SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
Oleh :
MELANI YUSUP, SH - 072310012
POPPI ALMIRA, SH - 072310015
ELLYA RISSA, SH - 072310004
DEDY SUWANDY, SH - 072310020
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR
BOGOR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka sesungguhnya fungsi lembaga peradilan bagi Indonesia amatlah penting. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu diperlakukan di Indonesia, apakah ada system peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.
Sejarah perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama sejalan dengan perkembangan system hukum yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum bangsa Eropa (Belanda) dating ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. Lembaga pengadilan dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Ketika Hindia Belanda berkuasa dikenal adanya dualism dalam system pengadilan di Indonesia. Karena adanya pemisahan Pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah ada penklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiksi perkara yang ditangani.
Pada periode awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an dimana perkembangan hokum nasional diarahkan untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo kolonialisme maka peran pengadilan sangatlah penting dalam mendorong transformasi hokum colonial menjadi hukum nasional. Sedangkan perkembangan pengadilan dalam masa Orde Baru diarahkan untuk mengembalikan wibawa hukum dengan memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering) untuk suksesnya pembangunan. Namn kenyataan selama hamper 30 tahun lamanya kekuasaan Orde Baru, hukum dan peradilan justru mengalami kemerosotan karena tatanan hukum yang ada saat itu dilandasi oleh paradigma kekuasaan, sentralisme dan monolitik.
Namun seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan dimualinya era reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, bergulir pula tuntutan untuk mereformasi hukum secara menyeluruh. Dengan melihat hukum sebagai suatu sistem bagaimana dikemukakan L. M. Friedman, maka reformasi hukum selain menyangkut perbaikan substansi peraturan perundang-undangan, juga harus menyentuh struktur/kelembagaan penegakan hukum serta kultur/budaya hokum masyarakatnya. Sejalan dengan tuntutan Reformasi dan amandemen UUD 1945 muncul lembaga peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan keberadaannya dapat meningkatkan wibawa hukum dan peradilan di Indonesia.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah ini mengenai sejarah peradilan Indonesia sebagai salah satu bagian yang integral dari system hokum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.
B. Permasalahan
Bagaimana sejarah lembaga peradilan yang ada di Indonesia dari masa ke masa?
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
A. Era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Tahun 1926-1942
Pada tahun 1918 oleh pemerintah Belanda dibentuk Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wadah bagi rakyat pribumi untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah jajahan, dan pada tahun 1926, Volksraad diberi kewenangan untuk ikut serta dalam pembentukan undang-undang berdasarkan perubahan II Grondwet Belanda Tahun 1922 khusus tentang tata pemerintahan Hindia Belanda). Kemudian Regerings Reglement diubah dan diganti menjadi IS (Indische Staatsregeling).
Pasal 131 IS (salinan Pasal 75 RR) menyatakan :
- Mendorong upaya legislasi (pembuatan hokum dalam bentuk tertulis) di Hindia Belanda;
- Dualisme hukum tetap dipertahankan;
- Namun ada dorongan unifikasi, yakni secara tidak penuh melalui penetapan Gubernur Jenderal atas perkara-perkara tertentu (jika dipandang perlu) yang harus diatur dengan hukum Eropa (toepasselijk Verklaring) dan secara pasif melalui mekanisme penundukkan diri secara sukarela terhadap hukum Eropa (vrijwilligeonderweping).
Pasal 163 IS (salinan pasal 109 RR baru), menyatakan:
“membedakan penduduk menjadi 3 golongan yaitu golongan Eropa, Pribumi dan Timur Asing”.
- Yang termasuk golongan Eropa (Pasal 163 ayat I.S) yaitu : Semua orang Belanda;
1. Semua orang yang berasal dari Eropa non Belanda;
2. Semua orang Jepang;
3. Semua orang (non 1, 2, 3) yang negaranya menerapkan hukum keluarga yang sama dengan hukum Belanda;
4. Semua anak sah dari orang-orang yang termasuk poin 2, 3, 4;
- Yang termasuk golongan pribumi (Pasal 163 ayat 3 I.S) :
1. Penduduk asli Hindia Belanda;
2. Golongan lain yang meleburkan diri dengan penduduk asli Hindia Belanda;
- Yang termasuk golongan Timur Asing (Pasal 163 ayat 4 I.S) :
Mereka yang tidak termasuk ke dalam golongan Eropa maupun golongan Pribumi. (agar tidak ada penghuni Hindia Belanda yang terlewatkan dari pembagian golongan penduduk).
B. Susunan Badan Peradilan bagi golongan Eropa Untuk Wilayah Jawa dan Madura:
a. Residentiegerecht, berada di kota karesidenan, dengan susunan kelembagaan seorang hakim tunggal dan seorang panitera (yang sekaligus bertugas di Pengadilan Landraad), dan memiliki kewenangan mengadili atas perkara perdata kecil (bagi orang-orang Eropa), perkara perdata dimana orang Eropa/Tionghoa sebagai pihak tergugat, perkara perdata orang-orang Indonesia danTimur Asing non Tionghoa yang menundukkan diri dengan sukarela pada hukum perdata Eropa (vrijwillige onderweping) dan persengketaan perjanjian kerja orang Indonesia dan Timur Asing non Tionghoa (walaupun tidak tunduk pada hukum perdata Eropa).
b. Raad van Justitie, terdapat di Jakarta (Batavia), membawahi wilayah: Jabar, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, dan Kalimantan Barat. Di Semarang, membawahi wilayah: Jateng dan Surabaya, membawahi wilayah: Jatim, Madura, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Susunan kelembagaan Raad van Justitie terdiri dari: Presiden, wakil presiden, anggota, Officier van Justitie, Substituut-Officier van Justitie, Justite, Panitera, Wakil Panitera pertama.
Raad van Justitie memiliki kewenangan:
1. Peradilan (bagi orang Eropa) untuk perkara pidana dan perdata pada umumnya;
2. Peradilan harian bagi orang Tionghoa yang melakukan gugatan perdata kepada sesama orang Tionghoa atau Eropa;
3. Peradilan harian atas perkara perdata dengan tergugat adalah orang Indonesia dan Timur Asing non Tionghoa yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa;
4. Peradilan bagi semua golongan atas perkara tertentu seperti: penemuan barang di laut, tindak pidana kepailitan, dan pembajakan dalam pelayaran perdagangan;
5. Menyelesaikan sengketa kewenangan antara: hakim dengan pegawai di bawahnya, hakim peradilan pemerintah dengan hakim peradilan bumiputera, dan antara hakim peradilan pemerintah dan peradilan bumiputera dengan hakim peradilan swapraja;
6. Sebagai pengadilan tingkat banding atas perkara yang telah diputus di pengadilan Residentiegerecht dan pengadilan Landraad. (dilakukan di RvJ Jakarta);
7. Juga dapat berfungsi sebagai Politierechter (hakim kepolisian) untuk perkara pidana ringan. Dilakukan oleh seorang hakim tunggal sehinga juga disbut sebagai “Kamar Tunggal”;
c. Hooggerechtshof, merupakan peradilan yang tertinggi di Hindia Belanda, yang hanya berkedudukan di Jakarta, untuk membawahi wilayah hukum seluruh Hindia Belanda. Presiden Hooggerechtshof diangkat oleh Raja dan kedudukannya diatur dalam Indische Staatsregeling, dan keputusan dari mahkamah Hooggerechtshof dinamakan sebagai “Arrest”.
Hooggerechtshof memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Pengawas pengadilan-pengadilan di bawahnya;
2. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas perkara pidana dg terdakwa para pegawai kehakiman, pegawai tinggi pemerintahan, dan anggota Volksraad;
3. Pengadilan tingkat banding atas perkara perdata yg diadili di Residentiegerecht di luar wil Jawa dan Madura dg nilai gugatan f.500 ke atas;
4. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas perkara perdata yang ditolak/dihambat penyelesaiannya di Raad van Justitie atau di Residentiegerecht;
5. Menyelesiakan sengketa kewenangan para hakim: hakim peradilan pemerintah dengan hakim bumiputera, hakim peradilan pemerintah dan peradilan bumiputera dengan hakim swapraja, hakim sipil dengan hakim militer;
C. Susunan Badan Pengadilan bagi Golongan Eropa untuk wilayah di Luar Jawa dan Madura:
a. Residentiegerecht, berada di ibu kota karesidenan dengan susunan terdiri dari seorang hakim sarjana hukum yang sekaligus sebagai ketua Landraad (jika ada), atau seorang pegawai pemerintahan Belanda (jika tdk ada landraad).
Residentiegerecht disini memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Perkara pidana untuk orang Eropa untuk tingkat I dan terakhir berupa tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal f.300 tanpa penyitaan barang. (Jika di daerah tersebut tidak ada). Landsgerecht sebagai pengadilan pidana semua golongan;
2. Perkara perdata pada tingkat I atas gugatan (oarng Eropa atau Tionghoa) pada orang Indonesia atauTimur Asing non Tionghoa yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan f.500-f.1500 (untuk wilayah Aceh, Sumatera Timur, Jambi, Riau, Bangka Belitung, Palembang, Lampung, Kalimantan – Barat – Selatan –Timur, Bali – Lombok, Sulawesi, Menado, dan Ternate);
3. Perkara perdata tingkat I atas gugatan perdata kepada tergugat orang Indonesia atau Timur Asing non Tionghoa yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan > f.1500 (untuk wilayah idem di atas);
4. Perkara perdata atas gugatan orang Eropa, Tionghoa, Timur Asing non Tionghoa dan Pribumi yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa (untuk wilayah Sumatera Barat dan Tapanuli);
5. Perkara perdata bagi orang Eropa danTionghoa dengan nilai gugatan tak terbatas (untuk wilayah Amboina, Tual, Irian Utara, dan Irian Barat Sedangkan bagi orang Pribumi dan TimurAsing non Tionghoa ke Residentiegerect).
b. Raad van Justitie, terdapat di daerah, Padang, membawahi wilayah: Sumbar, Tapanuli, dan Bengkulu. Medan, membawahi wilayah: Aceh, Sumatera Timur, dan Riau. Dan Makasar, membawahi wilayah: Sulawesi,Manado. Timor, dan Maluku. Kewenangan Raad van Justite sama dengan Raad van Justitie Jawa&Madura.
D. Susunan pengadilan bagi golongan Pribumi di wilayah Jawa dan Madura: Districtsgerecht.
a. Districtsgerecht terdapat di daerah kawedanan. Susunan kelembagaan yang terdiri dari seorang wedana sbg hakim tunggal, dengan kewenangan sebagai berikut:
1. Perkara pidana ringan/pelanaggaran (yang dilakukan oleh orang pribumi) dengan ancaman denda maksimal f.3,-
2. Perkara perdata (gugatan oleh orang non Eropa danTionghoa) dengan nilai gugatan.
b. Regentschapsgerecht, terdapat di kota-kota kabupaten, dengan susunan kelembagaan yang terdiri dari seorang Bupati (atau Patih) sebagai hakim tunggal, dibantu oleh pegawai kabupaten, penghulu dan jaksa (adjunct magistraat). Regentschapsgerecht, memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Pidana pelanggaran (oleh org Pribumi) dengan ancaman hukuman maksimal 6 hari atau denda maksimal f.10,-;
2. Perdata (atas gugatan oleh orang non Eropa dan Tionghoa) dengan tergugat orang Pribumi dengan nilai gugatan f.20;
3. Pengadilan tingkat banding dari Districtsgerecht;
c. Landraad, terdapat di kota-kota kabupaten atau kota lain sesuai kebutuhan. Susunan kelembagaan yaitu terdiri dari majelis hakim dengan seorang sarjana hukum sebagai hakim ketua yang membawahi pegawai pemerintahan sebagai hakim anggota, seorang panitera, seorang jaksa (jika perkara pidana), dan seorang penasihat sidang jika yang diperkarakan orang beragama Islam atau golongan lain yang berlaku hukum Adat. Landraad memiliki kewenangan sebagai berikut yaitu:
1. Perkara perdata dan pidana (yang mengadili golongan Pribumi) yang diperkenankan oleh UU untuk diadili pada tingkat pertama.
2. Perkara perdata pada tingkat pertama untuk golongan Timur Asing non Tionghoa yang berlaku hukum adatnya.
3. Pengadilan tingkat banding dari Regentschapsgerecht.
4. Permohonan banding dari Landraad ke Raad van Justite.
E. Susunan pengadilan bagi golongan Pribumi untuk Wilayah Luar Jawa dan Madura
a. Negorijrechtbank, hanya tedapat di desa (negorij) di Ambon. Susunan kelembagaannya terdiri dari majelis yang diketuai kepala negorij dengan anggota-anggota negorij sebagai anggota majelis. Kewenangan Negorijrechtbank adalah menangani Perkara pidana pelanggaran atas semua golongan yg diancam kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal f.15,- di luar pelanggaran fiscal.
b. Districtsgerecht, terdapat di kawedanan dari daerah Bangka Belitung, Menado,Sumbar, Tapanuli, dan Kalimantan Selatan-Timur. Susunan kelembagaannya terdiri dari hakim tunggal seorang wedana untuk wilayah Bangka Belitung dan Manado, atau majelis hakim dengan wedana sebagai ketua dan beberapa anggota yang ditunjuk oleh Residen. Districtsgerecht mempunyai kewenangan (untuk wilayah Bangka Belitung dan Manado) dalam perkara:
1. Perkara perdata atas gugatan oleh orang Pribumi danTimur Asing non Tionghoa kepada orang Pribumi dengan nilai gugatan 8 f.50,-;
2. Perkara pidana pelanggaran (oleh orang Pribumi) dengan ancaman kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal f.15,- di luar pelanggaran fiscal;
3. Banding putusan Districtsgerecht dilakukan ke Landraad untuk perkara dengan nilai > f.20,- , atau kebagian Magistraatsgerecht untuk perkara pidana pelanggaran dengan ancaman kurungan atau dengan f.3 < <>
c. Magistraatsgerecht, merupakan pengadilan setingkat Landgerecht untuk wilayah-wilayah yang tidak terdapat Landgerecht. Susunan kelembagaan Magistraatsgerecht adalah terdiri dari hakim tunggal yang merupakan pegawai-pegawai pemerintah Belanda yang diangkat oleh Residen. Kewenangannya adalah sebagai berikut:
1. Perkara pidana yang dilakukan oleh golongan Pribumi dan TimurAsing non Tionghoa;
2. Perkara perdata bagi orang pribumi dan Timur Asing non Tionghoa yang menundukkan diri secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan maksimal f.30,-;
3. Pengadilan tingkat banding dari putusan Distrcitsgerecht untuk perkara pidana pelanggaran dengan ancaman kurungan atau dengan f.3
d. Landgerecht, memiliki kedudukan dan susunan kelembagaan yang sama dengan Landraad di Jawa, kecuali untuk daerah yang kekurangan sarjana hukum diketuai oleh pegawai pemerintah Belanda. Kewenangan Landgerecht adalah menangani perkara perdata dan pidana sebagai pengadilan biasa bagi golongan pribumi. Dan mengani perkara banding yang dilakukan ke Raad van Justitie;
F. Lembaga peradilan lain di luar lembaga-lembaga di atas, yaitu terdiri dari:
a. Pengadilan Swapraja, terdapat di daerah yang memiliki pemerintahan sendiri dan diselenggarakan oleh pemerintah tersebut sebagai akibat kontrak politik dan ijin penyelenggaraannya oleh Pemerintah Belanda (contoh: wilayah Surakarta danYogyakarta).
b. Peradilan Agama, terdapat di seluruh wilayah Hindia Belanda yaitu pertama untuk wilayah Jawa & Madura, terdiri dari dua tingkat yakni: Raad agama (Pri-esterraad) dan Mahkamah Tinggi Islam (Hof voor Islamietische Zaken). Kedua untuk wilayah di luar Jawa & Madura susunannya sama, hanya penamaannya berbeda menyesuaikan dengan wilayah bersangkutan. Kewenangan Peradilan Agama yaitu mengadili perkara perdata hukum keluarga (masalah: nikah, talak/cerai, rujuk, waris, dan wakaf) orang Islam.
c. Pengadilan Militer, memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pidana oleh anggota militer (Angkatan Darat dan Angkatan Laut) bagi semua golongan. Susunan kelembagaan Peradilan Militer yaitu:
1. Krijgsraad untuk Angkatan Darat, terdapat di Padang, Cimahi, dan Makasar. Tdr dari majelis hakim dengan seorang sipil sarjana hukum sebagai ketua dan empat orang perwira sebagai anggota yang diangkat oleh Komandan Garnisum, dan seorang Penuntut Umum (Auditeur Militair) sarjana hukum.
2. Zeekrijgsraad_untuk Angkatan Laut, Susunan kelembagaannya terdiri dari perwira-perwira angkatan laut yang mengadili perkara di atas kapal.
3. Hoog Militair Gerechtshof, hanya terdapat di Batavia, sebagai pengadilan tingkat Banding dari Krijgsraad dan Zeekrijgsraad.
G. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Hukum yang berlaku pada masa pendudukan Jepang tidak berubah. Peraturan Osamu Sirei (UU BalaTentara Jepang) No. 1 Tahun 1942 pasal 3 menyatakan:
“Segala badan pemerintahan dan kekuasannya, hukum dan undangundang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.” Sehingga pada saat itu politik hukum kembali merujuk pada pasal 131 dan pasal 163 I.S.
Pemerintah Jepang melakukan perubahan atas badan-badan peradilan. Perubahan atas badan-badan peradilan tersebut antara lain, dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan, sehingga badan-badan peradilan yang ada diperuntukkan bagi semua golongan.
Berdasarkan kebijakan di atas, maka badan-badan peradilan yang ada tinggal meliputi:
1. Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi, dengan nama yang diganti menjadi Saiko Hoin.
2. Raad van Justite, yang berubah nama menjadi Koto Hoin.
3. Landraad, yang berubah nama menjadi Tiho Hoin.
4. Landgerecht, yang berubah nama menjadi Keizai Hoin.
5. Regentschapsgerecht, yang berubah nama menjadi Ken Hoin.
6. Districtsgerecht, yang berubah nama menjadi Gun Hoin.
H. Masa Kemerdekaan Tahun 1945 - sekarang
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (pra amandemen) menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Amandemen Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 juga menyatakan: “Semua badan negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Susunan pengadilan yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi dan Reglement tersebut merupakan pengadilan-pengadilan yang diakui oleh Negara. Namun, di luar pengadilan tersebut masih terdapat pengadilan yang berlakunya diakui pula oleh Negara, misalnya pengadilan Agama dan pengadilan Adat. Dasar diakuinya pengadilan agama adalah Pasal 134 Indische Ataatsregeiing (I.S) yang menentukan bahwa dengan menyimpang dari ketentuan tentang bak kekuasaan pengadilan-pengadilan yang diadakan oleh Negara, perkara-perkara perdata diantara orang-orang Islam, apabila sesuai dengan kehendak hukum adat, diadili oleh hukum agama, sepanjang tidak ditentukan lain d dalam undang-undang.
Adapun dasar berlakunya pengadilan adat ditentukan dalam Pasal 130 I.S, yang menentukan bahwa dimana-mana sepanjang rakyat Indonesia tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Ini berarti bahwa di samping pengadilan-pengadilan oleh Negara, diakui dan dibiarkan berlakunya pengadilan-pengadilan asli. Pengadilan ash ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Pengadilan adat di sebagian daerah yang langsung ada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda;
b. Pengadilan Swapraja.
Lembaga pengadilan kembali mengalami perubahan ketika Indonesia disusuki oleh Jepang. Pada waktu Balatentara jepang dating di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia-Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Raja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Dan sejak Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh Gunpokaigu, Gunritukaigi, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.
Oleh karena itu, semua badan-badan peradilan dari Pemerintah Hindia-Belanda, kecuali residentiegerecht, yang dihapuskan dengan Undang-undang No. 4 tahun 1942 diganti namanya, enjadi sebagai berikut:
a. Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);
b. Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian);
c. Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);
d. Districtsgerecht menjadi Gun Hooi (Pengadilan Kewedanaan).
Setelah Indonesia merdeka, di awal kemerdekaan belum terlihat adanya perubahan terhadap lembaga pengadilan. Berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945, maka susunan pengadilan masih menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 34 tahun 1942. Perubahan mulai terjadi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 tahun 1948. Undang-undang ini bermaksud melaksanakan Pasal 24 UUU 1945 tentang kekuasaan kehakiman sealigus juga mencabut Undang-undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 19 tahun 1948 dalam Negara RI dikenal adanya 3 lingkungan peradilan, yaitu :
1). Peradilan umum
2). Peradilan Tata Usaha Pemerintahan;
3). Peradilan Ketentaraan.
Selanjutnya Pasal 10 ayat 1 menyebutkan tentang sebagai “pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang menurut hokum yang hidup di masyarakat desa”. Tentang peradilan agama tidak disebutkan oleh Undang-undang No. 19 tahun 1948 itu, hanya dalam Pasal 35 ayat 2 ditetapkan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hokum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hokum agamanya, harus diperiksa oleh pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim beragama Islam, sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota.
Pada saat Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga peradilan di dalam konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan UUD 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik, maka dalam KRIS diatur pula tentang syarat-syarat pengangkatan, penghentiann pemecatan kecakapan dan kepribadian daripada Hakim. Badan-badan peradilan yang ada seperti badan peradilan umum tetap dipertahankan, termasuk juga Peradilan Swapraja tetap dilanjutkan, kecuali peradilan Swapraja di Jawa dan Sumatra telah dihapuskan dengan Undang-undang No. 23 tahun 1947. Peradilan tetap dipertahankan demikian juga peradilan agama. KRIS telah mengatur pula peradilan tata usaha sekalipun belum ada peraturan pelaksanaanya.
Perubahan terhadap lembaga pengadilan kembali terjadi setelah Republik Indonesia enjadi Negara kesatuan. Ketika Negara RIS menggunakan KRIS, namun setelah RI menjadi Negara Kesatuan KRIS tidak lagi digunakan, yang digunakan adalah UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara). Perubahan ini dengan sendirinya berpengaruh kepada lembaga peradilannya. Karena UUDS tidak lagi mengenal daerah-daerah atau Negara-negara bagian, berarti pula tidak dikenal lagi pengadilan-pengadilan di daerah bagian sebagai realisasi dari UUDS, maka pada tahun 1951 diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951. UU Darurat inilah yang kemudian menjadi dasar menghapuskan beberapa pengadilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan, termasuk secara berangsur-angsur menghapuskan pengadilan tertentu dan semua pengadilan adat.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai berlakunya kembali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa, namun badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang. Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan Orde baru yang disertai dengan tuntutan Reformasi di segala bidang termasuk hokum dan peradilan, maka para Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendesak emerintah supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena kekuasaan Pengadilan yang ada saat itu masih belum bisa dipisahkan dari Eksekutif, oleh karena untuk urusan administrasi dan finansial masih di bawah Menteri Kehakiman yang merupakan pembantu presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan Yudikatif yang mandiri dibawah Mahkamah Agung berlangsung cukup lama hingga kemudian mengalami perkembangan ang cukup mendasar, yakni setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi Yudikatif di bawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian di cabut dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar terhadap badan/lembaga peradilan di Indonesia. Perubahan ini tidak saja terjadi pada elemen lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada pengorganisasiannya, baik mengenai organisasinya, administrasi, dan finansial, yakni semula berada di bawah kekuasaan kehakiman berubah menjadi berada di bawah kekuasaan mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan finansial lembaga pengadilan bukan lagi menjadi urusan Departemen Hukum dan HAM melainkan menjadi urusan Mahkamah Agung. Sementara itu, organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan lainnya untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Perubahan pada elemen kelembagaan, yakni ditandai dengan dilahirkannya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan terhadap UUD 1945. Berdasarkan Pasal 12 UU No. 4 tahun 2004 menyebutkan sebagai berikut :
(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
(2). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakray bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Perubahan ini telah melahirkan 2 (dua) mahkamah di negeri ini dan keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yakni sama-sama sebagai pelaksana kekuasan kehakiman. Sekalipun kedudukannya sama, dalam hal kewenangan ternyata undang-undang memberikan kewenangan yang berbeda satu dengan yag lainnya.
Demikianlah perkembangan lembaga pengadilan yang terjadi di Indonesia. Apakah akan mengalami perubahan kembali, perubahan itu pasti terjadi karena hukum selalu ada karena manusia sedangkan manusia senantiasa bergerak dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tetap, namun apakah perubahan itu menjadi lebih baik ataukah malah menjadi semakin buruk, maka waktulah yang akan menentukan.
BAB III
Kesimpulan
Dari uraian perjalanan panjang sejarah lembaga peradilan di Indonesia dapat kita simpulkan bahwa lembaga Pengadilan senantiasa berubah dari waktu ke waktu mengikuti perubahan masyarakatnya. Perubahan itu tentunya kea rah penyempurnaan kelembagaan yang lebih baik sehingga bisa menjadikan Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sebagai pilar Negara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
R. Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983.
Selasa, 05 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar