FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA MAFIA HUKUM
DISUSUN OLEH KELOMPOK III : SRI HARTATI,SUBIYONO, R. LUCKY PERMANA, HAZARMAIN,NURJANAH,dan BUDI HAPSARI.
FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA MAFIA HUKUM
A. Pendahuluan
Praktik mafia hukum dapat terjadi sejak proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan, eksekusi dan pemasyarakatan. Penyebab maraknya praktik mafia hukum dapat dikarenakan :
1. Kelemahan pengawasan dan pendisiplinan tercermin dari kasus Gayus.
2. Kelemahan manajemen sumber daya manusia. Kelemahan ini terkait dengan sistem rekrutmen yang masih penuh dengan aroma KKN.
3. Kelemahan sistem penanganan perkara, sistem penanganan perkara itu membuka peluang terjadinya praktik mafia hukum karena tidak ada check and balance.
4. Minimnya gaji, tunjangan dan anggaran operasional.
5. Kelemahan peraturan perlindungan saksi dan korban, dalam UU perlindungan saksi dan korban, kecil sekali perlindungan terhadap saksi pengungkap kasus, akhirnya mereka enggan untuk mengungkapkan apa yang diketahui.
Interaksi di antara kadar kemauan politik, kelembagaan polotik, hukum dan perundang-undangan serta tradisi birokrasi di Indonesia saat ini belum memungkinkan untuk keberhasilan pemberantasan mafia hukum. Faktor itu sama-sama mendukung untuk apa yang boleh disebut sebagai supremasi jahat rokasi (kekuatan kejahatan) yang membuat Indonesia belum akan beranjak dari keterpurukan.
B. RUMUSAAN MASALAH
Dari uraian di atas, Kelompok III mengemukakan masalah sebagai berikut :
1. Upaya apa yang dilakukan oleh penegak hukum dalam pemberantasan mafia hukum di Indonesia ?
2. Apa dampak Mafia Hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Upaya Mengatasi Mafia Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Telah diuraikan dimuka penyebab yang dapat penghambat dalam penegakkan hukum, sebenarnya terletak pada faktor yang saling mempengaruhi sehingga dampak positif dan negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut, seperti :
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana adanya celah-celah hukum yang memungkinkan untuk tidak dapat berlaku secara efektif dalam proses penyidikan khususnya dalam pra penuntutan.
2. Faktor penegak hukum, yakni dalam penerapan hukum. Tenaga penyidik sangat minim sekali dalam pengetahuannya tentang masalah-masalah hukum, padahal KUHAP sudah berlaku duapuluh lima tahun dan ternyata Kepolisian RI belum siap untuk melakukan penyidikan yang sesuai dengan peraturan yang ada seperti terhadap tindak pidana Korupsi, hal ini diperparah lagi dengan “adanya perebutan” kewenangan antara jaksa dan polisi yang muaranya mengarah kepada perebutan rezeki atau uang.
3. Faktor pendidikan, seperti kita ketahui dengan kemajuan teknologi yang canggih seperti kejahatan Cyber Crime, Money Laundry dan sekarang muncul kejahatan Coorporasi dimana kemampuan penyidik yang berbekal pendidikan SMA dan kejuruan tidak cukup untuk mengatasi permasalahan yang ada. Pengacara yang mendampingi tersangka dalam tingkat penyidikan baik dari segi penyidikan maupun dari ilmu pengetahuan lebih baik. Kepolisian Negara Republik Indonesia harus membuat suatu pendidikan profesi penyidik, pendidikan profesi ini diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
Sedangkan Jaksa persyaratannya adalah Sarjana Hukum, selain itu harus mengikuti pendidikan Pembentukkan Jaksa dan setelah dibekali menjadi Jaksa juga dibekali dengan teknis spesialisasi seperti korupsi, perdata, lingkungan hidup, money laundry sehingga penguasaan terhadap materi hukum relatif lebih baik, khususnya berkaitan dengan teknis yuridis penyidikan dan penuntutan.
Bilamana kejaksaan sebagai penyidik sekaligus Koordinator penyidik, akan muncul kompetisi yang sehat antar penyidik karena masing-masing penyidik akan berusaha menyumbangkan prestasi terbaiknya. Hal ini akan menumbuh kembangkan profesionalisme, yang selanjutnya akan memperbaiki citra penegak hukum dan penegakan hukum di Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum.
Selain itu secara faktual kejaksaan adalah institusi yang paling berpengalaman berkaitan dengan teknis penyidikan dibandingkan dengan Kepolisian, Penyidik lainnya dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya akan mengurangi rentang kendali proses penyidikan dan pra penuntutan sebagaimana telah diuraikan terdahulu karena hasil penyidikan dari Pegawai Negeri Sipil dapat langsung dikirimkan ke penuntut umum, tidak melalui penyidik Kepolisian RI sebagaimana yang berlaku selama ini (vide Pasal 7 ayat (2) KUHAP jo Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang N0. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan juga untuk menghindari kesan rebutan perkara karena ada aturannya, yakni melalui mekanisme SPDP yang tidak ditujukan untuk penuntut umum, tetapi juga untuk semua penyidik yang mempunyai kewenangan yang sama terhadap perkara tersebut.
4. Faktor sarana atau fasilitas , minimnya dana yang diperlukan dalam proses penyidikan maupun penuntutan. Proses penyidikan misalnya, biaya yang dibutuhkan untuk kelengkapan formil suatu berkas perkara relatif tidak sedikit. Contohnya untuk pemanggilan saksi-saksi dalam tindak pidana korupsi, biasanya melibatkan banyak saksi-saksi, sedangkan untuk memanggil saksi-saksi yang tempat tinggalnya cukup jauh membutuhkan dana yang tidak sedikit.
5. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan sistim monitoring dan evaluasi yang efektif dan suatu sistem pengaduan masyarakat. Kebebasan informasi adalah mutlak merupakan pra kondisi sebagai upaya anti korupsi. Mengingat keberanian masyarakat dan kondisi yang berkembang dewasa ini, memperlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah penyelewengan kekuasaan yang berbentuk KKN, meskipun belum tampak dilakukannya penangan yang serius oleh pemerintah, akan tetapi telah membuka jalan ke arah masalah yang sesungguhnya. Transparansi semakin menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawarkan, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut keadilan.
6. Faktor kebudayaan, yakni Masih lemahnya tradisi atau budaya disiplin dan kesadaran atau kepatuhan terhadap hukum, dan disisi lain masih lemahnya kualitas Sumber Daya Manusia aparat penegak hukum di Indonesia, masyarakat dapat menyumbangkan kontribusinya dalam upaya pemberantasan KKN. Caranya adalah pemberian sanksi sosial yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi seseorang yang dianggap melanggar norma atau kepatuhan terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Bagaimana sanksi sosial ini dilaksanakan? Banyak cara yang tersedia di masyarakat, tinggal apakah kita bersedia memanfaatkannya atau tidak. Selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau kelompoknya, atau yang mampu dan bersedia membayar, maka sanksi sosial ini perlu kita terapkan sehingga orang akan merasakannya.
Setelah langkah-langkah diatas dilakukan maka alternatif strategi pemberantasan KKN perlu dilakukan agar tindak pidana KKN dapat diketahui secara cepat dan tepat untuk segera ditindak lanjuti dan dapat diproses secara hukum, strategi dimaksud antara lain:
a. Penyempurnaan sistem pengaduan dari masyarakat terhadap fungsi pemerintah dan tindak lanjutnya.
b. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.
c. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi politik.
d. Pembentukan badan anti KKN.
e. Penyidikan, penuntutan, peradilan dan penghukumam koruptor besar
f. Penentuan jenis atau kelompok korupsi diprioritaskan untuk diberantas.
g. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik.
h. Penelitian dan evaluasi proses penanganan korupsi dalam sistem peradilan pidana secara berkesinambungan.
i. Pemberlakuan sistem monitoring dan evaluasi proses penyelesaian tindak pidana korupsisecara terpadu.
j. Publikasi kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya.
k. Pengaturan kembali pelaksanaan tugas penyidik dan petugas PNS.
Selain hal-hal tersebut di atas yang sangat penting adalah Reformasi Birokrasi, kebanyakan Negara berkembang membayar PNS sangat murah, terdapat suatu hubungan yang bersifat equivalen antara gaji PNS dan tingkat korupsi. Para pejabat menambah penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan atau dari hasil suap. Jika para PNS digaji kecil , maka hanya orang-orang yang mau menerima suap yang tertarik bekerja di sektor publik. Pembayaran gaji PNS harus disesuaikan sekurang-kurangnya seimbang dengan posisi yang sama di sektor swasta. Reformasi PNS memerlukan suatu usaha yang berkesinambungan, khususnya jika korupsi telah mengakar dan sistemik.
Sistem rekrutmen dibuat transparan dengan mekanisme dan kriteria yang jelas, maka dean governme akan mendekati kenyataan dan praktek korupsi di Indonesia bisa ditekan ke tingkat minimal.
B. Upaya Hukum Pemberantasan Mafia Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Slogan “mencegah lebih utama daripada pemberantasan”, selain dipakai dalam slogan kesehatan juga telah digunakan secara umum untuk hal-hal yang dapat menimbulkan aspek-aspek yang tidak diinginkan, walaupun kadang-kadang tanpa disadari dengan seksama tentang hakikat daripada makna atau anti dari kata “prevensi”tersebut.
Makna prevensi adalah membuat rintangan atau hambatan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Untuk dapat menghambat tindak pidana korupsi itu maka diperlukan pemahaman yang seksama terhadap semua faktor yang menyebabkan timbulnya korupsi serta semua hal-hal yang mendukung atau mempengaruhinya.
UU No. 31 Tahun 1999 memuat kata “pencegahan” dalam “penjelasan”, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perbuatan-perbuatan pencegahan tersebut. Pada hakikatnya tidak dapat disangkal bahwa prevense yang sesungguhnya berupa upaya maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana korupsi, ibarat “imunisasi” tentang suatu penyakit hingga orang yang telah diimunisasi tersebut tidak terkena penyakit yang menjadi target atau sasaran imunisasi tersebut.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diamati dan disikapi dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi ini, antara lain:
1. Mental dan Budi Pekerti
Pembangunan “mental dan budi pekerti”(jiwa) masyarakat Indonsia selama masa orde baru (1965-1998) tampaknya tidak pernah diperhatikan, meskipun telah diingatkan dalam lirik lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, antara lain“…bangunlah jiwanya …..”, semua ini dimaksudkan untuk membangun budi luhur, perbuatan yang mulia, menjauhkan perbuatan yang tercela. Namun akhir-akhir ini semuanya seolah sirna, karena upaya masyarakat tertuju untuk mendapatkan uang, seolah-olah uang adalah segala-galanya sehingga banyak uang negara dalam kondisi atau posisi “kredit macet” dan”Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI)” yang tidak kena pada sasaran, sungguh merupakan hal yang tidak masuk akal.
Pada prevensi tindak pidana korupsi, hanya jiwa yang baik, jiwa yang bersih, jiwa yang mengandung nilai-nilai yang luhur yang tidak mau melakukan korupsi. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia mendapat perhatian semua pihak, semua golongan dan partai, serta semua pimpinan dari semua tingkat seraya memberi contoh keteladanan.
2. Sistem Kontrol
Mengamati sistem pengawasan yang dijalankan selama ini, baik pengawasan fungsional, pengawasan melekat, maupun pengawasan-pengawasan masyarakat masyarakat, seolah-oleh tidak memadai.
Pengawasan fungsional yang terdiri dari BPK (Badan Pengawas Keuangan), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jendral dan aparat pengawas ditingkat provinsi dan kota kabupaten, perlu diamati dan diteliti serta dipikirkan guna menemukan ketidak berhasilannya selama ini untuk meredam kebocoran keuangan negara.
Yang perlu untuk diperhatikan secara seksama untuk mencegah adanya mark up dan kebocoran keuangan negara, perlu adanya pengawasan dalam hal seperti :
a. Pengadaan inventaris, ada dua kemungkinan, yakni mark-up atau fiktif, artinya hanya faktur/kwitansi yang ada, sedangkan barang tidak ada.
b. Perjalanan dinas, dilakukan secara random/acak pengecekan kepada penginapan, dapat menentukan kebenaran perjalanan dinas tesebut.
c. Dan lain sebagainya, meskipun hasilnya tidak seberapa tetapi dampak prevensinya sangat besar.
Perlu disadari bahwa aparat pengawasan memerlukan penataan kembali dalam pengawasan intern atau pengawasan melekat agar dapat berhasil guna dan tepat guna dalam mencegah adanya KKN.
3. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat dalam upaya mencegah KKN sangat besar khususnya masyarakat yang termasuk golongan bisnis yang selalu berprinsip “time is money” mereka dalam mengurus urusan/masalah selalu mempertimbangkan untung- rugi. Bagi para bisnissmen tersebut perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa perbuatan untuk melakukan pembayaran di luar ketentuan (suap) merupakan perbuatan yang tercela, merusak jalannya roda pemerintahan. Selain itu, perlu ditumbuh-kembangkan kesadaran bagi setiap warga negara bahwa melaporkan suatu tindak pidana KKN dapat membantu aparat dalam memberantas KKN.
Dewasa ini masyarakat cenderung bersikap diam terhadap perbuatan KKN, selain akan merepotkan juga dengan pertimbangan bahwa laporan tersebut tidak akan ditanggapi dengan jujur. Selama masyarakat beranggapan demikian maka akan sulit mengharapkan perilaku masyarakat yang membantu untuk mencegah meluasnya tindak pidana KKN. Peran serta masyarakat diharapkan dapat meningkat jika pemerintah memberikan penghargaan atau insentif serta khususnya perlindungan kepada anggota masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana KKN.
C. Dampak buruk Mafia Hukum kepada Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia
Buruknya penyelenggaraan pemerintahan Indonesia juga menjadi andil lingkungan internasional. Melalui lembaga-lembaga internasional dan hubungan-hubungan bilateral maupun multilateral Indonesia telah ditempatkan pada arus predistinatif (niscaya) yang sulit keluar dan membenahi “benang kusutnya” sendiri.
Meskipun norma-norma baru diperkenalkan juga seperti isu HAM, kewajiban meratifikasi ketentuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), tetapi Indonesia tetap tak beranjak. Begitu juga prestasi diplomasi mutakhir Indonesia dalam forum-forum internasional, semuanya dianggap tidak luput dari perpanjangan tangan dan keniscayaan globalisasi yang tak dapat disikapi secara jelas itu.
Memang dalam pemberantasan mafia hukum prasyarat kemandirian sebagai bangsa amat diperlukan selain integritas seorang pemimpin puncak. Mungkin dapat dicontoh dari seorang Zhu Rongji (Perdana Menteri Cina) dengan gerakan politik 100 peti mati. “Sesak Napas” pemberantasan mafia hukum di Indonesia tidak saja dilatari oleh bagaimana buruknya kinerja lembaga penegak hukum yang sempat mencuatkan kasus Ketua KPK Antasari, Anggodo, Susno Duaji, Gayus Tambunan, Rekening gemuk bersimbolkan celengan babi, dan lain-lain.
Tingkah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang mengekspose kasus-kasus dari etalase pencitraan politik semakin meragukan tujuan pembentukan lembaga yang direncanakan bekerja selama 2 tahun ini. Namun anehnya, disela-sela itu masih sempat juga meluas kekhawatiran akibat wacana perubahan konstitusi untuk merombak pembatasan masa jabatan Presiden.
Melihat pengaruhnya terhadap keseluruhan wacana dan tindakan pemberantasan mafia hukum, faktor kemauan politik pemimpin tertinggi itu berkedudukan sebagai variabel utama. Faktor itu dipercaya secara signifikan mempengaruhi nilai sosial budaya, sosial ekonomi dan pembentukan civil society. Dalam posisi kuatnya negara dihadapan masyarakat seperi sekarang ini, maka dengan sendirinya tidak salah jika ia dipersepsikan wajib mampu melakukan tindakan-tindakan besar yang dapat menyeragamkan gerak perlawanan masyarakat terhadap mafia hukum. Tetapi sayangnya pemerintah dengan gaya yang terlalu banyak berharap kepada faktor-faktor diluar dirinya sambil memperbanyak wacana dan instrumentasi artificial,telah menjelaskan tentang salah satu kunci kegagalan utama negara dalam pemberantasan mafia hukum.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk oleh Presiden yang mengawali kinerjanya mengecoh rakyat dengan ekspose tentang sisi buruk lembaga pemasyarakatan jelas sekali telah memberitahu secara jelas strategi dan misi yang dipikul. Karena itulah kondisi sosial budaya, sosial ekonomi dan eksistensi dan kedudukan civil society masih belum dapat diharapkan untuk memberantas mafia hukum. Sebetulnya kondisi buruk ini adalah warisan lama Indonesia, yang sayangnya pada periode pertama pemerintahannya tidak banyak diperhatikan oleh SBY kecuali sekadar untuk kepentingan pencitraan politik belaka. Masih belum hilang dari ingat kalimat kampanye tahun 2004 “saya akan memimpinkan sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia”, sebagai motif terkuat dari pemberantasan praktik mafia hukum, nyatanya Indonesia belum mampu di bawa bergeser ke peperangan yang serius (memberantas korupsi) sebagaimana dijanjikan untuk 2004-2009. Tetapi dalam mengawali pemerintahan 2009-2014, akhir tahun lalu SBY memang memperbaharui kalimat dengan mengatakan zero tolerance to corruption.
Kuatnya gejala artifisial sambil mengembangkan wacana mempertahankan dukungan politik masyarakat luas, telah mewarnai masa-masa terpenting dari awal pemerintahan dengan hasil yang amat minim. Tentu saja ‘”buku rapor” SBY-Budiono atas nama para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang dibuat oleh Kuntoro Mangkusubroto sama sekali tidak dapat menjelaskan kenapa harapan masyarakat akan perubahan yang lebih baik tidak tercapai. Bahkan “buku rapor” ini secara by design telah mempertontonkan kanaifan pemerintahan meskipun mungkin tadinya dimaksudkan untuk tujuan lain termasuk meneguhkan penanaman prinsip kuno the king can do no wrong. Padahal semestinya momentum awal itu dapat dijadikan sebagai peluang untuk melakukan langkah-langkah besar yang memicu dukungan politik yang luas dari dalam maupun dari luar.
Metamorfosis politik di luar Presiden dan Kabinet telah beranjak kepada perteguhan kesan Indonesia sebagai Negara kepartaian dengan asas kartelitas sehubungan penciptaan resep anti kerawanan kekuasaan bersama Sekretariat Gabungan Partai menyusul kegagalan bangunan koalisi. Maka kemungkinan memperoleh sukses sampai akhir masa jabatan pada tahun 2014 amat kecil bagi pemerintah ini, apalagi jika pentingnya popularitas masih tetap dianggap prioritas di atas yang lain.
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtstaats).Hukum seharusnya dijadikan penguasa tertinggi dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berlaku bagi setiap warga negara tidak terkecuali para penegak hukum itu sendiri. Sebagai suatu sistem, hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan.
Komponen struktural adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Contohnya adalah kepolisian dan lembaga pembuat undang-undang yang diberikan wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. Komponen substansi adalah suatu hasil nyata dalam bentuk yang in-concreto atau kaidah hukum individual, misalkan Polisi memanggil saksi untuk kepentingan penyelidikan dan sebagainya. Sedangkan komponen budaya hukum adalah sikap tindak warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dianutnya atau keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap tindak yang mempengaruhi hukum.
Ketiga hal tersebut satu sama lain harus saling berkaitan agar sebuah sistem hukum dapat dijadikan suatu pegangan dalam bernegara. Apabila kemudian sistem hukum tersebut rusak maka yang harus diperbaiki adalah ketiga komponen hukum tersebut.
Peran serta masyarakat diharapkan dapat meningkat jika pemerintah memberikan penghargaan atau insentif, khususnya perlindungan kepada anggota masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana KKN.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia baru. Cetakan ke 3, 2004.
Bemmelen, Van. Hukum Pidana I (Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Bina Cipta, 1987.
Bahan Bacaan Akhtiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE, UI.
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan R. Koesnoen. Cet. 7. Jakarta: PT Pembangunan, 19
Chaeruddin, Materi Pokok Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: FH Universits Syafi’iyah, 1996.
Depdikbud, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka, 1995.
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Tulisan). Ed. Ketiga. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 1993.
Oesman, Rasjidi, Filsafat Hukum, Jakarta: Pamator Pressindo, 1993.
Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum: Apakah Itu Hukum. Cetakan kelima, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Cetakan ke 28, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003.
Senin, 18 April 2011
JAKSA AGUNG LEGAL/ILEGAL
JAKSA AGUNG LEGAL/ILEGAL
Oleh: Herman Hermanto, Afika Rahmah, Ninin Murnindrati, David Suharyadi, Indra Satria
R. Junida Hasta Kusumah.
A. Pendahuluan
Di era reformasi ini semua orang bebas berekspresi mengungkapkan kebebasannya dalam berbicara, bertindak, maupun dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari lahirnya tuntutan “reformasi” yang bergulir pada tahun 1998 ketika mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim Soeharto yang terkenal otoriter dan menjadi “penguasa tunggal” negeri ini beserta para kroninya.
Hal inilah yang menghembuskan angin perubahan pada dunia hukum kita. Banyaknya aksi demonstrasi menuntut perubahan, menuntut keadilan, dan tuntutan-tuntutan lainnya terus bergaung dimana-mana, orang tidak takut lagi berbicara tentang suksesi kepemerintahan yang dulunya tabu untuk diucapkan di zaman orde baru, rakyat tidak takut lagi berdemo dijalanan, berorasi ditempat-tempat tujuan mereka dalam menyampaikan aspirasi bahkan masuk menerobos gedung perwakilan rakyat kita. Hal ini tentulah indikasi adanya perubahan dalam cara kita berdemokrasi kearah perbaikan, cara yang memang ideal dalam suatu Negara demokrasi dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutannya selama dilakukan dalam koridor yang benar dan mematuhi setiap aturan yang ada walaupun banyak juga kita lihat kekurangan serta keanarkian anak bangsa dalam proses berdemokrasi.
Angin reformasi juga menerpa birokrasi dan institusi negara kita, semua institusi negara kita tidak luput dari tuntutan untuk mereformasi diri kearah perbaikan dimulai dari Presiden sampai keseluruh jajaran kabinetnya , juga lembaga tinggi Negara lainnya seperti MA, BPK dan lainnya turut mereformasi dirinya sendiri. Hukum berdiri sebagai panglima untuk Negara ini bukan sebagai panglima penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya. Inilah bentuk ideal sebuah Negara yang mengedepankan hukum sebagai panglima dalam mengawal Negara.
Institusi penegak hukum kita akhir-akhir ini mengalami cobaan yang luar biasa , mendapatkan tekanan-tekanan publik yang sangat kuat dimana semua orang bisa melihat, mendengar, merasakan tentang pelaksanaan hukum dinegara kita, berbagai ketimpanagan dalam pelaksanaannya mendapatkan banyak sorotan baik dari media lokal maupun internasional sehingga memaksa para penegak hukum tidak bisa sewenang-wenang dalam mengambil sebuah tindakan atau keputusan karena mereka selalu dimonitor oleh masyarakat.
Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi hukum Negara kita akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang luar biasa setelah adanya kasus SISMINBAKUM yang tengah ditangani oleh Kejaksaan Agug yang melibatkan juga mantan MenKeh HAM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka kasus SISMINBAKUM yang menolak diperiksa oleh kejagung karena menilai Hendarman Ilegal sebagai Jaksa Agung, dengan kata lain ia katakan tidak sah. Asumsi yang digunakan oleh Yusril, Hendarman Supandji diangkat sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dengan kedudukan setingkat Menteri Negara. KIB I sendiri telah dibubarkan dengan Keppres No 83 tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009, pada Keppres pengakatan KIB II Pengakatan Jaksa Agung tidak disertakan. Oleh karena itu Yusril menilai tidak ada Keppres yang mengangkat Hendarman sebagai Jaksa Agung. Sedangkan di sisi lain menyatakan bahwa penilai Yusril tidak benar. Telah terjadi pergeseran yang sebelumnya Jaksa Agung adalah setingkat mentri atau bagian dari kabinet sekarang ini tidak lagi. Mereka berpendapat bahwa dalam UU Kementerian Negara, Jaksa Agung dinyatakan bukan anggota kabinet yang berarti pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tidaklah harus bersamaan dengan pengangkatan dan pemberhentian anggota kabinet. Bahkan UUD 1945 tidak menyatakan bahwa Jaksa Agung adalah pembatu presiden. Inilah yang menggugah penulis untuk menulis makalah ini dan berharap mendapatkan wawasan yang luas serta memahami persoalan yang ada kaitannya dengan tugas keilmuan penulis .
Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Hukum Jaksa Agung (Legal/Ilegal) maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Apakah Jaksa Agung Legal/Ilegal menurut Hukum?
B. PEMBATASANMASALAH
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada masalah :
a. Penjelasan tentang Jaksa Agung Legal/Ilegal menurut hukum
C. PERUMUSANMASALAH
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Penjelasan tentang keabsahan atau tidaknya Jaksa Agung ?
BAB II
PEMBAHASAN
Dari permasalah tersebut penulis menilai hal ini diakibatkan dua hal yakni Pertama, Undang-undang kejaksaan tidak mengatur pemasalahan masa jabatan Jaksa Agung. Kedua, masih adanya ketidak “relaan” melepas kedudukan Kejasaan sebagai bagian yang secara murni terlepas dari kekuasaan esekutif, sehingga kedudukan Jaksa Agung bagian dari kabinet atau tidak menjadi tidak jelas pula. Oleh karena itu terlepasa dari kotrofersi yang tercipta langkah Yusril telah mengajukan uji materi Undang-undang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang diajukan terkait masa tugas Jaksa Agung yakni pasal 19 dan 22 UU 16/2004 tentang Kejaksaan di nilai sudah tepat. Karena permasalahan ini akan berdapak pada permasalahan konstitusi. Oleh karena itu, si bawah ini penulis mencoba memberikan tulisan singkat sebagai alternatif bacaan tentang kedudukan kejaksaan yang dikaitkan dengan pengangkatan Jaksa Agung.
Kejaksaan dan Kepolisian merupakan lembaga yang bertanggung jawab pada salah satu tugas penuntutan (public prosecution) dan penyelidikan serta penyidikan perkara pidana (criminal proceeding). Oleh karena itu, tugas-tugas kejaksaan dan tugas-tugas kepolisian perlu diatur sedemikian rupa, sehingga tercipta suasana sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), di mana masing-masing tugas dapat terkordinasi demi kepentingan penegakan hukum secara sistematik, bukan kepentingan instansional. Tugas polisi sebagai criminal investigation perlu dipisahkan dengan tugas kejaksaan sebagai public prosecution dan criminal proceeding .
Pada titik ini, terdapat persoalan yang bersifat anomali ketika dihadapkan pada kenyataan yang ada di berbagai negara bahwa pucuk pimpinan kejaksaan, yakni jaksa agung, merupakan bagian dari kabinet (eksekutif) yang dipimpin oleh kepala pemerintahan. Di satu sisi, Jaksa Agung sebagai penegak hukum dituntut untuk bekerja dengan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan tunduk pada aturan normatif hukum, tetapi di sisi lain jaksa agung merupakan jabatan yang bersifat politis karena pengangkatannya merupakan hak prerogratif dari kepala pemerintahan. Dalam banyak kasus di Amerika Serikat, sering kali dua posisi ini mengakibatkan adanya tumpang-tindih satu sama lain . Berkaitan dengan persoalan ini, Daniel J. Meador mengatakan bahwa jaksa agung adalah “petugas hukum” (law officer) sekaligus juga sebagai “petugas eksekutif” (executive officer) di mana, sebagai bagian dari pemerintah, jaksa agung harus bekerja secara konsisten sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan administrasi pemerintah .
Pada titik inilah muncul perdebatan yang meragukan independensi Jaksa Agung dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya tugas penuntutan. Yang lebih menjadi persoalan pelik lagi, ukuran yang dipakai dalam melihat independensi kejaksaan dan lebih khusus lagi Jaksa Agung berbeda-beda satu sama lain, sehingga perdebatan menjadi liar, karena pemaknaan terhadap independensi kejaksaan tidak dipersepsi secara seragam. Menurut Beneč Štefan, kunci dari masalah melakukan penilaian proses penuntutan yang independen berkaitan dengan pemenuhan dan pelasanaan fungsinya, yang dilihat dari regulability (pengaturan) dan instructionability (perintah) dalam mengambil keputusan . Pengertian Instructionability dapat dilihat dari dua hal yakni external instructionability dan internal instructionability. Keduanya dapat menjawab arti independensi dalam proses penuntutan .
External instructionability yakni adanya pengaruh kekuasaan dari luar sebagai bentuk subordinasi. Štefan mencontohkan jika kekuasaan penuntutan dimasukan kedalam kekuasaan esekutif akan menimbulkan kemungkinan masuknya pengaruh kekuasaan esekutif di dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh kejaksaan. Berarti, external instructionability tidak diragukan lagi dapat menjadi ancaman independsi Kejaksaan. Karena external instructionability dapat mengakibatkan terjadinya intervensi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap Kejaksaan.
Internal instructionability yakni melihat independensi dari dalam organisasi Kejaksaan. Di dalam organisasi yang (berstruktur) secara fertikal, terdapat karakteristrik yang menempatkan adanya kekuasaan (bagian bawah) untuk patuh terhadap bentuk-bentuk instruksi yang hirakhis. Bagi para bawahan diharuskan melasanakan instruksi atasan mereka, instruksi jaksa yang lebih tinggi tingkatannya atau pemimpin Kejaksaan adalah mengikat (bersifat wajib) bagi para bawahannya. Internal instructionability ini dapat dikatakan dekat hubungnnya dengan bentuk-bentuk “devolision” (pengambialihan tugas) dan subtitution (pelimpahan tugas) hak-hak atas terhadap bawahannya.
Dengan menggunakan prinsip devolution atasan atau badan yang memimpin Kejaksaan bisa saja mengambil alih tindakan dan kemudian bertidak sesuai kopetensi yang dimiliki. Kopetensi untuk melakukan subtitusi berarti pimpinan atau atasan dapat mengambil alih suatu kasus dari masing-masing pejabat yang telah diserahkan tugas itu, untuk kemudian menyerahkan kasus tersebut kepada pejabat lainnya menurut pertimbangan (atasan) sendiri.
Oleh karena itu, untuk mencapai independensi Kejaksaan harus adanya norma hukum yang jelas yang mengatur external instructionability dan internal instructionability, sehingga dapat terwujud external institution independence dan internal institution independence. Dari dua bentuk independensi tersebut penulis mengambil kerangka berfikir terhadap external institution independence yakni dalam kaitannya dengan independensi Jaksa Agung. Hal ini berarti penelitia ini mencari jawaban bahwa kekuasaan dari luar Kejaksaan yang dapat mengancam independensi Jaksa Agung, yang berakibat tidak terciptanya independensi Kejasaan secara keseluruhan.
Di beberapa negara, muncul gagasan independensi kejaksaan sebaiknya diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang merupakan norma hukum tertinggi dalam sebuah negara, yaitu konstitusi. Ada keinginan untuk mengaturnya di dalam konstitusi untuk lebih menjamin independensinya dari pengaruh-pengaruh kekuasaan politik presiden atau pengaruh dari mana pun juga datangnya .
Oleh karena itu, ada keinginan agar konstitusi mengatur tentang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang harus melibatkan parlemen dan memiliki masa jabatan yang jelas. Argumentasi yang dikemukakan pendapat ini adalah bahwa jabatan pemerintah sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lima tahunan . Secara teoretis bisa saja presiden dan wakil presiden yang berasal dari partai politik tertentu menggunakan menggunakan kejaksaan sebagai alat politiknya untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya .
Selain itu menurut Jacqueline Tombs persoalan independensi kejaksaan ini tidak bisa dilepaskan dengan persoalan akuntabilitasnya. Persoalan akuntabilitas kejaksaan ini harus selalu terkait dengan kepentingan publik dan bukan kepentingan politik kelompok tertentu .
Perdebatan tentang persoalan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan ini terjadi juga di negara semaju Amerika Serikat. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal ini, Cornell W. Clayton memberikan pendapatnya berkaitan dengan kedudukan Jaksa Agung dalam struktur ketatanegaraan Amerika Serikat dengan mengatakan sebagai berikut:
“All of the evidence surrounding the office’s creation and early operation, however, reveals that the Attorney General was originally perceived as a judicial, rather than executive, branch institution. It was established under an act creating the courts rather than one establishing executive department” .
Berkaitan dengan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan Amerika Serikat ini, Nancy V. Baker dalam bukunya yang berjudul Conflicting Loyalties: Law and Politics in the Attorney General’s Office, 1789-1990 mengatakan sebagai berikut:
“The US Attorney General is forever caught between competing demands: on one side, his political duties as cabinet apointee and adviser to the president; on the other, his quasi-judicial responsibilities as chief law officer of the nation. In theory the two sets of responsibilities coexist peacefully. In reality they often clash.” .
"Hakim Agung dan Hakim Konstitusi memiliki kepastian hukum tentang masa jabatannya. Tapi kalau masa jabatan Jaksa Agung tidak ada persyaratannya, apakah hal tersebut memberikan kepastian hukum?" tanya M Akil Mochtar, salah seorang majelis hakim Konstitusi dalam sidang Pengujian UU Kejaksaan di gedung Mahkamah Konstitusi .
Kekhawatiran akan adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan, khususnya karena pengangkatan jaksa agungnya adalah hak prerogatif presiden, inilah yang memunculkan adanya usulan agar secara kelembagaan, selayaknya kejaksaan tidak lagi berada di bawah lembaga eksekutif. Dalam kaitan dengan upaya membangun akuntabilitas lembaga kejaksaan, selayaknya perlu dipertimbangkan agar pengangkatan pimpinan kejaksaan perlu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka otonomi daerah dan memiliki masa jabatan yang jelas .
Berpijak pada perspektif hukum tata negara, keberadaan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung illegal. Pasalnya, hingga saat ini, Hendarman belum dilantik sejak berakhirnya jabatan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I 20 Oktober 2009 lalu.
Penulis berpijak pada UU No 16/2004 tentang Kejaksaan pasal 22. Dalam pasal tersebut disebutkan terdapat lima hal yang membuat Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat yakni meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, berakhir masa jabatannya, dan tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana pasal 21(rangkapjabatan).
Terkait berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung dalam periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I pada 20 Oktober 2009. Sebagaimana dimaklumi, Hendarman Supandji menjabat Jaksa Agung menggantikan Abdurrahman Saleh setelah terdapat reshuffle terbatas pada 7 Mei 2007. Apalagi, saat pelantikan KIB II, nama Jaksa Agung Supandji tidak turut serta dilantik bersama anggota kabinet lainnya. sehingga jabatan yang diemban Hendarman ilegal demi hukum.
Berdasarkan pembahasan diatas Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji, dinilai oleh berbagai pihak illegal (tidak sah). Kenapa tidak sah?, karena pada saat pelantikan Kabinet Pemerintahan Jilid II oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, Hendarman Supanji tidak ikut dilantik sebagai Jaksa Agung RI, padahal Jaksa Agung, adalah salah satu jabatan, pejabat negara yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid II yang sudah seharusnya dilantik oleh Presiden.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bahasan “Tentang Sah atau Tidaknya Jaksa Agung” dapat disimpulkan bahwa:
1. Status Jaksa Agung menurut penulis tidak sah karena tidak dilantik oleh Presiden pada saat pelantikan cabinet pemerintahan jilid II.
2. Masih terdapatnya multi tafsir UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
B. Saran :
1. Sebaiknya Pemerintah Mengamandemen UU No.16 Tahun 2004 tentang kejaksaan agar tidak terjadi multi tafsir dalam pelaksanaannya.
2. Sebaiknya Presiden melantik Jaksa agung dalam setiap periode jabatan barunya, karena jaksa agung adalah bagian dari kabinet RI.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, “Kejaksaan Melaksanakan Tugas Bagian Kekuasaan Negara”, (makalah disampaikan dalam “Dengar Pendapat Publik ‘Pembaruan Kejaksaan Republik Indonesia’”, diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, di Hotel Sahid, Jakarta, 24-25 Juni 2003).
Profesionalisme tugas kejaksaan dalam melakukan penuntutan di sini tidak semata-mata diartikan hanya melakukan penuntutan saja, tetapi harus juga mempunyai keberanian untuk menuntut bebas (vrijspraak) dan keberanian untuk menuntut lepas (onslag van rechtsvervolging).
Whitney North Seymour, Jr., United States Attorney: An Inside View of ‘Justice’ in America Under the Nixon Administration, (New York: William Morrow & Co., 1975).
Daniel J. Meador, The President, the Attorney General, and the Department of Justice, (Charlottesville: University of Virginia, 1980).
Benec Stefan, Benec Stefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office in a democratic and constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the Slovak National Supporting Committee of Europe 2000, 25 April 2003 – 27 April 2003). Ada juga yang mengartikan bahwa independensi kejaksaan berarti adalah independent from the authority, control or influence of others, self-governing, self-supporting, not commiited to an organized political party. Dengan perkataan lain, independensi kejaksaan adalah tergantung pada dirinya dalam mengambil jarak terhadap berbagai intitusi yang ada di luar dirinya (external institution).
The Habibie Center (THC), et. al., Naskah Akademis dan Draf Rancangan Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia: Rangkuman dan Kompilasi Pemikiran dari Warga Masyarakat melalui Semiloka “Rancangan Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: The Habibie Center, 2001).
Dalam konteks inilah The Habibie Center (THC) mengusulkan agar pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung dilakukan oleh presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Tombs, Jacqueline Tombs, “Independent Prosecution System” dalam The Criminal Injustice System, disunting oleh George Zdenkowski, Chris Ronalds, dan Mark Richardson, (Sydney: Pluto Press, 1987). Akuntabilitas kejaksaan mengharuskan adanya transparansi kinerja kejaksaan yang berkaitan dengan akses publik terhadap informasi, peran publik dalam menentukan jaksa agung, dan mekanisme tanggapan terhadap keluhan masyarakat. Transparansi kinerja kejaksaan adalah penyampaian kepada publik perihal perkembangan penyelesaian perkara. Dalam hal ini, kejaksaan memberikan informasi kepada masyarakat perihal perkembangan penyelesaian perkara yang melibatkan publik.
Nancy V. Baker, Conflicting Loyalties: Law and Politics in the Attorney General’s Office, 1789-1990 , (Lawrance, Kansas: University Press of Kansas, 1992), dalam sampul depan bagian dalam.
M.Akil Mochtar dalam siding pengujian UU Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi, (Media Indonesia. com, selasa 24 Agustus 2010).
Harkristuti Harkrisnowo, “Menyoal Independensi Kejaksaan Agung: Beberapa Catatan Pemikiran”, dalam Harkristuti Harkrisnowo, “Kumpulan Makalah”, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2001).
Oleh: Herman Hermanto, Afika Rahmah, Ninin Murnindrati, David Suharyadi, Indra Satria
R. Junida Hasta Kusumah.
A. Pendahuluan
Di era reformasi ini semua orang bebas berekspresi mengungkapkan kebebasannya dalam berbicara, bertindak, maupun dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari lahirnya tuntutan “reformasi” yang bergulir pada tahun 1998 ketika mahasiswa berhasil menjatuhkan rezim Soeharto yang terkenal otoriter dan menjadi “penguasa tunggal” negeri ini beserta para kroninya.
Hal inilah yang menghembuskan angin perubahan pada dunia hukum kita. Banyaknya aksi demonstrasi menuntut perubahan, menuntut keadilan, dan tuntutan-tuntutan lainnya terus bergaung dimana-mana, orang tidak takut lagi berbicara tentang suksesi kepemerintahan yang dulunya tabu untuk diucapkan di zaman orde baru, rakyat tidak takut lagi berdemo dijalanan, berorasi ditempat-tempat tujuan mereka dalam menyampaikan aspirasi bahkan masuk menerobos gedung perwakilan rakyat kita. Hal ini tentulah indikasi adanya perubahan dalam cara kita berdemokrasi kearah perbaikan, cara yang memang ideal dalam suatu Negara demokrasi dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutannya selama dilakukan dalam koridor yang benar dan mematuhi setiap aturan yang ada walaupun banyak juga kita lihat kekurangan serta keanarkian anak bangsa dalam proses berdemokrasi.
Angin reformasi juga menerpa birokrasi dan institusi negara kita, semua institusi negara kita tidak luput dari tuntutan untuk mereformasi diri kearah perbaikan dimulai dari Presiden sampai keseluruh jajaran kabinetnya , juga lembaga tinggi Negara lainnya seperti MA, BPK dan lainnya turut mereformasi dirinya sendiri. Hukum berdiri sebagai panglima untuk Negara ini bukan sebagai panglima penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya. Inilah bentuk ideal sebuah Negara yang mengedepankan hukum sebagai panglima dalam mengawal Negara.
Institusi penegak hukum kita akhir-akhir ini mengalami cobaan yang luar biasa , mendapatkan tekanan-tekanan publik yang sangat kuat dimana semua orang bisa melihat, mendengar, merasakan tentang pelaksanaan hukum dinegara kita, berbagai ketimpanagan dalam pelaksanaannya mendapatkan banyak sorotan baik dari media lokal maupun internasional sehingga memaksa para penegak hukum tidak bisa sewenang-wenang dalam mengambil sebuah tindakan atau keputusan karena mereka selalu dimonitor oleh masyarakat.
Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi hukum Negara kita akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang luar biasa setelah adanya kasus SISMINBAKUM yang tengah ditangani oleh Kejaksaan Agug yang melibatkan juga mantan MenKeh HAM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka kasus SISMINBAKUM yang menolak diperiksa oleh kejagung karena menilai Hendarman Ilegal sebagai Jaksa Agung, dengan kata lain ia katakan tidak sah. Asumsi yang digunakan oleh Yusril, Hendarman Supandji diangkat sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dengan kedudukan setingkat Menteri Negara. KIB I sendiri telah dibubarkan dengan Keppres No 83 tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009, pada Keppres pengakatan KIB II Pengakatan Jaksa Agung tidak disertakan. Oleh karena itu Yusril menilai tidak ada Keppres yang mengangkat Hendarman sebagai Jaksa Agung. Sedangkan di sisi lain menyatakan bahwa penilai Yusril tidak benar. Telah terjadi pergeseran yang sebelumnya Jaksa Agung adalah setingkat mentri atau bagian dari kabinet sekarang ini tidak lagi. Mereka berpendapat bahwa dalam UU Kementerian Negara, Jaksa Agung dinyatakan bukan anggota kabinet yang berarti pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tidaklah harus bersamaan dengan pengangkatan dan pemberhentian anggota kabinet. Bahkan UUD 1945 tidak menyatakan bahwa Jaksa Agung adalah pembatu presiden. Inilah yang menggugah penulis untuk menulis makalah ini dan berharap mendapatkan wawasan yang luas serta memahami persoalan yang ada kaitannya dengan tugas keilmuan penulis .
Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Hukum Jaksa Agung (Legal/Ilegal) maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Apakah Jaksa Agung Legal/Ilegal menurut Hukum?
B. PEMBATASANMASALAH
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada masalah :
a. Penjelasan tentang Jaksa Agung Legal/Ilegal menurut hukum
C. PERUMUSANMASALAH
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Penjelasan tentang keabsahan atau tidaknya Jaksa Agung ?
BAB II
PEMBAHASAN
Dari permasalah tersebut penulis menilai hal ini diakibatkan dua hal yakni Pertama, Undang-undang kejaksaan tidak mengatur pemasalahan masa jabatan Jaksa Agung. Kedua, masih adanya ketidak “relaan” melepas kedudukan Kejasaan sebagai bagian yang secara murni terlepas dari kekuasaan esekutif, sehingga kedudukan Jaksa Agung bagian dari kabinet atau tidak menjadi tidak jelas pula. Oleh karena itu terlepasa dari kotrofersi yang tercipta langkah Yusril telah mengajukan uji materi Undang-undang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang diajukan terkait masa tugas Jaksa Agung yakni pasal 19 dan 22 UU 16/2004 tentang Kejaksaan di nilai sudah tepat. Karena permasalahan ini akan berdapak pada permasalahan konstitusi. Oleh karena itu, si bawah ini penulis mencoba memberikan tulisan singkat sebagai alternatif bacaan tentang kedudukan kejaksaan yang dikaitkan dengan pengangkatan Jaksa Agung.
Kejaksaan dan Kepolisian merupakan lembaga yang bertanggung jawab pada salah satu tugas penuntutan (public prosecution) dan penyelidikan serta penyidikan perkara pidana (criminal proceeding). Oleh karena itu, tugas-tugas kejaksaan dan tugas-tugas kepolisian perlu diatur sedemikian rupa, sehingga tercipta suasana sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), di mana masing-masing tugas dapat terkordinasi demi kepentingan penegakan hukum secara sistematik, bukan kepentingan instansional. Tugas polisi sebagai criminal investigation perlu dipisahkan dengan tugas kejaksaan sebagai public prosecution dan criminal proceeding .
Pada titik ini, terdapat persoalan yang bersifat anomali ketika dihadapkan pada kenyataan yang ada di berbagai negara bahwa pucuk pimpinan kejaksaan, yakni jaksa agung, merupakan bagian dari kabinet (eksekutif) yang dipimpin oleh kepala pemerintahan. Di satu sisi, Jaksa Agung sebagai penegak hukum dituntut untuk bekerja dengan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan tunduk pada aturan normatif hukum, tetapi di sisi lain jaksa agung merupakan jabatan yang bersifat politis karena pengangkatannya merupakan hak prerogratif dari kepala pemerintahan. Dalam banyak kasus di Amerika Serikat, sering kali dua posisi ini mengakibatkan adanya tumpang-tindih satu sama lain . Berkaitan dengan persoalan ini, Daniel J. Meador mengatakan bahwa jaksa agung adalah “petugas hukum” (law officer) sekaligus juga sebagai “petugas eksekutif” (executive officer) di mana, sebagai bagian dari pemerintah, jaksa agung harus bekerja secara konsisten sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan administrasi pemerintah .
Pada titik inilah muncul perdebatan yang meragukan independensi Jaksa Agung dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya tugas penuntutan. Yang lebih menjadi persoalan pelik lagi, ukuran yang dipakai dalam melihat independensi kejaksaan dan lebih khusus lagi Jaksa Agung berbeda-beda satu sama lain, sehingga perdebatan menjadi liar, karena pemaknaan terhadap independensi kejaksaan tidak dipersepsi secara seragam. Menurut Beneč Štefan, kunci dari masalah melakukan penilaian proses penuntutan yang independen berkaitan dengan pemenuhan dan pelasanaan fungsinya, yang dilihat dari regulability (pengaturan) dan instructionability (perintah) dalam mengambil keputusan . Pengertian Instructionability dapat dilihat dari dua hal yakni external instructionability dan internal instructionability. Keduanya dapat menjawab arti independensi dalam proses penuntutan .
External instructionability yakni adanya pengaruh kekuasaan dari luar sebagai bentuk subordinasi. Štefan mencontohkan jika kekuasaan penuntutan dimasukan kedalam kekuasaan esekutif akan menimbulkan kemungkinan masuknya pengaruh kekuasaan esekutif di dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh kejaksaan. Berarti, external instructionability tidak diragukan lagi dapat menjadi ancaman independsi Kejaksaan. Karena external instructionability dapat mengakibatkan terjadinya intervensi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap Kejaksaan.
Internal instructionability yakni melihat independensi dari dalam organisasi Kejaksaan. Di dalam organisasi yang (berstruktur) secara fertikal, terdapat karakteristrik yang menempatkan adanya kekuasaan (bagian bawah) untuk patuh terhadap bentuk-bentuk instruksi yang hirakhis. Bagi para bawahan diharuskan melasanakan instruksi atasan mereka, instruksi jaksa yang lebih tinggi tingkatannya atau pemimpin Kejaksaan adalah mengikat (bersifat wajib) bagi para bawahannya. Internal instructionability ini dapat dikatakan dekat hubungnnya dengan bentuk-bentuk “devolision” (pengambialihan tugas) dan subtitution (pelimpahan tugas) hak-hak atas terhadap bawahannya.
Dengan menggunakan prinsip devolution atasan atau badan yang memimpin Kejaksaan bisa saja mengambil alih tindakan dan kemudian bertidak sesuai kopetensi yang dimiliki. Kopetensi untuk melakukan subtitusi berarti pimpinan atau atasan dapat mengambil alih suatu kasus dari masing-masing pejabat yang telah diserahkan tugas itu, untuk kemudian menyerahkan kasus tersebut kepada pejabat lainnya menurut pertimbangan (atasan) sendiri.
Oleh karena itu, untuk mencapai independensi Kejaksaan harus adanya norma hukum yang jelas yang mengatur external instructionability dan internal instructionability, sehingga dapat terwujud external institution independence dan internal institution independence. Dari dua bentuk independensi tersebut penulis mengambil kerangka berfikir terhadap external institution independence yakni dalam kaitannya dengan independensi Jaksa Agung. Hal ini berarti penelitia ini mencari jawaban bahwa kekuasaan dari luar Kejaksaan yang dapat mengancam independensi Jaksa Agung, yang berakibat tidak terciptanya independensi Kejasaan secara keseluruhan.
Di beberapa negara, muncul gagasan independensi kejaksaan sebaiknya diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang merupakan norma hukum tertinggi dalam sebuah negara, yaitu konstitusi. Ada keinginan untuk mengaturnya di dalam konstitusi untuk lebih menjamin independensinya dari pengaruh-pengaruh kekuasaan politik presiden atau pengaruh dari mana pun juga datangnya .
Oleh karena itu, ada keinginan agar konstitusi mengatur tentang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang harus melibatkan parlemen dan memiliki masa jabatan yang jelas. Argumentasi yang dikemukakan pendapat ini adalah bahwa jabatan pemerintah sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lima tahunan . Secara teoretis bisa saja presiden dan wakil presiden yang berasal dari partai politik tertentu menggunakan menggunakan kejaksaan sebagai alat politiknya untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya .
Selain itu menurut Jacqueline Tombs persoalan independensi kejaksaan ini tidak bisa dilepaskan dengan persoalan akuntabilitasnya. Persoalan akuntabilitas kejaksaan ini harus selalu terkait dengan kepentingan publik dan bukan kepentingan politik kelompok tertentu .
Perdebatan tentang persoalan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan ini terjadi juga di negara semaju Amerika Serikat. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal ini, Cornell W. Clayton memberikan pendapatnya berkaitan dengan kedudukan Jaksa Agung dalam struktur ketatanegaraan Amerika Serikat dengan mengatakan sebagai berikut:
“All of the evidence surrounding the office’s creation and early operation, however, reveals that the Attorney General was originally perceived as a judicial, rather than executive, branch institution. It was established under an act creating the courts rather than one establishing executive department” .
Berkaitan dengan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan Amerika Serikat ini, Nancy V. Baker dalam bukunya yang berjudul Conflicting Loyalties: Law and Politics in the Attorney General’s Office, 1789-1990 mengatakan sebagai berikut:
“The US Attorney General is forever caught between competing demands: on one side, his political duties as cabinet apointee and adviser to the president; on the other, his quasi-judicial responsibilities as chief law officer of the nation. In theory the two sets of responsibilities coexist peacefully. In reality they often clash.” .
"Hakim Agung dan Hakim Konstitusi memiliki kepastian hukum tentang masa jabatannya. Tapi kalau masa jabatan Jaksa Agung tidak ada persyaratannya, apakah hal tersebut memberikan kepastian hukum?" tanya M Akil Mochtar, salah seorang majelis hakim Konstitusi dalam sidang Pengujian UU Kejaksaan di gedung Mahkamah Konstitusi .
Kekhawatiran akan adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan, khususnya karena pengangkatan jaksa agungnya adalah hak prerogatif presiden, inilah yang memunculkan adanya usulan agar secara kelembagaan, selayaknya kejaksaan tidak lagi berada di bawah lembaga eksekutif. Dalam kaitan dengan upaya membangun akuntabilitas lembaga kejaksaan, selayaknya perlu dipertimbangkan agar pengangkatan pimpinan kejaksaan perlu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka otonomi daerah dan memiliki masa jabatan yang jelas .
Berpijak pada perspektif hukum tata negara, keberadaan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung illegal. Pasalnya, hingga saat ini, Hendarman belum dilantik sejak berakhirnya jabatan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I 20 Oktober 2009 lalu.
Penulis berpijak pada UU No 16/2004 tentang Kejaksaan pasal 22. Dalam pasal tersebut disebutkan terdapat lima hal yang membuat Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat yakni meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, berakhir masa jabatannya, dan tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana pasal 21(rangkapjabatan).
Terkait berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung dalam periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I pada 20 Oktober 2009. Sebagaimana dimaklumi, Hendarman Supandji menjabat Jaksa Agung menggantikan Abdurrahman Saleh setelah terdapat reshuffle terbatas pada 7 Mei 2007. Apalagi, saat pelantikan KIB II, nama Jaksa Agung Supandji tidak turut serta dilantik bersama anggota kabinet lainnya. sehingga jabatan yang diemban Hendarman ilegal demi hukum.
Berdasarkan pembahasan diatas Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji, dinilai oleh berbagai pihak illegal (tidak sah). Kenapa tidak sah?, karena pada saat pelantikan Kabinet Pemerintahan Jilid II oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, Hendarman Supanji tidak ikut dilantik sebagai Jaksa Agung RI, padahal Jaksa Agung, adalah salah satu jabatan, pejabat negara yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid II yang sudah seharusnya dilantik oleh Presiden.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bahasan “Tentang Sah atau Tidaknya Jaksa Agung” dapat disimpulkan bahwa:
1. Status Jaksa Agung menurut penulis tidak sah karena tidak dilantik oleh Presiden pada saat pelantikan cabinet pemerintahan jilid II.
2. Masih terdapatnya multi tafsir UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
B. Saran :
1. Sebaiknya Pemerintah Mengamandemen UU No.16 Tahun 2004 tentang kejaksaan agar tidak terjadi multi tafsir dalam pelaksanaannya.
2. Sebaiknya Presiden melantik Jaksa agung dalam setiap periode jabatan barunya, karena jaksa agung adalah bagian dari kabinet RI.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, “Kejaksaan Melaksanakan Tugas Bagian Kekuasaan Negara”, (makalah disampaikan dalam “Dengar Pendapat Publik ‘Pembaruan Kejaksaan Republik Indonesia’”, diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, di Hotel Sahid, Jakarta, 24-25 Juni 2003).
Profesionalisme tugas kejaksaan dalam melakukan penuntutan di sini tidak semata-mata diartikan hanya melakukan penuntutan saja, tetapi harus juga mempunyai keberanian untuk menuntut bebas (vrijspraak) dan keberanian untuk menuntut lepas (onslag van rechtsvervolging).
Whitney North Seymour, Jr., United States Attorney: An Inside View of ‘Justice’ in America Under the Nixon Administration, (New York: William Morrow & Co., 1975).
Daniel J. Meador, The President, the Attorney General, and the Department of Justice, (Charlottesville: University of Virginia, 1980).
Benec Stefan, Benec Stefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office in a democratic and constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the Slovak National Supporting Committee of Europe 2000, 25 April 2003 – 27 April 2003). Ada juga yang mengartikan bahwa independensi kejaksaan berarti adalah independent from the authority, control or influence of others, self-governing, self-supporting, not commiited to an organized political party. Dengan perkataan lain, independensi kejaksaan adalah tergantung pada dirinya dalam mengambil jarak terhadap berbagai intitusi yang ada di luar dirinya (external institution).
The Habibie Center (THC), et. al., Naskah Akademis dan Draf Rancangan Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia: Rangkuman dan Kompilasi Pemikiran dari Warga Masyarakat melalui Semiloka “Rancangan Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: The Habibie Center, 2001).
Dalam konteks inilah The Habibie Center (THC) mengusulkan agar pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung dilakukan oleh presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Tombs, Jacqueline Tombs, “Independent Prosecution System” dalam The Criminal Injustice System, disunting oleh George Zdenkowski, Chris Ronalds, dan Mark Richardson, (Sydney: Pluto Press, 1987). Akuntabilitas kejaksaan mengharuskan adanya transparansi kinerja kejaksaan yang berkaitan dengan akses publik terhadap informasi, peran publik dalam menentukan jaksa agung, dan mekanisme tanggapan terhadap keluhan masyarakat. Transparansi kinerja kejaksaan adalah penyampaian kepada publik perihal perkembangan penyelesaian perkara. Dalam hal ini, kejaksaan memberikan informasi kepada masyarakat perihal perkembangan penyelesaian perkara yang melibatkan publik.
Nancy V. Baker, Conflicting Loyalties: Law and Politics in the Attorney General’s Office, 1789-1990 , (Lawrance, Kansas: University Press of Kansas, 1992), dalam sampul depan bagian dalam.
M.Akil Mochtar dalam siding pengujian UU Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi, (Media Indonesia. com, selasa 24 Agustus 2010).
Harkristuti Harkrisnowo, “Menyoal Independensi Kejaksaan Agung: Beberapa Catatan Pemikiran”, dalam Harkristuti Harkrisnowo, “Kumpulan Makalah”, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2001).
Langganan:
Postingan (Atom)