FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA MAFIA HUKUM
DISUSUN OLEH KELOMPOK III : SRI HARTATI,SUBIYONO, R. LUCKY PERMANA, HAZARMAIN,NURJANAH,dan BUDI HAPSARI.
FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA MAFIA HUKUM
A. Pendahuluan
Praktik mafia hukum dapat terjadi sejak proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan, eksekusi dan pemasyarakatan. Penyebab maraknya praktik mafia hukum dapat dikarenakan :
1. Kelemahan pengawasan dan pendisiplinan tercermin dari kasus Gayus.
2. Kelemahan manajemen sumber daya manusia. Kelemahan ini terkait dengan sistem rekrutmen yang masih penuh dengan aroma KKN.
3. Kelemahan sistem penanganan perkara, sistem penanganan perkara itu membuka peluang terjadinya praktik mafia hukum karena tidak ada check and balance.
4. Minimnya gaji, tunjangan dan anggaran operasional.
5. Kelemahan peraturan perlindungan saksi dan korban, dalam UU perlindungan saksi dan korban, kecil sekali perlindungan terhadap saksi pengungkap kasus, akhirnya mereka enggan untuk mengungkapkan apa yang diketahui.
Interaksi di antara kadar kemauan politik, kelembagaan polotik, hukum dan perundang-undangan serta tradisi birokrasi di Indonesia saat ini belum memungkinkan untuk keberhasilan pemberantasan mafia hukum. Faktor itu sama-sama mendukung untuk apa yang boleh disebut sebagai supremasi jahat rokasi (kekuatan kejahatan) yang membuat Indonesia belum akan beranjak dari keterpurukan.
B. RUMUSAAN MASALAH
Dari uraian di atas, Kelompok III mengemukakan masalah sebagai berikut :
1. Upaya apa yang dilakukan oleh penegak hukum dalam pemberantasan mafia hukum di Indonesia ?
2. Apa dampak Mafia Hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Upaya Mengatasi Mafia Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Telah diuraikan dimuka penyebab yang dapat penghambat dalam penegakkan hukum, sebenarnya terletak pada faktor yang saling mempengaruhi sehingga dampak positif dan negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut, seperti :
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana adanya celah-celah hukum yang memungkinkan untuk tidak dapat berlaku secara efektif dalam proses penyidikan khususnya dalam pra penuntutan.
2. Faktor penegak hukum, yakni dalam penerapan hukum. Tenaga penyidik sangat minim sekali dalam pengetahuannya tentang masalah-masalah hukum, padahal KUHAP sudah berlaku duapuluh lima tahun dan ternyata Kepolisian RI belum siap untuk melakukan penyidikan yang sesuai dengan peraturan yang ada seperti terhadap tindak pidana Korupsi, hal ini diperparah lagi dengan “adanya perebutan” kewenangan antara jaksa dan polisi yang muaranya mengarah kepada perebutan rezeki atau uang.
3. Faktor pendidikan, seperti kita ketahui dengan kemajuan teknologi yang canggih seperti kejahatan Cyber Crime, Money Laundry dan sekarang muncul kejahatan Coorporasi dimana kemampuan penyidik yang berbekal pendidikan SMA dan kejuruan tidak cukup untuk mengatasi permasalahan yang ada. Pengacara yang mendampingi tersangka dalam tingkat penyidikan baik dari segi penyidikan maupun dari ilmu pengetahuan lebih baik. Kepolisian Negara Republik Indonesia harus membuat suatu pendidikan profesi penyidik, pendidikan profesi ini diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
Sedangkan Jaksa persyaratannya adalah Sarjana Hukum, selain itu harus mengikuti pendidikan Pembentukkan Jaksa dan setelah dibekali menjadi Jaksa juga dibekali dengan teknis spesialisasi seperti korupsi, perdata, lingkungan hidup, money laundry sehingga penguasaan terhadap materi hukum relatif lebih baik, khususnya berkaitan dengan teknis yuridis penyidikan dan penuntutan.
Bilamana kejaksaan sebagai penyidik sekaligus Koordinator penyidik, akan muncul kompetisi yang sehat antar penyidik karena masing-masing penyidik akan berusaha menyumbangkan prestasi terbaiknya. Hal ini akan menumbuh kembangkan profesionalisme, yang selanjutnya akan memperbaiki citra penegak hukum dan penegakan hukum di Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum.
Selain itu secara faktual kejaksaan adalah institusi yang paling berpengalaman berkaitan dengan teknis penyidikan dibandingkan dengan Kepolisian, Penyidik lainnya dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya akan mengurangi rentang kendali proses penyidikan dan pra penuntutan sebagaimana telah diuraikan terdahulu karena hasil penyidikan dari Pegawai Negeri Sipil dapat langsung dikirimkan ke penuntut umum, tidak melalui penyidik Kepolisian RI sebagaimana yang berlaku selama ini (vide Pasal 7 ayat (2) KUHAP jo Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang N0. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan juga untuk menghindari kesan rebutan perkara karena ada aturannya, yakni melalui mekanisme SPDP yang tidak ditujukan untuk penuntut umum, tetapi juga untuk semua penyidik yang mempunyai kewenangan yang sama terhadap perkara tersebut.
4. Faktor sarana atau fasilitas , minimnya dana yang diperlukan dalam proses penyidikan maupun penuntutan. Proses penyidikan misalnya, biaya yang dibutuhkan untuk kelengkapan formil suatu berkas perkara relatif tidak sedikit. Contohnya untuk pemanggilan saksi-saksi dalam tindak pidana korupsi, biasanya melibatkan banyak saksi-saksi, sedangkan untuk memanggil saksi-saksi yang tempat tinggalnya cukup jauh membutuhkan dana yang tidak sedikit.
5. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan sistim monitoring dan evaluasi yang efektif dan suatu sistem pengaduan masyarakat. Kebebasan informasi adalah mutlak merupakan pra kondisi sebagai upaya anti korupsi. Mengingat keberanian masyarakat dan kondisi yang berkembang dewasa ini, memperlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah penyelewengan kekuasaan yang berbentuk KKN, meskipun belum tampak dilakukannya penangan yang serius oleh pemerintah, akan tetapi telah membuka jalan ke arah masalah yang sesungguhnya. Transparansi semakin menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawarkan, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut keadilan.
6. Faktor kebudayaan, yakni Masih lemahnya tradisi atau budaya disiplin dan kesadaran atau kepatuhan terhadap hukum, dan disisi lain masih lemahnya kualitas Sumber Daya Manusia aparat penegak hukum di Indonesia, masyarakat dapat menyumbangkan kontribusinya dalam upaya pemberantasan KKN. Caranya adalah pemberian sanksi sosial yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi seseorang yang dianggap melanggar norma atau kepatuhan terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Bagaimana sanksi sosial ini dilaksanakan? Banyak cara yang tersedia di masyarakat, tinggal apakah kita bersedia memanfaatkannya atau tidak. Selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau kelompoknya, atau yang mampu dan bersedia membayar, maka sanksi sosial ini perlu kita terapkan sehingga orang akan merasakannya.
Setelah langkah-langkah diatas dilakukan maka alternatif strategi pemberantasan KKN perlu dilakukan agar tindak pidana KKN dapat diketahui secara cepat dan tepat untuk segera ditindak lanjuti dan dapat diproses secara hukum, strategi dimaksud antara lain:
a. Penyempurnaan sistem pengaduan dari masyarakat terhadap fungsi pemerintah dan tindak lanjutnya.
b. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.
c. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi politik.
d. Pembentukan badan anti KKN.
e. Penyidikan, penuntutan, peradilan dan penghukumam koruptor besar
f. Penentuan jenis atau kelompok korupsi diprioritaskan untuk diberantas.
g. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik.
h. Penelitian dan evaluasi proses penanganan korupsi dalam sistem peradilan pidana secara berkesinambungan.
i. Pemberlakuan sistem monitoring dan evaluasi proses penyelesaian tindak pidana korupsisecara terpadu.
j. Publikasi kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya.
k. Pengaturan kembali pelaksanaan tugas penyidik dan petugas PNS.
Selain hal-hal tersebut di atas yang sangat penting adalah Reformasi Birokrasi, kebanyakan Negara berkembang membayar PNS sangat murah, terdapat suatu hubungan yang bersifat equivalen antara gaji PNS dan tingkat korupsi. Para pejabat menambah penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan atau dari hasil suap. Jika para PNS digaji kecil , maka hanya orang-orang yang mau menerima suap yang tertarik bekerja di sektor publik. Pembayaran gaji PNS harus disesuaikan sekurang-kurangnya seimbang dengan posisi yang sama di sektor swasta. Reformasi PNS memerlukan suatu usaha yang berkesinambungan, khususnya jika korupsi telah mengakar dan sistemik.
Sistem rekrutmen dibuat transparan dengan mekanisme dan kriteria yang jelas, maka dean governme akan mendekati kenyataan dan praktek korupsi di Indonesia bisa ditekan ke tingkat minimal.
B. Upaya Hukum Pemberantasan Mafia Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Slogan “mencegah lebih utama daripada pemberantasan”, selain dipakai dalam slogan kesehatan juga telah digunakan secara umum untuk hal-hal yang dapat menimbulkan aspek-aspek yang tidak diinginkan, walaupun kadang-kadang tanpa disadari dengan seksama tentang hakikat daripada makna atau anti dari kata “prevensi”tersebut.
Makna prevensi adalah membuat rintangan atau hambatan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Untuk dapat menghambat tindak pidana korupsi itu maka diperlukan pemahaman yang seksama terhadap semua faktor yang menyebabkan timbulnya korupsi serta semua hal-hal yang mendukung atau mempengaruhinya.
UU No. 31 Tahun 1999 memuat kata “pencegahan” dalam “penjelasan”, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perbuatan-perbuatan pencegahan tersebut. Pada hakikatnya tidak dapat disangkal bahwa prevense yang sesungguhnya berupa upaya maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana korupsi, ibarat “imunisasi” tentang suatu penyakit hingga orang yang telah diimunisasi tersebut tidak terkena penyakit yang menjadi target atau sasaran imunisasi tersebut.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diamati dan disikapi dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi ini, antara lain:
1. Mental dan Budi Pekerti
Pembangunan “mental dan budi pekerti”(jiwa) masyarakat Indonsia selama masa orde baru (1965-1998) tampaknya tidak pernah diperhatikan, meskipun telah diingatkan dalam lirik lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, antara lain“…bangunlah jiwanya …..”, semua ini dimaksudkan untuk membangun budi luhur, perbuatan yang mulia, menjauhkan perbuatan yang tercela. Namun akhir-akhir ini semuanya seolah sirna, karena upaya masyarakat tertuju untuk mendapatkan uang, seolah-olah uang adalah segala-galanya sehingga banyak uang negara dalam kondisi atau posisi “kredit macet” dan”Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI)” yang tidak kena pada sasaran, sungguh merupakan hal yang tidak masuk akal.
Pada prevensi tindak pidana korupsi, hanya jiwa yang baik, jiwa yang bersih, jiwa yang mengandung nilai-nilai yang luhur yang tidak mau melakukan korupsi. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia mendapat perhatian semua pihak, semua golongan dan partai, serta semua pimpinan dari semua tingkat seraya memberi contoh keteladanan.
2. Sistem Kontrol
Mengamati sistem pengawasan yang dijalankan selama ini, baik pengawasan fungsional, pengawasan melekat, maupun pengawasan-pengawasan masyarakat masyarakat, seolah-oleh tidak memadai.
Pengawasan fungsional yang terdiri dari BPK (Badan Pengawas Keuangan), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jendral dan aparat pengawas ditingkat provinsi dan kota kabupaten, perlu diamati dan diteliti serta dipikirkan guna menemukan ketidak berhasilannya selama ini untuk meredam kebocoran keuangan negara.
Yang perlu untuk diperhatikan secara seksama untuk mencegah adanya mark up dan kebocoran keuangan negara, perlu adanya pengawasan dalam hal seperti :
a. Pengadaan inventaris, ada dua kemungkinan, yakni mark-up atau fiktif, artinya hanya faktur/kwitansi yang ada, sedangkan barang tidak ada.
b. Perjalanan dinas, dilakukan secara random/acak pengecekan kepada penginapan, dapat menentukan kebenaran perjalanan dinas tesebut.
c. Dan lain sebagainya, meskipun hasilnya tidak seberapa tetapi dampak prevensinya sangat besar.
Perlu disadari bahwa aparat pengawasan memerlukan penataan kembali dalam pengawasan intern atau pengawasan melekat agar dapat berhasil guna dan tepat guna dalam mencegah adanya KKN.
3. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat dalam upaya mencegah KKN sangat besar khususnya masyarakat yang termasuk golongan bisnis yang selalu berprinsip “time is money” mereka dalam mengurus urusan/masalah selalu mempertimbangkan untung- rugi. Bagi para bisnissmen tersebut perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa perbuatan untuk melakukan pembayaran di luar ketentuan (suap) merupakan perbuatan yang tercela, merusak jalannya roda pemerintahan. Selain itu, perlu ditumbuh-kembangkan kesadaran bagi setiap warga negara bahwa melaporkan suatu tindak pidana KKN dapat membantu aparat dalam memberantas KKN.
Dewasa ini masyarakat cenderung bersikap diam terhadap perbuatan KKN, selain akan merepotkan juga dengan pertimbangan bahwa laporan tersebut tidak akan ditanggapi dengan jujur. Selama masyarakat beranggapan demikian maka akan sulit mengharapkan perilaku masyarakat yang membantu untuk mencegah meluasnya tindak pidana KKN. Peran serta masyarakat diharapkan dapat meningkat jika pemerintah memberikan penghargaan atau insentif serta khususnya perlindungan kepada anggota masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana KKN.
C. Dampak buruk Mafia Hukum kepada Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia
Buruknya penyelenggaraan pemerintahan Indonesia juga menjadi andil lingkungan internasional. Melalui lembaga-lembaga internasional dan hubungan-hubungan bilateral maupun multilateral Indonesia telah ditempatkan pada arus predistinatif (niscaya) yang sulit keluar dan membenahi “benang kusutnya” sendiri.
Meskipun norma-norma baru diperkenalkan juga seperti isu HAM, kewajiban meratifikasi ketentuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), tetapi Indonesia tetap tak beranjak. Begitu juga prestasi diplomasi mutakhir Indonesia dalam forum-forum internasional, semuanya dianggap tidak luput dari perpanjangan tangan dan keniscayaan globalisasi yang tak dapat disikapi secara jelas itu.
Memang dalam pemberantasan mafia hukum prasyarat kemandirian sebagai bangsa amat diperlukan selain integritas seorang pemimpin puncak. Mungkin dapat dicontoh dari seorang Zhu Rongji (Perdana Menteri Cina) dengan gerakan politik 100 peti mati. “Sesak Napas” pemberantasan mafia hukum di Indonesia tidak saja dilatari oleh bagaimana buruknya kinerja lembaga penegak hukum yang sempat mencuatkan kasus Ketua KPK Antasari, Anggodo, Susno Duaji, Gayus Tambunan, Rekening gemuk bersimbolkan celengan babi, dan lain-lain.
Tingkah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang mengekspose kasus-kasus dari etalase pencitraan politik semakin meragukan tujuan pembentukan lembaga yang direncanakan bekerja selama 2 tahun ini. Namun anehnya, disela-sela itu masih sempat juga meluas kekhawatiran akibat wacana perubahan konstitusi untuk merombak pembatasan masa jabatan Presiden.
Melihat pengaruhnya terhadap keseluruhan wacana dan tindakan pemberantasan mafia hukum, faktor kemauan politik pemimpin tertinggi itu berkedudukan sebagai variabel utama. Faktor itu dipercaya secara signifikan mempengaruhi nilai sosial budaya, sosial ekonomi dan pembentukan civil society. Dalam posisi kuatnya negara dihadapan masyarakat seperi sekarang ini, maka dengan sendirinya tidak salah jika ia dipersepsikan wajib mampu melakukan tindakan-tindakan besar yang dapat menyeragamkan gerak perlawanan masyarakat terhadap mafia hukum. Tetapi sayangnya pemerintah dengan gaya yang terlalu banyak berharap kepada faktor-faktor diluar dirinya sambil memperbanyak wacana dan instrumentasi artificial,telah menjelaskan tentang salah satu kunci kegagalan utama negara dalam pemberantasan mafia hukum.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk oleh Presiden yang mengawali kinerjanya mengecoh rakyat dengan ekspose tentang sisi buruk lembaga pemasyarakatan jelas sekali telah memberitahu secara jelas strategi dan misi yang dipikul. Karena itulah kondisi sosial budaya, sosial ekonomi dan eksistensi dan kedudukan civil society masih belum dapat diharapkan untuk memberantas mafia hukum. Sebetulnya kondisi buruk ini adalah warisan lama Indonesia, yang sayangnya pada periode pertama pemerintahannya tidak banyak diperhatikan oleh SBY kecuali sekadar untuk kepentingan pencitraan politik belaka. Masih belum hilang dari ingat kalimat kampanye tahun 2004 “saya akan memimpinkan sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia”, sebagai motif terkuat dari pemberantasan praktik mafia hukum, nyatanya Indonesia belum mampu di bawa bergeser ke peperangan yang serius (memberantas korupsi) sebagaimana dijanjikan untuk 2004-2009. Tetapi dalam mengawali pemerintahan 2009-2014, akhir tahun lalu SBY memang memperbaharui kalimat dengan mengatakan zero tolerance to corruption.
Kuatnya gejala artifisial sambil mengembangkan wacana mempertahankan dukungan politik masyarakat luas, telah mewarnai masa-masa terpenting dari awal pemerintahan dengan hasil yang amat minim. Tentu saja ‘”buku rapor” SBY-Budiono atas nama para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang dibuat oleh Kuntoro Mangkusubroto sama sekali tidak dapat menjelaskan kenapa harapan masyarakat akan perubahan yang lebih baik tidak tercapai. Bahkan “buku rapor” ini secara by design telah mempertontonkan kanaifan pemerintahan meskipun mungkin tadinya dimaksudkan untuk tujuan lain termasuk meneguhkan penanaman prinsip kuno the king can do no wrong. Padahal semestinya momentum awal itu dapat dijadikan sebagai peluang untuk melakukan langkah-langkah besar yang memicu dukungan politik yang luas dari dalam maupun dari luar.
Metamorfosis politik di luar Presiden dan Kabinet telah beranjak kepada perteguhan kesan Indonesia sebagai Negara kepartaian dengan asas kartelitas sehubungan penciptaan resep anti kerawanan kekuasaan bersama Sekretariat Gabungan Partai menyusul kegagalan bangunan koalisi. Maka kemungkinan memperoleh sukses sampai akhir masa jabatan pada tahun 2014 amat kecil bagi pemerintah ini, apalagi jika pentingnya popularitas masih tetap dianggap prioritas di atas yang lain.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtstaats).Hukum seharusnya dijadikan penguasa tertinggi dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berlaku bagi setiap warga negara tidak terkecuali para penegak hukum itu sendiri. Sebagai suatu sistem, hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan.
Komponen struktural adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Contohnya adalah kepolisian dan lembaga pembuat undang-undang yang diberikan wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. Komponen substansi adalah suatu hasil nyata dalam bentuk yang in-concreto atau kaidah hukum individual, misalkan Polisi memanggil saksi untuk kepentingan penyelidikan dan sebagainya. Sedangkan komponen budaya hukum adalah sikap tindak warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dianutnya atau keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap tindak yang mempengaruhi hukum.
Ketiga hal tersebut satu sama lain harus saling berkaitan agar sebuah sistem hukum dapat dijadikan suatu pegangan dalam bernegara. Apabila kemudian sistem hukum tersebut rusak maka yang harus diperbaiki adalah ketiga komponen hukum tersebut.
Peran serta masyarakat diharapkan dapat meningkat jika pemerintah memberikan penghargaan atau insentif, khususnya perlindungan kepada anggota masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana KKN.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia baru. Cetakan ke 3, 2004.
Bemmelen, Van. Hukum Pidana I (Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Bina Cipta, 1987.
Bahan Bacaan Akhtiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE, UI.
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan R. Koesnoen. Cet. 7. Jakarta: PT Pembangunan, 19
Chaeruddin, Materi Pokok Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: FH Universits Syafi’iyah, 1996.
Depdikbud, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka, 1995.
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Tulisan). Ed. Ketiga. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 1993.
Oesman, Rasjidi, Filsafat Hukum, Jakarta: Pamator Pressindo, 1993.
Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum: Apakah Itu Hukum. Cetakan kelima, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Cetakan ke 28, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003.
Senin, 18 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar