Jumat, 18 September 2009

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALU NO. 85/PDTG/2008/PN PALU TANGGAL 26 AGUSTUS 2009

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALU NO. 85/PDTG/2008/PN PALU
TANGGAL 26 AGUSTUS 2009

Oleh : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A.Pendahuluan
Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah. Putusan dimaksud, dimuat di Radar Sulteng, Mercusuar, dan Nuangsa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009. Putusan dimaksud, melahirkan Pro dan Kontra sehingga penulis merasa perlu memberi komentar mengenai putusan dimaksud.
Hj Aisyah merupakan Isteri dari H. Mubin Radjadewa yang meninggal sekitar tahun 2000 dan meninggalkan Ahli waris di antaranya: seorang Suami (H. Mubin Radjadewa) dan 4 (empat) orang anak, yaitu: Faazil, Ridwan, Syarif, dan Faradiba. Selain itu, ia meninggalkan sejumlah harta warisan.
Budaya hukum masyarakat yang mendiami wilayah sulawesi Tengah dalam hal pembagian harta warisan terdiri atas 4 (empat) bentuk, yaitu: (1) Pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) Pembagian harta warisan melalui Tokoh adat/Tokoh Agama atau melalui Notaris, (3) Pembagian harta warisan melalui Pengadilan Agama, dan (4) pembagian harta warisan melalui pengadilan negeri. Budaya hukum dimaksud, berjalan ratusan Tahun dalam masyarakat yang mendiami Sulawesi Tengah kecuali poin 2. Poin 2 dimaksud, sesuai kondisi masyarakat, yaitu terkadang para ahli waris itu meminta bantuan kepada Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Notaris dalam menyelesaikan pembagian harta warisannya. Keberadaan Notaris itu terkadang menggantikan posisi tokoh Adat dan Tokoh Agama sesuai kondisi pengetahuan Ahli waris yang pantas dimintai bantuan untuk membagi harta warisannya.
B. Pembahasan
Perilaku hakim melalui Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah menyalahi budaya hukum (legal culture). Budaya hukum dimaksud, para ahli waris sudah sepakat mengenai bagian ahli waris: yaitu Syarif dan Paradiba. Harta dimaksud, merupakan bagian harta warisan dari ibunya (Hj. Aisyah). Karena itu, Syarif dan Paradiba mendatangi Notaris untuk dibuatkan Akta Notaris tentang hartanya sehingga lahir Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan.
Pembatalan Akta Notaris dimaksud, tidak menghayati sejarah hukum lahirnya Akta Notaris dimaksud pada tahun 2001, tidak menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di zaman itu, melainkan putusan hakim itu hanya semata-mata mempertimbangkan Gugatan Penggugat kepada para tergugat di antaranya Pembuat Akta Notaris. Putusan hakim yang seperti inilah yang biasa melahirkan pro dan kontra dalam masyarakat yang kemudian melahirkan konflik diantara para ahli waris.
Obyek masalah dalam pembatalan Akta Notaris dimaksud, adalah harta peninggalan Hj. Aisyah yang menjadi harta warisan kepada sejumlah orang yang menjadi ahli waris. Orang-orang yang menjadi ahli waris dimaksud, hanya dua sebab, yaitu melalui ikatan perkawinan dan melalui hubungan nasab (darah). Akte Notaris No. 42 tahun 2001 berkenaan hak milik anak kandung sebagai ahli waris. Karena itu, Para hakim yang memutus perkara dimaksud, masih perlu membaca buku-buku yang berkenaan hukum waris di antaranya Pelaksanaan hukum waris di Indonesia, terbitan Sinar Grafika tahun 2008.
Selain itu, penulis mengemukakan bahwa Penggugat semestinya melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1.Membuat permohonan penetapan ahli waris Hj. Aisyah ke Pengadilan Agama ;
2.Berdasarkan permohonan penetapan ahli waris dimaksud, maka Suami mendapat ¼ dari harta warisan Isterinya, dan 4 (empat) orang anak mendapat bagian 2/3 dari harta warisan ibunya dengan perimbangan anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian.
3.Kalau masih hidup orangtua Hj. Aisyah maka ia mendapat 1/6 bagian harta warisan

C. Penutup
1.Putusan hakim yang menyalahi budaya hukum (legal culture) dalam masyarakat yang berkenaan harta warisan akan melahirkan pro dan kontra yang dapat mengakibatkan konflik di antara ahli waris.
2.Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Notaris hanya membantu penyelesaian pembagian harta warisan dalam sejarah hukum sehingga tidak pantas menjadi tergugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar