota Ketua Komisi III DPR, Benny Harman (dari Fraksi Partai Demokrat), sejak kasus KPU muncul, ia sudah mencium ada beberapa orang yang tidak akan diseret KPK Hampir dapat dipastikan, pandangan Benny Harman didasarkan pada posisi politik beberapa
anggota KPU.
Contoh lain yang cukup menarik untuk disimak adalah pengungkapan kasus korupsi penyalahgunaan Dana Abadi Umat (DAU). Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu telah menyentuh beberapa orang yang dianggap punya peran penting dalam penyalahgunaan DAU, termasuk mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar.
Dikatakan menarik, ketika permulaan proses hukum terhadap Said Agil disebutkan bahwa sebagian DAU dinikmati oleh pejabat negara, mulai dari anggota DPR sampai anggota kabinet. Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu tidak kunjung bergerak kepada pihak-pihak lain yang juga ikut menerima aliran DAU. Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi, semua pihak yang menerima aliran DAU harus ikut bertanggung jawab.
Kasus yang saat ini ditunggu-tunggu publik dalam menilai kinerja KPK pasca kriminalisasi Bibit-Chandra adalah kasus ballout Bank Century Rp. 6,7 Trilyun. Rekomendasi pansus Bank Centry DPR sangat jelas menyatakan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani telah melakukan pelanggaran dalam mengambil kebijakan dan untuk itu harus bertanggungjawab. Namun hingga kini nasib kasus Bank Century tak jelas dan tertutupi kasus Gayus Tambunan
Fenomena tersebut menunjukkan terjadinya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi jika pelaku-pelaku korupsi itu mempunyai kedekatan dengan elit politik dan/ataupun mempunyai kekuatan politik dan uang yang kuat, apalagi jika kekuatan politik dan uang dimiliki sesorang (baca: koruptor) maka hal mustahil korupto-koruptor tersebut tidak akan tersentuh hukum.
D.Tebang Pilih Kasus Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Seperti dikemukakan penulis diatas, koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan dan/atau mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah menghenrankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi panglima tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan.
Para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah berpegang pada hukum positif yang berlaku, namun dari sudut politik, orang tidak hanya melihat pada pelaksanaan hukum an sich, akan tetapi juga mempertimbangkan akibat-akibat suatu keputusan yang berlandaskan hukum pada kepentingan bangsa dan Negara yang lebih luas. Kedua macam sikap dan pandangan itu acap kali menimbulkan keraguan dalam melaksanakan hokum di lapangan.
Jadi sulit sekali bagi kita untuk memisahkan hukum, politik, dan ekonomi mengingat hukum merupakan produk bersama DPR (sekumpulan politisi) dengan pemerintah, walaupun sudah ada political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mengedepankan supremasi hukum, namun hal tersebut belumlah cukup dan mungkin hanya akan menjadi jargon-jargon politik, untuk itu diperlukan political action (aksi politik) yang nyata di lapangan, yang tentunya hal ini akan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Namun mengingat pemerintahan SBY jilid II dibentuk merupakan kualisi partai politik, rasanya lima tahun kedepan sulit bagi kita untuk mengatakan hukum menjadi panglima atau istilah sosiologi hukumnya, hukum baik secara yuridis dan empiris tidak mengalami pertentangan dalam pelaksanaan di masyarakat
Korupsi sebagai musuh bersama, tetap akan ada. Kita tetap akan dipertontonkan keberhasilan aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor, namun jangan banyak berharap para koruptor yang bersembunyi di ketiak penguasa akan tersentuh hukum, kecuali ada keberanian dari pemerintahan SBY bahwa pemberantasan korupsi di negeri tanpa tebang pilih, smoga.

E.Kesimpulan.
Dalam tulisan akhir ini penulis mencoba menyimpulkan sebagai berikut :
1.Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan
2.Korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan merajalela, bahkan sulit untuk diberantas. Dalam sejarah negeri pemberantasan korupsi sudah mulai dilakukan di rezim soekarno hingga Presiden SBY, baik itu melalui produk hukum dan institusi hukum penindaknya.
3. Pemberantasan kasus korupsi di Indonesia dalam faktanya ada tebang pilih. KPK sebagai institusi yang masih dipercayai publik ternyata dalam menangani korusi masih adanya tebang pilih.
4. Tebang pilih kasus korupsi ini dikarenakan pelaku korupsi tersebut mempunyai kedekatan dengan penguasa dan mempunyai kekuatan politik ekonomi yang kuat.
5. Dalam ilmu sosiologi hukum dijelaskan bahwa kekuatan politik ekonomi mempengaruhi hukum itu dijalankan. Hukum belum menjadi panglima. Tapi hukum hanyalah posisis tawar menawar, bagi mereka yang mempunyai kekuatan politik dan ekonomi di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Lengkap 2005: Bandung ,Fokus Media, , 2005.
S. Wojowansito, Kamus Bahasa Indonesia : Bandung, Shinta Dharma, 1972
Ali, Zainudin, Sosiologi Hukum, Cet. 4: Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Sumardjan, Selo, Dalam Pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard, 1998.
Media Lain :
http://vhajrie27.wordpress.com/2010/04/05/pemberantasan-korupsi-di-indonesi/
http://impian-kita.blogspot.com/2010/04/memalukan-indonesia-negara-terkorup.html
http://education-lili.blogspot.com/2009/02/pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
http://hariansib.com/?p=117776
http://www.forum-politisi.org/berita/article.php?id=848
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-TebangPilih-Berantas-Korupsi,1
http://bataviase.co.id/node/87330
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/12167-kpk-tebang-pilih-dalam-kasus-mirada-gulto