Senin, 13 Juli 2009

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGANGKAT CITRA LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

Oleh: Zainuddin Ali (Guru Besar Sosiologi Hukum di Univ. Tadulako)
Melalui kajian sosiologi hukum penulis berusaha menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum didalam kehidupan masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya , untuk menambahkan materi makalah sebelumnya berkaitan dengan judul diatas .
Mahkamah Agung sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara sebagaimana telah ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 wajib melaksanakan amanat yang digariskan dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya, serta kedudukannya sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang Undang Dasar 1945.
Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985.
MA sebagai pembentuk salah satu sumber hukum formal - yakni
jurisprudensi - dapat berperan besar dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Keputusan-keputusan MA sebagai jurisprudensi dapat menjadi stimulator dan menyumbang bagi pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia.

Penegakan hukum negeri ini memang sudah terlalu lama terpuruk, tetapi pengharapan terhadap sistem hukum yang lebih baik selalu ada dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Upaya yang harus terus dilakukan MA dalam mengangkat citra peradilan di Indonesia antara lain adalah :
- upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi hukum).
- usaha untuk memfungsionalkan hukum, dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, 1979).

Kedua upaya tersebut diatas adalah pembangunan hukum. "definisi" pembangunan hukum adalah "mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat". Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).

Kontrol sosial adalah "proses yang dilakukan untuk mempengaruhi agar orang-orang bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan masyarakat". Karena itu hukum perlu "bening dan jernih", tidak terombang-ambing oleh berbagai kepentingan. Hukum harus ”kuat” menghadapi berbagai bujukan dan imbauan.

Kepastian hukum adalah unsur penting dalam upaya membangun kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Arti kepastian hukum adalah hukum yang dijalankan sebagaimana mestinya dengan tegas, konsekuen, dan tanpa pilih kasih. Kalau keadaan ini tercapai, berarti orang dapat memastikan atau meramalkan bahwa setiap pelanggaran hukum dapat diganjar sesuai dengan ketentuan yang ada, dan orang yang dirugikan baik oleh pribadi, kelompok, atau negara akan mendapat ganti rugi. Dengan kata lain pengadilan beserta aparat hukum lainnya harus benar-benar menerapkan hukum secara konsisten, tanpa pilih kasih, serta sesuai dengan rasa adil masyarakat.

Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara modern. (Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, 1975) Jeremy Bentham bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun 1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan pengadilan. Misalnya keputusan MA.

Beberapa unsur di MA harus ada kontrol eksternal dan internal untuk mengembalikan kepercayaan dan harapan masyarakat akan penegakan hukum. Karena itu, konsistensi pengadilan terhadap keputusan MA adalah sangat penting. Keputusan yang dibuat oleh MA dapat dijadikan jurisprudensi. Jurisprudensi ini pada gilirannya berdampak pada perubahan sosial.
MA secara hukum dan moral bisa mengajari para profesional polisi, jaksa, hakim, saksi, pembela, dan yang lainnya untuk lebih teliti dan berhati-hati memeriksa tersangka yang melakukan tindak pidana. Citra para profesional dengan demikian juga menjadi semakin baik.
Itulah sebabnya mengapa kita masih perlu percaya, bahwa MA melalui keputusan-keputusan hukumnya dapat bertindak benar dan pada tempatnya dengan memberi sumbangan yang berharga bagi pengembangan hukum dan perubahan sosial yang positif bagi bangsa yang tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar