Jumat, 26 Agustus 2011

PERAN TAQWA DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA DI INDONESIA

PERAN TAQWA DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT
SEJAHTERA DI INDONESIA
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA
اَلسَّـلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللًّـهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَللَّـهُ اَكْبَرْ9 × ، لاَ اِلـهَ اِلاَّ اللَّـهُ اَللَّـهُ اَكْبَرْ، اَللَّـهُ اَكْبَرْ وَلِلَّـهِ الْحَمْدُ. اَللَّـهُ اَكْبَرْ كَبِـيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّـهِ كَثِـيْرًا، وَسُبْحَانَ اللَّـهِ بُكْرَةً وَأَصِـيْلاً، لاَ إِلـهَ اِلاَّ اللَّـهُ وَحْدَهُ، صَـدَقَ وَعْـدَهُ، وَنَصَـرَ عَبْدَهُ، وَاَعَـزَّ جُنْدَهُ وَحَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَهْدَهُ، لاَ إِلـهَ إِلاَّ إِيَّـاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ، وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِـرُوْنَ، وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِكُوْنَ، وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ.
اَلْحَمْدُ لِلَّـهِ الَّذِى اَمَرَنَا بِالْعَـدْلِ وَاْلإِحْسَـانِ، وَاِيْتَـاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيـَنْهَى عَنِ الْفَحْشَـاءِ وَالْمُنْكَرِ، لِيُخْرِجَـنَـا مِنَ الظّـُلُمَـاتِ إِلَى النُّوْرِ، وَيَجْعَلَـنَـا مِنْ خَيْرِ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّـاسِ. أَشْهَـدُ اَنْ لاَ إِلـهَ إِلاَّ اللَّـهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَـدُ اَنَّ مُحَمَّـدًا عَبْـدُهُ وَرَسُـوْلُـهُ، اَلَّـذِى جَـاءَ وَاحِـدًا وَمُوَحِّـدًا. اَللَّهُـمَّ صّـلِّ وَسَـلِّـمْ وَبَارِكْ عَلَى حَبِـيْـبِـنَـا مُحَمَّدٌ، وَعَلَى آلِـهِ وَاَصْحَـابِـهِ الَّـذِيْنَ سَـلَكُـوْا عَلَى سَبِيْـلِ التَّـقْـوَى وَالْهُـدَى. اَيُّهَــاالنَّـاسُ، اِتَّقُـوا اللَّـهَ حَـقَّ تُـقَـاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُـمْ مُسْـلِمُوْنَ.
اَللَّـهُ اَكْـبَرْ، اَللَّـهُ اَكْـبَرْ، اَللَّـهُ اَكْبَرْ وَلِلَّـهِ الْحَمْـدُ.
Pada pagi hari ini, tanggal 1 Syawal 1432 H., seluruh ummat Islam di seluruh dunia berkumpul di Masjid, di lapangan dan tempat-tempat lainnya dan bersila, duduk istiqâmah mengumandangkan takbir, tahmid dan memuji kebesaran Allah Swt, bersama-sama mendekatkan diri, menyatukan nurani dengan zat yang melindungi dan senantiasa membimbing kehidupan, yakni Allah swt. Selaku hamba Allah, upaya mendekatkan diri berikhtiar untuk konsisten dengan ketakwaan yang selama ini dibangun, merupakan wujud dari tasyakkur ke hadapan-Nya. Betapa banyak rahmat, nikmat, dan pertolongan, yang Allah berikan kepada kita setiap saat, baik disadari maupun tidak. Jika dikalkulasi, pasti kita tidak bisa menghitungnya. Kenyataan ini telah digariskan Allah swt. dalam firman-Nya:
وَإِنْ تَعُـدُّوْا نِعْمَـةَ اللَّـهِ لاَ تُحْصُوْهَـا، إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Terjemahnya:
“Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Nahl: 18].
Allâhu Akbar 3X Wa Lillâh al-Hamd.
Jama’ah `Id yang Berbahagia,
Manusia muslim yang selesai menunaikan puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan suci Ramadhan yang baru saja berlalu, tidak ada jalan lain selain harus mensyukuri realitas hidup ini dengan ketulusan dan kesadaran, bahwa semua ini telah menjadi kehendak Allah Swt. Selain itu, juga harus diingat bahwa kenyataan yang ada sekarang ini, baik kenyataan kehidupan hukum, politik, budaya, ekonomi, maupun lainnya bukanlah kenyataan yang ideal, bukan kehendak akhir dari Allah swt. Sungguh masih teramat banyak kelemahan, kekurangan, dan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam menata dan menjalani tata aturan Allah swt. di dunia ini dalam mempersiapkan masa depan, yakni kehidupan di akhirat. .
Tidak dapat diingkari oleh manusia muslim yang menyandang predikat Takwa bahwa pelanggaran hak-ahak asasi manusia melalui kedzaliman, kemaksiatan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kerakusan, keserakahan, kecongkakan, penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan, serta kemungkaran masih merajalela dalam masyarakat yang mendiami negara Republik Indonesia termasuk masyarakat yang mendiami Wilayah ibu kota negara. Aktor dari semua kejahatan itu mungkin saja adalah diri kita sendiri, dan mungkin juga orang lain. Sadar atau tidak, kita pun acapkali terlibat dan melakukan hal-hal tersebut. Mari kita renungkan protes malaikat, tatkala Allah swt. hendak menjadikan Adam sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Malaikat berkata, “Mengapa Engkau ya Allah, hendak menjadikan khalifah di bumi ini, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Dalam Surah Al-Baqarah: 30 diceritakan:
وَإِذْ قَـالَ رَبّـُكَ لِلْمَـلاَئِكَـةِ اِنِّي جَاعِـلٌ فِى الأَرْضِ خَلِيْـفَةً قَالُوْا اَتَجْـعَلُ فِيْهَـا مَنْ يُفْسِـدُ فِيْهَـا وَيَسْـفِـكُ الـدِّمَـآءَ وَنَحْـنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَـالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَـالاَ تَعْلَمُوْنَ.
Terjemahnya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” [QS. Al-Baqarah: 30]
Ayat Alqur’an tersebut, pada kesempatan yang berbahagia ini, saya selaku khatib Id al-Fithri, mengingatkan diri sendiri dan mengajak kepada seluruh ummat Islam yang hadir untuk melakukan refleksi, mawas diri, dan secara bersama-sama melakukan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dalam bahasa agamanya, “menggalakkan amar ma’ruf dan nahî munkar”. Pada dimensi ini lah kiranya kita selalu dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan, yakni takwa dalam arti yang sebenar-benarnya. Takwa dimaksud, bukan hanya memihak pada kepentingan pribadi, seperti menjalani spiritual keagamaan secara khusyu’ dan istiqâmah, melainkan juga memfungsikan diri sebagai pelaku perubahan sosial tadi, termasuk menagakkan supermasi hukum yang di buat oleh Allah di dalam Alqur’an. Hal itu, diungkapkan oleh Allah Swt. dalam S. Al-Nahl: 90 yang berbunyi:
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُـرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَـائِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) menegakkan dan berjuang untuk keadilan, berbuat kebajikan, mendistribusikan kekuasaan dan kekayaan kepada sesama (kerabat). Allah melarang berbuat keji, membiarkan dan melindungi kemunkaran, dan menebarkan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil sebagai peringatan.” [S. Al-Nahl:90].
Demikian itulah, salah satu dari perintah Allah yang secara tegas menggunakan kata ya’muru = memerintahkan. Isi ayat tadi, secara substantif adalah bagian yang tidak terpisahkan dari agenda bangsa Indonesia untuk mewujudkan diri sebagai orang yang muttaqîn.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allâhu Akbar Wa Lillâh al-Hamd.
Berkenaan dengan ayat yang disebutkan terakhir tadi, kiranya kita perlu kembali lagi mengenang sejarah generasi pertama Islam sekitar 14 abad yang lalu, yaitu mampu menciptakan kondisi masyarakat yang tenteram, sejahtera, adil, dan makmur dibawah naungan dan magfirah Allah Swt. Hal itu terwujud, karena Nabiyullah Muhammad Saw. bersama sahabatnya mengikuti norma-norma hukum yang dibuat oleh Allah yang tercantum di dalam Alqur’an. Cahaya Alqur’an itulah yang mengantar masyarakat untuk menikmati kesejahteraan, ketenteraman, kedamaian, dan sejumlah istilah-istilah lainnya yang semuanya berintikan keadilan. Islam, dalam ajaran-ajarannya berasaskan ketauhidan yang berimplementasi syari’at yang tercermin melalui akhlakul karimah
ِاَّنَما بُعِثْتُ لاُتَمِّمَا كَا رِ مَ اْلا حخْلاَ ق
Fakta menunjukkan bahwa generasi pertama ummat Islam mampu menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat, mampu menegakkan supermasi hukum yang amat dikagumi oleh penganut-penganut agama lain, sehingga mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam. Pada saat ini Islam tersebar kesemenanjung Arabia yang kemudian sampai ke Eropa dan Persi dan Romawi. Fakta inilah yang menjadi cerminan dari suatu hadist yang diungkapkan oleh Nabyullah Muhammad Saw.
اَْلإِاسْلا مُ يَعْلُوْا وَ لا يُعْلَى عَلَيْهِ
Artinya:
Ajaran Islam itu tinggi dan tidak ada ajaran yang lebih tinggi darinya.
Selain itu, di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abd. Aziz, sebagai sebuah pemerintahan bermuara pada terwujudnya suatu kondisi kehidupan yang adil seperti yang diinginkan oleh Allah Swt melalui perintah Alquran dalam menunaikan shalat, puasa, zakat dan/atau infaq, dan haji, merupakan bukti yang tidak dapat dibantah atas misi tersebut. Dalam kebanyakan ayat Alquran, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat atau infaq. Sebagai contoh, Surat Al-Baqarah: 277 dan Surat Al-Ra`d: 22.
إِنَّ الَّذِيْنَ امَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّاالِحّاتِ وَأَقَامُوْا الصَّلوةَ وَاتُوْا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) bersedih hati (cemas).” [QS. Al-Baqarah: 277].
وَالَّذِيْنَ صَبَرُوْا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَاَقَامُوْا الصَّلوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سَرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُوْنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيّـِئَةَ أُولئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ.
Terjemahnya:

“Dan orang-orang yang sabar/tabah karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat (kampung) kesudahan (yang baik).” [QS. Al-Ra`d: 22].

Zakat sendiri, seperti digariskan Alquran, dimaksudkan untuk mendistribusikan kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak agar mendapatkan kemerdekaannya, melepaskan lilitan dan tindasan bagi mereka yang berhutang, dan memberikan kemudahan akselarasi bagi ibnu sabîl. Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran:
اِنَّمَا الصَّدَقتُ لِلْفُقَرَاءِ وًالمَسكِيْنَ وَالْعمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغرِمِيْنَ وفِىسَبِـيْلِ اللّـهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللّـهِ وَاللّـهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ.

Terjemahnya:

“Sesungguhnya shadakah-shadakah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[QS. Al-Taubah: 60].
Selain itu, zakat merupakan pintu masuk (entry point) bagi umat Islam, apabila memang benar-benar hendak menegakkan amanat kekhalifahannya dengan keadilan dalam kehidupan sosialnya. Di dalam ajaran zakat, Islam bukan saja telah menunjukkan keterlibatannya yang bulat pada tata kehidupan masyarakat manusia yang sehat, adil, dan demokratis, tetapi sekaligus mencanangkan perekat kekuatan (pakem-pakem) dalam kelembagaannya. Bukan sekedar itu, kehadiran Nabi Muhammad saw. sendiri membawa misi profetik, misi yang membebaskan masyarakat dari berbagai sistem dan struktur yang melestarikan ketidakadilan.
Ummat Islam Indonesia tahu masyarakat Arab ketika itu memang dikenal dengan sebutan jahiliyah. Bukan karena jahil dalam pengelolaan dan tataniaga kekayaan, melainkan pada nilai keadilan dari wujud kekayaan yang mereka miliki. Karena itulah, maka langkah-langkah Nabi Muhammad saw. dengan ajaran-ajarannya itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat revolusioner. Bagi masyarakat bisnis kota Mekah yang merasa kepentingannya terancam, mereka melakukan perlawanan kepada Nabi Muhammad saw. Begitulah kira-kira, yang dihadapi Nabi Muammad saw. pada masanya.
Nabi Muhammad saw. dalam sejarah di Mekah, memang orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi secara serius. Ia sekaligus menjadi pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekah, baik pada tataran spiritualitas maupun teknis-pragmatis. Mesti begitu, visi dan pemikiran nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekah saja. Ajaran-ajarannya yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal. Bahkan, dalam pelaksanaannya menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal.
Nabi Muhammad saw. memang patut dinobatkan sebagai seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal dalam struktur masyarakat pada masanya. Dengan inspirasi dan bimbingan wahyu ilâhiyah, menurut formulasi teologis, ia mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif, serta menentang penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Alquran yang dibawanya, mengutuk orang-orang yang menimbun kekayaan, tidak menafkahkannya di jalan Allah, serta meminta Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menanti mereka. Ayat yang dimaksud secara tegas diutarakan:
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُوْنَهَـا فِي سَبِيْلِ اللّـهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.

Terjemahnya:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) sikasa yang pedih.”[QS. Al-Taubah: 34].
Melihat struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah dan tertindas adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaannya di jalan Allah, baik lewat zakat yang wajib hukumnya, maupun lewat jalur infaq, sedekah, maupun hibah. Itulah yang ditempuh Islam dalam pemecahan problem ekonomi kerakyatannya. Itu pulalah barangkali, wujud teologi pembebasan dalam Islam. Teologi semacam itu agaknya meniscayakan untuk dijadikan alternatif pada masa sekarang.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar Wa Lillâh al-Hamd.
Konsep penting lain dalam Islam adalah jihad, yang secara harfiyah berarti berjuang. Konsep ini juga perlu ditafsirkan dalam konteks teologi pembebasan. Dalam konteks ini, jihad mempunyai makna sebagaimana yang digariskan Alquran sebagai perjuangan untuk menghapuskan eksploitasi, penindasan, kedzaliman, ketidakadilan, serta Korupsi berjamaah sebagai istlah yang muncul kemudian, dalam berbagai bentuknya. Perjuangan ini harus terus menerus diupayakan hingga pengaruh destruktif ini hilang sama sekali dari muka bumi. Allah menekankan:
اَلَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّـهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ، أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّـهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ.
Terjemahnya:

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad/berjuang di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggoi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”[QS. Al-Taubah: 20].
Berdasarkan ayat di atas, Allah menghendaki orang yang beriman agar berjuang secara total sehingga penindasan, pelanggaran hak-hak asasi manusia di muka bumi berhenti. Seluruh ayat-ayat Alquran memang bersemangatkan pembebasan manusia dari ekploitasi dan penindasan. Teologi pembebasan dalam Islam memang mendapatkan kekuatannya dari ajaran-ajaran Alquran yang demikian. Sebagai contoh dalam Surat Al-Maidah, ayat 8 berbunyi:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلَّـهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَأنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى، وَاتَّقُوْا اللَّـهَ، إِنَّ اللَّـهَ خَبِيْرٌ بِمَاتَعْمَلُوْنَ.
Terjemahnya:

“Hai Orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kelompok mendorong kamu untuk berprilaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Memberitahukan apa yang kamu perbuat.”[QS. Al-Mâidah: 8].
Jadi, keadilan merupakan kepentingan utama bagi teologi pembebasan Islam. Teologi pembebasan berusaha menekankan kembali titik perhatian Islam yang paling essensial, yakni keadilan sosial dengan prioritas utama kelompok-kelompok lemah dan massa tertindas, pembentukan kembali masyarakat yang bebas dari kepentingan-kepentingan primordialistik.
Teologi pembebasan mengarahkan pada terciptanya ‘masyarakat tanpa kelas’ dan ‘masyarakat religius’ yang menjadi tujuan sejati dari ‘masyarakat tauhid’. Karena itu, ummat Islam Indonesia perlu mendengar upaya Ashgar Ali Engineer, seorang teolog pembebasan Islam dari India, tatkala merevisi konsep kafir dan mukmin yang mengkaitkannya dengan issi profetis dan emansipatoris yang menjadi ruh Islam tadi. Kafir yang sesungguhnya menurut dia, adalah: “... orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kedzaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat ...” Dengan demikian, bagi Ali Engineer, seseorang disebut mukmin sejati bukanah sekedar percaya kepada Allah, melainkan juga harus berjuang menegakkan keadilan, melawan kedzaliman dan penindasan. Dari sisi lain, dapat difahami bahwa: jika ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan melawan kedzaliman serta penindasan, apalagi justeru mendukung sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil, walaupun ia tetap percaya kepada Allah, dalam pandangan Ali Engineer, ia masih tergolong kafir. Ali Engineer juga mengatakan: “Orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan (mustakbirîn) dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan dalam mengelola negara, dan tidak menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar.” Demikian juga sebaliknya: “Orang mukmin sejati bukan mereka yang hanya mengucapkan syahadat, melainkan juga dipersyaratkan melakukan perjuangan menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah (mustadh’afîn), yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau merampas tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan menolak kejahatan.”
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar Wa Lillâh al-Hamd.
Pada sisi lain, tidak dapat disangkal bahwa Islam yang kita terima ini adalah ‘Islam historis’, yaitu Islam yang menjelma melalui proses pergulatan sejarah manusia dalam segala dimensinya, sejak diturunkannya hingga hari ini di Indonesia. Penyebutan ‘Islam historis’ di sini, semata-mata untuk membedakan dengan Islam yang ‘suci’, yang tumbuh dan berkembang pada masa Rasulullah saw, terutama tatkala merespons realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang berkembang, selalu dikendalikan dan dibimbing oleh wahyu Allah swt. Karena itu, periode Nabi diyakini sebagai periode Islam yang ideal, tak ada cela, kesalahan, apalagi sekedar kekeliruan. Periode ini juga yang senantiasa dijadikan bahan refleksi dan sumber ke-Islaman untuk masa-masa berikutnya. Bukan hanya Alquran yang ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber, Sunnah Nabi pun harus menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Dalam doktrin Islam,
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar Wa Lillâh al-Hamd.
Ummat Islam Indonesia meyakini, Islam adalah agama wahyu, karena itu, ia hanya bersumberkan pada Alquran dan Al-Sunnah. Sunnah dijadikan sumber karena diyakini bahwa jatidiri Muhammad saw. personifikasi dari wahyu juga, yang mampu menjelaskan Alquran secara benar dalam tataran realitas historis. Sehingga, bagi kita tidak ragu lagi Alquran dan penjelasannya, Al-Sunnah adalah monodualisme sumber Islam untuk segala ruang dan waktu, universal.
Namun, perlu diingat bahwa keberadaan Nabi Muhammad saw. selaku personifikasi wahyu berada dalam ruang dan waktu tertentu. Beliau hidup, membentuk dan membangun ajaran-ajarannya setelah berinteraksi dengan kondisi, kultur, tradisi, politik, karakter dalam masyarakat Arab yang sangat partikuristik. Sementara Alquran sebagai sistem nilai yang dijelaskan bersifat universal, lintas ruang dan waktu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Islam dibangun di atas dasar; dialektika doktrin (wahyu) yang universal dengan tradisi (realitas) yang partikular; nilai transendental dengan nilai imanental; kehendak Allah swt. dengan kebutuhan manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa: (1) Alquran dan Al-Sunnah merupakan sumber yang hidup, dinamis, dan siap untuk berinteraksi secara lintas ruang dan waktu, (2) Alquran dan Al-Sunnah perjalanan hidup Rasulullah saw. merupakan sinema kehidupan masa depan sepanjang zaman, yang harus dijadikan panutan bagi kehidupan sesudahnya, dan (3) memahami Alquran dan Al-Sunnah secara total, baik sebagai mashâdir (sumber) maupun manâhij (metodologi) Islam, tidak bisa mengabaikan pemahaman antropologi, sosiologi, psikologi, dan semacamnya dari kehidupan Rasulullah saw.; karena kehidupan Rasulullah saw. adalah eksperimentasi sejarah manusia yang ideal sebagai khairan ummah.
بَارَكَ اللّـهُ لِي وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَظِيْم ونفعتى وايا كم بما فيه من ايا ته والذكرالحا كيم اقول قو لي هذا واستغفروه انه هوالغفور الرحيم

Khotbah Kedua
اَللَّـهُ اَكْبَرْ7 × ، لاَ اِلـهَ اِلاَّ اللَّـهُ اَللَّـهُ اَكْبَرْ، اَللَّـهُ اَكْبَرْ وَلِلَّـهِ الْحَمْدُ. اَللَّـهُ اَكْبَرْ كَبِـيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّـهِ كَثِـيْرًا، وَسُبْحَانَ اللَّـهِ بُكْرَةً وَأَصِـيْلاً
اَلْحَمْدُ لله رَبِّ اْلعَا لَمِيْن وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلىَ اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْن. اَشْهدُاَنْ لاِالَهَ اِّلاللهُ وَاَشْهَدُاَنَّ محمدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَلّلهُمَّ صلّ وَسَلّمْ وَبَارِك عَلَى محمد وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تبعَ هُدَاهُ اِلَىيَوْمِ الدين .فَقَا لَ َتَعلىَ فِىاْلقُرْآنِ اْلعَظِيْم انّ الله وَمَلَئِكَتَهُ يُصَلّوْنَ عَلَى الّنِبى. يَا اَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا صَلّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَا. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمُ اْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ، وَقَاضِيَ الْحَجَاتِ. اَللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَهْلَكَ الْكُفَّارِ وَالْمُشْرِكِيْنَ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. رَبَّنَا اتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ اَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّـهِ رَبِّ الْعلَمِيْنَ.
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّـهِ وَبَرَكَاتُهُ



Tidak ada komentar:

Posting Komentar