Jumat, 18 Juni 2010

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK
Oleh: Tanpa Nama, Mhs UID
Dosen: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA


A. Latar Belakang
Untuk dapat memahami hukum sebagai alat intervensi negara maju terhadap negara berkembang, pertama-tama harus dipahami, hukum memiliki banyak fungsi. Kurang tepat bila hukum semata-mata dipahami sebagai kaidah yang berfungsi untuk mengatur apa yang baik dan buruk bagi masyarakat. Dalam kenyataan sehari-hari hukum dapat berfungsi untuk berbagai kepentingan. Hukum dapat berfungsi sebagai alat pengubah masyarakat, hukum dapat berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat, bahkan hukum dapat berfungsi sebagai instrument politik.
Sebagai instrumen politik, hukum digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hukum sebagai instrumen politik terjadi saat penguasa menggunakan hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang dimilikinya. Penguasa dapat menggunakan hukum untuk membatasi, bahkan memberangus kekuatan oposisi dan kegiatan masyarakat. Sebaliknya, kekuatan oposisi ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat menggunakan hukum untuk menjatuhkan pemerintah.
Pada tingkat masyarakat internasional, ada dua cara yang kerap dilakukan negara maju dalam pemanfaatan hukum sebagai alat politik terhadap negara berkembang.
Pertama, dengan memanfaatkan perjanjian internasional. Kedua, dengan memanfaatkan ketergantungan di bidang tertentu untuk mendesak pemerintahan negara berkembang melakukan pembentukan atau perubahan terhadap peraturan perundang-undangannya.
Intervensi melalui dua cara ini tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian internasional berarti negara itu dengan sengaja membebankan dirinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional. Salah satu kewajiban itu adalah mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
Begitu pula dengan desakan negara maju atas pembentukan peraturan perundang-undangan negara berkembang dengan memanfaatkan faktor ketergantungan. Ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum internasional. Kerelaan memenuhi tuntutan dilakukan atas dasar ketidakberdayaan. Indonesia tidak banyak berkutik ketika Dana Moneter Internasional (IMF) mensyaratkan Indonesia untuk mengamandemen UU Kepailitan dan membentuk undang-undang Anti Monopoli. Demikian pula Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang bersedia memberi hibah (grant) ke Indonesia bila pemerintah mau membuat undang-undang Anti Pencucian Uang.
Pelanggaran terhadap hukum internasional kian tidak terasa jika intervensi yang dilakukan dan dikehendaki komponen dalam negeri negara berkembang itu sendiri, baik sadar maupun tidak. Di sini seolah-olah ada gayung bersambut antara apa yang diinginkan negara maju dengan komponen dalam negeri untuk mengubah peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks seperti inilah kemudian perjanjian internasional dimanfaatkan. Perjanjian internasional umumnya dirancang negara maju yang memiliki kepentingan. Perjanjian internasional dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan negara maju terbungkus dengan berbagai kalimat hukum yang canggih untuk melindungi kepentingan mereka yang akan membebani berbagai kewajiban bagi negara berkembang. Selanjutnya perjanjian internasional didiskusikan dengan negara berkembang dalam suatu konperensi internasional.
Berikutnya adalah proses sosialisasi dan upaya-upaya yang menyebabkan negara berkembang untuk turut dalam perjanjian internasional dimaksud. Ketika negara berkembang telah turut dalam perjanjian internasional itu, negara berkembang akan selalu diingatkan untuk mengubah atau mengamandemen ketentuan hukum nasionalnya.
Dalam konteks demikian, pembentukan atau amandemen terhadap peraturan perundang-undangan tidak bertujuan untuk merespons problem yang dihadapi masyarakatnya, tetapi dilakukan untuk merespons kewajiban yang diamanatkan dalam perjanjian internasional.
Pemanfaatan "ketergantungan" sebagai alat untuk mengintervensi kedaulatan dalam proses legislasi suatu negara terjadi karena negara maju telah lama melihat ketergantungan ekonomi negara berkembang. Mereka tahu, semakin negara berkembang tergantung secara ekonomi pada mereka atau lembaga keuangan internasional yang mereka kendalikan, semakin rentan negara berkembang itu untuk diintervensi dibidang peraturanperundang-undangannya.
Ketergantungan ekonomi dapat berbentuk insentif maupun sanksi. Insentif antara lain berupa hibah atau kuota tekstil yang diberikan kepada negara berkembang hingga tercipta ketergantungan. Ketergantungan inilah yang lalu dimanfaatkan untuk melakukan intervensi atas kedaulatan di bidang legislasi. Sementara sanksi yang dikenakan kepada negara berkembang yang tidak mengikuti kehendak negara maju dapat berupa penundaan kucuran pinjaman, pencabutan kuota bahkan dimasukkan dalam daftar hitam (black list). Sikap Indonesia.
Mengamati apa yang diuraikan ini, pertanyaan mendasar bagi kita adalah bagaimana kita harus menyikapi rongrongan terhadap kedaulatan dalam proses legislasi di Indonesia? Satu hal yang pasti, apa yang diuraikan di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak bersikap antinegara maju, anti-IMF, anti terhadap utang luar negeri, dan berbagai anti lainnya. Sikap "anti" tidak akan mengeluarkan kita dari masalah, justru akan menimbulkan masalah baru yang tidak diharapkan.
Apa yang diuraikan di atas dimaksudkan agar para anggota rakyat baru waspada bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat politik oleh kekuatan asing. Jika para anggota dewan telah menyadari hal ini, yang menjadi tantangan adalah bagaimana mereka dapat berupaya untuk menangkalnya dengan menggunakan akal dan nurani.

B.Akibat Hukum
Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus diatur dengan baik. Apabila pembicaraan sudah sampai kepada tata hukum, maka ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum itu. Hal ini tidak mengherankan, karena yang menjadi taruhan pada saat itu adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, ketertiban harus dipertahankan dengan mengesampingkan tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Hukum dan keadilan adalah titipan dari tuhan dan dari masyarakat yang harus ditegakkan untuk menjaga ketertiban hidup dan keserasiaan masyarakat. Sebagai titipan, hukum dan keadilan harus dipertanggungjawabkan didepan manusia dan didepan tuhan. Inti dari norma hukum itu sendiri adalah perbuatan yang bertanggungjawab. (Ka’bah: 2005; 81).
Dalam negara hukum, sebagaimana halnya Indonesia kekuasaan pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Kesinambungan sikap, konsistensi dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menetukan kadar kepastian dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum. Karena lembaga-lembaga kenegaraan senantiasa bertanggungjawab dan berwenang terhadap terhadap penyelenggaraan hukum, yang pada akhirnya merupakan produk dari proses politik. Kesinambungan sikap dan konsistensi tindakan mereka juga sangat tergantung dari stabilitas politik
Dengan pengertian bahwa suatu negara hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, maupun lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif selaku instrumen politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum. Namun hukum hanya memberikan kerangka idiologis dalam perubahan-perubahan social yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan diperlakukan sama. Hal ini sangat penting, karena tanpa jaminan tersebut, maka perubahan-perubahan social yang dikehendaki alam masyarakat hampir tidak mungkin, karena orang tidak percaya lagi kepada negara (pemerintah), kepada struktur dalam masyarakat, atau kepada siapa saja.
Menurut prof. Subekti, Politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Sedangkan menurut Prof, Zainuddin Ali, M.A, Hukum adalah pelembagaan aturan. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di control oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun Politik adalah permainan kekuasaan. Dalam Masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok.

C.Aspek sosiologi Hukum
Kajian tentang instrument politik di Indonesia berhubungan erat dengan kebijakan dibidang hukum, seperti sekeping mata uang yang sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam kenyataan bahwa hukum merupakan produk alat politik, yang diciptakan untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum berkaitan pula dengan manusia, yang memenuhi tugasnya didunia untuk menciptakan aturan hidup bersama yang baik, yakni secara rasional dan moral berpedoman kepada hak-hak asasi manusia. Sebagai produk politik hukum diciptakan oleh negara dan dianggap sah apabila dikukuhkan oleh negara.
Akan tetapi menurut ketua Jurusan Pascasarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), DR. H. Idrus Abdullah, SH, M.Hum, menyayangkan sikap politisi yang menggunakan instrument hukum sebagai alat politik, khususnya saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dimana, para politisi itu kerap kali mencari–cari kelemahan lawan politiknya yang berkaitan dengan hukum untuk membunuh karakter rivalnya ditengah–tengah masyarakat.“ Tindakan itu sudah melanggar moral dan etika politik serta peraturan yang ada. Selain itu, tindakan itu akan meracuni masyarakat dengan isu – isu hukum yang belum tentu benar. (Abdullah: Global FM).
Idrus mengungkapkan, antara hukum dan alat politik tidak boleh dijadikan satu, karena memiliki dunia yang berbeda. Penggunaan instrument hukum untuk menjatuhkan lawan politiknya saat pelaksanaan Pilkada, dinilai tidak tepat bila dilihat dari momentumnya. Jika isu yang digelontorkan itu benar dan dibuktikan dengan data – data akurat, hendaknya para politisi itu tidak ragu – ragu melaporkan ke lembaga penegak hukum.
Idrus mencontohkan, Pilkada di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang salah satu paket calon Bupati, yakni KH. Zulkifli Muhadli, yang diduga memiliki ijazah palsu, dari SDN 4 Taliwang. Dan masih banyak lagi dugaan kasus yang menjatuhkan lawan dalam proses pemilihan pejabat berlangsung. Belum lagi ditambah dengan Kasus dugaan ijazah palsu itu pernah digelontorkan lawan politik Zulkifli pada 5 tahun silam saat akan mencalonkan diri menjadi Bupati KSB. Tapi, keputusan pengadilan tata usaha negara Mataram menyebutkan, dugaan itu tidak benar adanya. Saat ini, isu itu kembali diangkat para politisi lawan politiknya, karena Zulkifli kembali mencalonkan diri sebagai calon Bupati KSB.
Lebih jauh Idrus menegaskan, ijazah palsu sudah masuk ranah hukum bukan politik. Artinya, suatu ijazah dikatakan palsu apabila sudah ada keputusan dari Pengadilan dengan mempertimbangkan hasil uji klinis atau uji materiil. KPU sendiri hanya melakukan verifikasi perlengkapan fisik bakal calon, termasuk ijazah. Apabila dianggap sudah sah secara formal, maka bakal calon itu dinyatakan lolos sebagai seorang calon. “ Akan berbeda apabila, sudah ada keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa ijazah yang dimiliki Zulkifli palsu, maka segala produk yang telah dibuat Zulkifli sebagai Bupati KSB selama 5 tahun menjadi batal demi hukum.“pungkasnya.
Dengan demikian ukurannya bukan “sudah berapa jumlah undang-undang yang dibuat”, “berapa tambahan gedung pengadilan” dan sebagainya, melainkan apakah “jalan masuk kepada keadilan” itu telah dirasakan oleh kebanyakan orang di Indonesia, khususnya dari lapisan bawah yang ada di pedesaan.
Hukum merupakan alat yang dipergunakan untuk menata kehidupan sosial yang penuh dengan gejolak dan dinamika. Magnis Suseno mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial berdimensi politik, dengan kata lain manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan bersama. Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang efektif. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam negara supaya tidak terjadi kekacauan dan pertentangan satu dengan yang lainnya. Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau perbedaan.
Sehubungan dengan hal ini maka perlu diadakan penataan terhadap lembaga politik yang diarahkan untuk terciptanya suatu kepemimpinan yang berwibawa, aparat penegak hukum yang bersih, jujur, efisien dan bertanggungjawab, demokratis dan memiliki komitmen yang tinggi dengan nasib rakyat banyak.
Dari segi sosiologis sering dikatakan oleh para ahli sosiologi hukum, bahwa proses pembuatan undang-undang, pelaksanaan undang-undang, maupun peranan-peranan yang tersangkut di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial budaya. Di Indonesia terlihat bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi pembentukan dan penegakan hukum, sehingga para pengamat hukum dan masyarakat berpendapat bahwa perkembangan struktur social di Indonesia tidak sesuai dengan hukumnya. Memang bisa dibayangkan bahwa akal yang bekerja berdasarkan kehendak bebas, dapat sampai kepada aneka keputusan yang berbeda atau bersilangan. Untuk itu perlu adanya patokan perilaku yang sedermikian rupa, sehingga dapat dibedakan mana perilaku yang dapat diterima oleh umum dan mana yang tidak. Oleh karena itu pemerintah selaku penyelenggara negara secara politis harus dapat memberikan patokan atau batasan terhadap produk hukum yang dikeluarkan, sehingga tidak terjadi salah tafsir antara berbagai pihak dan kalangan, demi terciptanya kepastian hokum.
Perubahan hukum muncul dari proses politik dan tidak dari tindakan kebijaksanaan oleh lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi tuntutan para pejuang politik. Dalam hal ini pemisahan antara hukum dan politik harus jelas, dan pelanggaran hukum harus ditindak dengan tegas tanpa adanya perbedaan. Kepastian hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. Rawls memberi nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum, sehingga hukum dapat memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat ini terlihat bahwa hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas politik negara.
Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh sifat serta karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan politik serta proses perubahan tatanan sosial. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa stabilitas politik sangat perlu dijaga agar jangan sampai terjadinya kekacauan dan ketegangan politik, sehingga dapat menciptakan keresahan dalam masyarakat. Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan partisipasi politik. Adapun yang penting menurut tinjauan kebijakan strategis, ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofis supaya setiap garis kebijakan dan aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan cultural merupakan tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya. Apabila stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknyamaka tidak mungkin hal tersebut dapat dicapai dengan baik.
Terakhir Firdaus dalam bukunya yang berjudul tinjauan Sosiologis terhadap intrument Politik dan hukum bahwa “ The country is as an institutional that will bring into the reality of peoples’ hope to get the order, fair and prosperous life. Through the government should be able to carry out the state base on low supremacyn as a system in creating any kinds of policies. In attendance for creating its goal, the government ought to create the stability of politics. Thus, the low decisions can be applied consistently as to gain the real low for the sake of public order and people prosperous. It’s the same with the political power, run by government and other institutions, should be concur eon with the constitutional agreement, as to get the low supremacy. In this case, all the community has to realize the low implementation in our daily life”.

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DAN EKONOMI DALAM PENEGAKAN HUKUM DILIHAT DARI SOSIOLOGI HUKUM

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DAN EKONOMI DALAM PENEGAKAN HUKUM DILIHAT DARI SOSIOLOGI HUKUM

oleh : Ermiyati Arifah, Mhs UID AKT XI
Dosen : Prof. Dr. Zainudin Ali, M.A
Pendahuluan
Lahirnya orde baru didahului oleh kemelut politik dan ambruknya perekonomian yang berakumulasi selama pemerintahan Soekarno, Soekarno menampilkan sistem pemerintahan yang otoriter melalui Demokrasi terpimpin.
Kejadian-kejadian orde lama mengakumulasikan keruwetan-keruwetan politik, merosotnya secara tajam penegakan hukum dan ambruknya ekonomi nasional, oleh karenanya pada masa awal orde baru terjadi perbedaan dalam mengambil kebijakan, kebijakan pertama dipelopori oleh Nasution menitik beratkan pada demokrasi dan penegakan konstitusi, kebijakan kedua dipelopori oleh Soeharto menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi, kedua aliran ini sulit untuk di pertemukan dalam suatu kebijakan.
Dari dua aliran ini soeharto mengambil kebijakan pembangunan ekonomi, maka pada masa orde baru hukum diposisikan hanya sebagai alat pembangunan semata, dimana kebijakan ekonomi adalah pada pertumbuhan ekonomi tinggi untuk memancing devisa yang bercengkrama erat dengan tatanan politik yang amat menonjolkan stabilitas dan ketertiban represif (ketertiban yang dipaksakan), pada era ini hukum ahirnya terperangkap menjadi media untuk memberikan justifikasi (pembenaran) kebijakan negara tanpa koreksi, termasuk pengaturan di bidang ekonomi yang sebenarnya amat responsive (menyesuaikan) tetapi terjebak kedalam perangkap kapitalisme (pemodal) semu yang menguntungkan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan.
Maka pada masa ini pembangunan hukum diabaikan, dilanggar bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan penguasa, tetapi berteriak-teriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelansungan kehidupan dan pembangunan ekonomi yang notabene disebabkan oleh sikap orogan para ahli dan pelaku ekonomi sendiri, seakan-akan hukum hanya merupakan penghambat pembangunan ekonomi saja.
Permasalahan.
Bagaimana hubungan ekonomi dan hukum dalam perspektif sosiologi hukum ?
Pembahasan.
Menurut Prof. A. F. K. Organski bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modern menempuh pembangunannya melalui tiga tahap, yaitu Unifikasi, Industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tingkat kedua perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Yang ketiga tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi industrialisasi, membetulkan pada tahap sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi, industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivis manusia diatur oleh suatu instrument yang disebut hukum, hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Negara, cita-cita hukum nasional merupakan satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan dan pelaksanaan nilai-nilai tertentu didalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berazaskan Pancasilan dan berdasarkan Undang-Undang dasar 1945. Oleh karenanya hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspek, baik dalam kehidupan social, politik, budaya, pendidikan dan yang tidak kalah pentingnya adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi.
Yayasan Indonesia Forum pernah menyampaikan Visi Indonesia 2030 kepada presiden, ditargetkan income perkapita Indonesia akan mencapai 18.000 dolar AS per tahun dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa, untuk mencapai hal tersebut ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain reformasi pepajakan, reformasi birokrasi, reformasi sitem hukum, good govermance yang ditunjang semua komponen bangsa, serta yang paling penting adalah adanya pemimpin yang memiliki visi dan kepemimpinan yang kuat (a vision and strong leadership). Penempatan reformasi sistem hukum sebagai salah satu persyaratannya merupakan pemikiran dan langkah strategis yang tepat. Karena tanpa memprioritaskan hukum sebagai salah satu pendukung utama untuk mencapai kemakmuran bangsa, maka usaha-usaha yang ditempuh akan sia-sia. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan ekonomi menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembangunan hukum yang mendahuluinya,
Demikian juga dalam tatanan sistemik, hukum sebagai sebuah sistem harus dipandang mempunyai titik temu yang sinergis dengan sistem ekonomi, dengan pemahaman ini , sinergi ini diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sitematik maupun pembangunan sistem hukum nasional, sehingga pada gilirannya baik sistem ekonomi nasional maupun sistem hukum nasional akan semakin mantap untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, pada sisi yang bersamaan tentu saja sistem ekonomi pun harus pula mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih mendukung pembangunan sistim ekonomi nasional secara positif dan begitu juga sebaliknya.
Namun demikian, sebagian besar masyarakat sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum, padahal peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsur saja dari keseluruhan sistem hukum yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur, yaitu asas, norma, sumberdaya manusia, pranata hukum, lembaga hukum, sarana dan prasarana hukum, serta budaya hukum. Oleh karenanya sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, dengan kata lain jika salah satu unsurnya berubah maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain nya juga harus berubah. Hukum juga sebagai social control menurut Zainudin Ali biasa diartikan sebagai proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi mapunun konsiliasi
Bagaimana dengan kehidupan ekonomi sebagai sistem?. Menurut Prof. Heinz Lampert membedakan antara 1). Tatanan dari suatu perekonomian nasional yang sedang berjalan atau tatanan ekonomi efektif yang menjabarkan keadaan, kejadian dan karena itu bersifat deskritif , dengan 2). Tatanan yang diharapkan atau tatanan ideal atau konsep tatanan kebijakan. Kaitannya dengan Hukum Ekonomi, tatanan ekonomi yang disebut pertama didasarkan pada hukum positif atau hukum yang berlaku, adapun pengertian sistem sebagai tatanan yang ideal untuk sebagian berhubungan konstitusi (UUD) dan untuk sebagian lagi hukumnya harus masih dibangun untuk mencapai sistem ekonomi mapun sistem hukum yang mendukungnya, maka suatu tatanan ekonomi haruslah bersifat instrumental untuk mengatasi tiga masalah yang terdapat dalam setiap masyarakat ekonomi, yaitu yang pertama fungsi perekonomian harus dijalankan dan diamankan, yang kedua semua aktivitas ekonomi harus dikoordinasikan dengan jelas dan ketiga tatanan ekonomi harus dijadikan sebagai alat bagi pencapaian tujuan-tujuan dasar politik.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara sistem hukum dan sistem ekonomi senantiasa terdapat interaksi dan hubungan pengaruh mempengaruhi yang mungkin positif jika hukum ditegakkan dengan sungguh-sungguh, tetapi juga dapat bersifat negative, karena hukum hanya sebagai alat pembangunan semata bahkan hukum diabaikan tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh, seperti terjadi masa orde baru, yang ikut menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Dari zaman ke zaman menunjukkan hubungan hukum dan ekonomi yang sangat erat sehingga timbul ilmu yang membidangai dua hal tersebut yang disebut hukmum ekonomi, menurut Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA :
Ali, H. Zainudin. Sosiologi hukum. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika, Cet ke 5, 2009
Hartono, C.F.G. Sunaryati. “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003.” Makalah Disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VII Dengan Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Hidayat, Syarip. “Pengaruh Globalisasi Ekonomi Dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia.” Http://www.legalitas.org/?q=category/kategori.artikel.hukum.perdata/ bisnis>. 19 Agustus 2008.
Kartika Sari, Elsi dan Advendi Simanungsong. Hukum Dan Ekonomi. Cet. V. Jakarta : PT. Gramedia Serana Indonesia, 2008.
Mahfud MD, Moh. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia. Yogyakarta : Gema Media, 1999.
Sulistiyono, Adi dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi Sebagai Panglima. Cet. I. Sidorajo, Jawa Timur. 2009.

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP TERJADINYA GANGGUAN KEAMANAN LALU LINTAS DI JALAN RAYA

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP TERJADINYA
GANGGUAN KEAMANAN LALU LINTAS DI JALAN RAYA
Disusun Oleh Syaifullah, AKT, III
Dosen: Prof Dr. H. Zainuddin Ali, MA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan dan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, mengakibatkan manusia dapat hidup lebih tentram. Akan tetapi di sisi lain terdapat pengaruh tertentu yang mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap ketentraman kehidupan manusia. Kenyataan menunjukkan betapa banyaknya kecelakaan lalu lintas terjadi setiap hari yang mengakibatkan matinya manusia, cideranya manusia dan kerugian secara material.
Penyebabnya berkisar pada faktor-faktor seperti pengemudi maupun pemakai jalan yang lainnya, konstruksi jalan yang kurang baik, kendaraan yang tidak memenuhi syarat, rambu-rambu lalu lintas yang tidak jelas, dan lain sebagainya. Jalan raya, misalnya, merupakan suatu sarana bagi manusia untuk mengadakan hubungan antar tempat, dengan mempergunakan pelbagai jenis kendaraan baik yang bermotor maupun tidak. Jalan raya mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan-keamanan dan hukum, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas keselamatan penggunaan jalan raya telah berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas. Pelbagai peraturan telah disusun dan diterapkan yang disertai dengan penyuluhan, kualitas kendaraan dan jalan raya ditingkatkan, serta bermacam-macam kegiatan dilakukan untuk menjaga jangan sampai jatuh korban maupun kemerosotan materi.
Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya. Soerjono Soekanto/Satjipto Rahardjo membuat rumusan yang sama tentang sosiologi hukum yakni sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat. Sedangkan Prof. M. Abduh, kurang menyetujui pemakaian istilah; Hubungan—karena hukum bukan manusia yang mempunyai hubungan cinta. Akan lebih tepat jika dikatakan sosiologi hukum adalah bias/refleksi hukum dalam masyarakat dan sebaliknya bias/refleksi masyarakat ke dalam hukum.
Sosiologi hukum memiliki kegunaan antara lain, memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial; penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, sarana mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu; sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi-evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
B.Rumusan Masalah
Dalam kenyataannya masih terdapat masalah-masalah di jalan raya yang sangat sulit untuk ditanggulangi, oleh karena itu akan dicoba untuk menelaah penegakan hukum di jalan raya dengan meninjau aspek-aspek sosiologisnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya adalah :
1.Mengapa pengendara menjalankan kendaraan terlalu cepat, kurang hati-hati dan tidak bertanggungjawab?
2.Bagaimana para pelanggar harus ditangani dan rehabilitasi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penegakan Peraturan Lalu lintas
Tinjauan utama dari peraturan lalu lintas adalah untuk mempertinggi mutu kelancaran dan keamanan dari semua lalu lintas di jalan-jalan. Identifikasi masalah-masalah yang dihadapi di jalan raya berkisar pada lalu lintas. Masalah-masalah lalu lintas, secara konvensional berkisar pada kemacetan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, kesabaran dan pencemaran lingkungan. Keadaan kemacetan lalu lintas berarti hambatan proses atau gerak pemakai jalan yang terjadi di suatu tempat. Hambatan dapat terjadi dalam batas-batas yang wajar; namun mungkin dalam batas waktu yang relatif pendek. Di samping itu mungkin gerakan kendaraan berhenti sama sekali atau mandeg.
Aparat penegak hukum (Polisi lalu lintas) berperan sebagai pencegah (politie toezicht) dan sebagai penindak (politie dwang) dalam fungsi politie. Di samping itu maka polisi lalu lintas juga melakukan fungsi regeling (misalnya, pengaturan tentang kewajiban bagi kendaraan bermotor tertentu untuk melengkapi dengan segi tiga pengaman) dan fungsi bestuur khususnya dalam hal perizinan atau begunstiging (misalnya, mengeluarkan Surat Izin Mengemudi).
Mengendarai kendaraan secara kurang hati-hati dan melebihi kecepatan maksimal, tampaknya merupakan suatu perilaku yang bersifat kurang matang. Walau demikian kebanyakan pengemudi menyadari akan bahaya yang dihadapi apabila mengendarai kendaraan dengan melebihi kecepatan maksimal tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya tidak sedikit pengemudi yang melakukan hal itu. Mereka demikian beraninya untuk mengambil resiko, akibatnya adalah perilaku-perilaku yang dihasilkan adalah frustasi, oleh karena konflik sebenarnya merupakan suatu bentuk dari frustasi. Di dalam menghadapi konflik, maka seseorang biasanya melakukan apa yang disebut displacement yang berwujud sebagai pengalihan sasaran perilaku agresif.
Kekhawatiran timbul sebagai akibat dari perasaan akan adanya bahaya dari luar, yang kadang-kadang hanya merupakan anggapan saja dari yang bersangkutan. Tidak jarang manusia mempergunakan mekanisme pertahanannya untuk mengatasi rasa khawatirnya itu, seperti misalnya acting out yakni individu yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan impulsif. Perilaku semacam ini dapat terjadi pada pengemudi, yang kemudian mengendarai kendaraannya secara membabi buta. Hal-hal yang dikemukakan di atas, merupakan ciri-ciri mental manusia yang sedang mengalami tekanan tidak jarang bahwa manusia mengalami kegembiraan yang luar biasa, oleh karena sebab-sebab tertentu. Tanpa disadari, rasa gembira tersebut mengakibatkan pengemudi menjalankan kendaraan dengan kecepatan yang melebihi kecepatan maksimal. Keadaan lelah, lapar, usia yang sudah mulai tua, obat-obatan dan lain sebagainya, merupakan beberapa faktor yang kemungkinan besar akan dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengemudikan kendaraan dengan baik. Kelelahan fisik dapat mengurangi kemampuan mengemudi, serta konsentrasi yang diperlukan untuk mengemudikan kendaraan dengan baik.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lalu lintas dan angkutan jalan raya, tidaklah sepenuhnya sinkron dan ada ketentuan-ketentuan yang sudah tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Namun demikian tidaklah berlebih-lebihan untuk mengemukakan beberapa cara penegakan peraturan lalu lintas yang menurut pengalaman akan lebih efisien.
Cara yang lazim disebutkan periodic reinforcement atau partial reinforcement. Cara ini diterapkan apabila terhadap perilaku tertentu, tidak selalu diberi imbalan atau dijatuhi hukuman. Kalau seorang pengemudi sudah terbiasakan menjalani rute jalan raya tertentu, maka ada kecenderungan untuk melebihi kecepatan maksimal. Hal itu disebabkan oleh karena pengemudi menganggap dirinya telah mengenal bagian dari jalan raya tersebut dengan baik. Kalau pada tempat-tempat tertentu dari jalan tersebut ditempatkan petugas patroli jalan raya, maka dia tidak mempunyai kesempatan untuk melanggar batas maksimal kecepatan. Akan tetapi apabila penempatan petugas dilakukan secara tetap, maka pengemudi mengetahui kapan dia harus mematuhi peraturan dan bilamana dia dapat melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Dengan menerapkan cara periodic reinforcement, maka ingin ditimbulkan kesan pada pengemudi bahwa di mana-mana ada petugas, sehingga dia akan lebih berhati-hati di dalam mengemudikan kendaraannya, kalaupun petugas kadang-kadang ditempatkan di jalan raya tersebut ada kesan bahwa petugas itu selalu ada disitu. Cara ini bertujuan untuk menghasilkan pengemudi yang berperilaku baik.
Cara kedua biasanya disebut conspicuous enforcement, yang biasanya bertujuan untuk mencegah pengemudi mengendarai kendaraan secara membahayakan. Dengan cara ini dimaksudkan sebagai cara untuk menempatkan mobil polisi atau sarana lainnya secara menyolok, sehingga pengemudi melihatnya dengan sejelas mungkin. Hal ini biasanya akan dapat mencegah seseorang untuk melanggar peraturan. Cara ini bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa manusia. Dan sudah tentu, bahwa kedua cara tersebut memerlukan fasilitas yang cukup dan tenaga manusia yang mampu serta terampil.
B. Menangani Para Pelanggar
Pertama-tama seorang petugas harus bertanya pada dirinya sendiri, siapakah pelanggar peraturan lalu lintas tersebut. Hal ini bukanlah menyangkut apa pekerjaannya, siapa namanya, dan seterusnya. Yang pokok disini adalah bahwa seorang yang melanggar peraturan lalu lintas, bukanlah selalu seorang penjahat (walaupun kadang-kadang petugas berhadapan dengan penjahat). Seorang pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas adalah seseorang yang lalai di dalam membatasi penyalahgunaan hak-haknya.
Yang kedua adalah bahwa seorang petugas atau penegak hukum harus menyadari bahwa dia adalah seseorang yang diberi kepercayaan oleh negara untuk menangani masalah-masalah lalu lintas. Pakaian seragam maupun kendaraan dinasnya merupakan lambang dari kekuasaan negara yang bertujuan untuk memelihara kedamaian di dalam pergaulan hidup masyarakat. Seorang petugas yang emosional dan impulsif tidak saja akan merusak seluruh korps, walaupun dia selalu disebut oknum apabila berbuat kesalahan. Penanganan terhadap para pelanggar, memerlukan kemampuan dan ketrampilan professional. Oleh karena itu, maka para penegak hukum harus mempunyai pendidikan formal dengan taraf tertentu, serta pengetahuan dan pemahaman hukum yang cukup besar. Pengutamaan kekuatan fisik, bukanlah sikap professional di dalam menangani masalah-masalah lalu lintas.
Perencanaan jalan raya dan pemasangan rambu lalu lintas yang disertai pertimbangan, akan mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pemasangan rambu yang tepat untuk memperingati pengemudi bahwa di mukanya terdapat tikungan yang berbahaya, misalnya, akan dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Pemasangan rambu yang tidak wajar akan menyebabkan terjadinya kebingungan pada diri pengemudi. Bentuk jalan raya, besar kecilnya bentuk huruf, dan warna rambu lalu lintas, mempunyai pengaruh terhadap pengemudi.
Pemasangan lampu lalu lintas, juga mempunyai pengaruh terhadap perilaku pengemudi. Apabila lampu lalu lintas tersebut ditempatkan sejajar dengan garis berhenti, maka hal itu akan menyebabkan pengemudi menghadapi masalah. Masalahnya adalah, untuk melihat lampu dengan jelas, maka dia harus berhenti jauh di belakang garis behenti. Apabila hal itu dilakukan, maka dia akan dimaki-maki oleh pengemudi-pengemudi yang berada di belakangnya. Kalau dia berhenti tepat di garis berhenti, maka agak sukar baginya untuk melihat lampu lalu lintas.
Pendidikan bagi pengemudi, juga merupakan salah satu cara dalam menangani para pelanggar lalu lintas. Pada masyarakat lain di luar Indonesia, sekolah mengemudi merupakan suatu lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghasilkan pengemudi-pengemudi yang cakap dan terampil di dalam mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh para ahli, yang tidak hanya melingkupi mereka yang biasa menangani masalah-masalah lalu lintas, akan tetapi kadang-kadang juga ada psikologinya maupun ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Di dalam sekolah pendidikan pengemudi tersebut, yang paling pokok adalah sikap dari instruktur. Instruktur harus mampu menciptakan suatu suasana dimana murid-muridnya dengan konsentrasi penuh menerima pelajarannya.
Seorang instruktur harus mempunyai kemampuan untuk mendidik, kemampuan untuk mengajar saja tidaklah cukup. Murid-murid harus diperlakukan sebagai orang dewasa, berilah kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengambil keputusan, oleh karena di dalam mengendarai kendaraan yang terpenting adalah dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Kalau tidak maka kemungkinan besar akan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kerugian benda atau hilangnya nyawa seseorang.

BAB III
P E N U T U P
A.Kesimpulan
Penegakan peraturan lalu lintas secara baik sangat tergantung pada beberapa faktor yang selama ini kurang mendapatkan perhatian yang seksama, yakni: pemberian teladan kepatuhan hukum dari para penegak hukum sendiri, sikap yang lugas (zakelijk) dari para penegak hukum, penyesuaian peraturan lalu lintas dengan memperhatikan usaha menanamkan pengertian tentang peraturan lalu lintas, penjelasan tentang manfaat yang konkrit dari peraturan tersebut, serta appeal kepada masyarakat untuk membantu penegakan peraturan lalu lintas.
Penegak hukum di jalan raya, merupakan suatu hal yang sangat rumit. Pertama-tama penegak hukum harus dapat menjaga kewibawaannya untuk kepentingan profesinya. Di lain pihak dia harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri untuk mengambil keputusan yang bijaksana, sehingga menghasilkan keadilan. Semenjak calon pengemudi menjalani ujian untuk memperoleh surat izin mengemudi harus dipertimbangkan hal-hal yang menyangkut tingkat kecerdasan pengemudi, kemampuan untuk mengambil keputusan dengan cepat, aspek fisik pengemudi/calon pengemudi.
B. Saran
Para pengguna jalan harus memiliki etika kesopanan di jalan serta harus mematuhi dan melaksanakan peraturan lalu lintas, misalnya ke kiri jalan terus atau ke kiri ikuti lampu, dilarang parkir juga tidak membuang sampah sembarangan di jalan. Kecepatan dalam mengendarai kendaraan harus disesuaikan dengan kondisi jalan, apakah jalan tersebut ramai atau sepi, waktu pagi, siang, sore, ataupun malam. Untuk angkutan umum hendaknya tidak menaikkan atau menurunkan penumpang sembarangan. Dalam memanfaatkan jalan, kita harus menyadari bahwa bukan hanya kita saja yang menggunakan jalan tersebut, tetapi setiap orang berhak menggunakannya. Walaupun itu merupakan hak setiap orang namun, setiap orang berkewajiban untuk menjaga kesopanan di jalan, salah satunya dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Abduh, M. 2002. Sosiologi Hukum. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soerjono. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Citra Aditya Bakti
Soekanto, Soerjono. 1990. Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum). Bandung: Mandar Maju
Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada

B.Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum

“TEBANG PILIH KASUS KORUPSI DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

TEBANG PILIH KASUS KORUPSI DALAM
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Guntoro, Mhs UID, Angkt XI
Dosen Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA.

I.Pendahuluan
Beberapa hari yang lalu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menuding pemerintah melakukan praktik tebang pilih yang sarat muatan politis dalam penuntasan kasus korupsi di negeri ini. Pernyataan Megawati tersebut menyikapi proses hukum sejumlah kasus lama yang diduga melibatkan beberapa anggota partai pendukung Panitia Khusus Bank Century setelah kalah koalisi. Hal ini diungkapkan Megawati pada Konferensi Daerah (Konferda) ketiga PDI Perjuangan Propinsi Papua di Hotel Rimba Papua, Timika, Papua, Selasa (15/3) malam. Megawati menjelaskan, keganjilan tersebut terlihat seperti pada kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang melibatkan beberapa kader PDI Perjuangan.
Pernyataan Megawati tersebut sangat mengejutkan bagi kita semua. Sebagai mantan orang nomor satu di republik ini dan paham betul seluk beluk pemerintahan, pernyataan tersebut adalah hal tak lazim. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa ternyata dalam prakteknya masih ada praktek tebang pilih. Sangat ironis apabila pernyataan Megawati itu benar, karena disatu sisi pemerintahan SBY berkomitmen memberantas korupsi sampai tuntas tanpa pandang bulu

II.Korupsi di Indonesia
A.Pengertian Korupsi.
Korupsi dalam istilah Kamus Bahasa Indonesia mengandung pengertian, kecurangan dalam melaksanakan jabatannya seperti memakai uang, minta sogok dsb. Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan . Namun dalam kenyataannya seperti yang kita ketahui perilaku korupsi seringkali tidak harus selalu melibatkan negara, aparatur Negara ataupun hubungan negara.
Korupsi dalam praktiknya dilapangan dapat berwujud dalam tiga bentuk yaitu : 1) sogokan (bribery), 2) pemerasan (estortion) dan 3) nepotisme (nepotism). Untuk dapat terlaksana ketiga bentuk korupsi tersebut, maka dibutuhkan adanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang, dimana kewenangan tersebut adalah akibat jabatan yang diembannya waktu itu. Menjadi sangat heboh dan destruktif apabila kemudian ternyata kewenangan karena jabatan tersebut adalah kewenangan yang mengatur hajat hidup orang banyak seperti finansial (keuangan), politik (kebijakan), hukum (ketertiban masyarakat) dan sektor pertahanan. Maka tidaklah terlalu berlebihan bahkan menjadi suatu keharusan apabila korupsi dinyatakan sebagai extra ordinary crime bukan lagi tindak pidana biasa.
Sedangkan menurut hukum berdasarkan pasal 2 UU No. 31 th. 1999 korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan / perekonomian negara . Sehingga menurut hukum suatu tindakan tersebut dianggap sebagai suatu tindakan korupsi apabila terdapat tiga unsur didalamnya yaitu:
1. Secara melawan hukum yang artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatu dalam peraturan perundang-undangan ( melawan hukum formil), namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan hukum materiil, maka perbuatan tersebut dapat dipidanakan.
2. Memperkaya diri sendiri/ orang lain
3. “dapat” merugikan keuangan perekonomian negara, yang mana tindakan korupsi telah dianggap ada apabila ada unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan terpenuhi, bukan dengan timbulnya akibat.
Oleh karena itu secara umum korupsi haruslah diletakkan kedalam ranah publik atau dengan kata lain semua hal yang menyalahgunakan kekuasaan publik dan merugikan negara adalah tindakan korupsi. Istilah korupsi yang mengandung makna dan pengertian yang begitu luas ini, menurut Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya etika administrasi negara (1992:208) didukung oleh kenyataan bahwa korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang punya itikad kurang baik, dan manusia sebagai subjek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak baik tersebut.
Oleh karena itu, dapat dikemukakan secara singkat bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (nonviolence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran

B. Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong , ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Survei tersebut memang tidak mengejutkan kita karena kita harus akui, korupsi di negeri ini seperti budaya yang sulit dihilangkan.
Korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan merajalela dan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan luar biasa (bahaya laten) Sudah lusinan koruptor yang tertangkap lalu diadili dan mendapatkan hukuman, entah itu berat atau ringan, baik itu dari kalangan eksekutif, legislatif dan yudikati, ternyata tidak juga menjadikan jera para pelaku korupsi. Korupsi masih saja marak terjadi atau bahkan sementara orang mengatakan makin marak saja terjadi, bahkan saat ini masyarakat disunguhi adanya konpirasi korupsi penggelapan pajak 28 Milyard yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus Tambunan, jaksa penuntut umum, kepolisian, hakim dan pengacara yang notabne mereka adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sepertinya sulit untuk dihilangkan, padahal menurut Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) ) kalau kita ingin belajar dari negara Latvia dan China yang berani melukan rombakan besar untuk menumpas koruptor di negara mereka. sebelum tahun 1998, Latvia negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, akhirnya negara itu menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi.
Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang begitu parah, akhirnya negara tersebut menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi. “Melalui undang-undang ini, seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan semua tokoh pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi,” paparnya. Sementara itu, di China dilakukan pemutihan seluruh koruptor yang telah melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, maka pejabat yang korupsi langsung dijatuhi hukuman mati. “Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China telah dijatuhi hukuman mati. Tapi, sekarang China juga menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,” tambahnya.
Namun jika kita memutar sedikit sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, maka sejak rezim Presiden Soekarno sampai Presiden SBY, pemberantasan korupsi sudah mulai dilakukan. Sejak tahun 1960 telah melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada tahun 1971, diterbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian pada tahun 1999 diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hingga pada tahun 2006, Pemerintah juga telah meratifikasi kovenan internasional tentang anti korupsi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satgas Mafia Hukum. Hal tersebut semakin menegaskan komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi di Negara kita.
Selain itu juga, persoalan korupsi tidak cukup dengan aturan aturan-aturan tertulis dan institusi penindaknya akan tetapi persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara.sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuarakannya.
Lalu yang menjadi fokus kita semua adalah mana yang lebih prioritas dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?, apakah aturan-aturan hukum tersebut harus diperbaiki untuk memberikan sanksi yang keras bagi koruptor misalnya hukuman mati seperti di cina, atau institusi aparat penegak hukum harus lebih agresif dan tanpa kompromi menindak korupsi atau moralitas bangsa yang harus dibenahi. Ketiga-tiganya haruslah berjalan berdampingan dan saling bersinergi, sehingga kita berharap suatu saat bangsa ini bebas dari korupsi.
Keberadaan KPK sejak kelahirannya tahun 2003 setidaknya telah memberikan terapi kejut pagi praktisi korupsi. Sejak 2003 hingga 2010 KPK telah berhasil mem”bui”kan pejabat-pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, anggota DPR/DPRD, praktisi hukum, birokrat, pengusaha dan pejabat Negara lainnya. Bahkan beberapa hari yang lalu KPK berhasil menangkap Hakim Ibrahim (Hakim PTTUN), yang ditangkap KPK lantaran menerima suap sebesar Rp. 300 juta dari pengacara Adner Sirait yang tengah menangani kasus sengketa lahan milik Pemprov DKI Jakarta. Bahkan desakan dari masyarakat agar KPK dilibatkan secara aktif dalam kasus konpirasi korupsi penggelapan pajak 28 Milyar yang dilakukan oleh pegawai pajak Gayus tambunan dengan melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara terus bergulir. Desakan ini semata-mata adalah kepecayaan publik terhadap KPK sebagai institusi yang independen untuk menuntaskan korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya, apalagi keberadaan Satuan Tugas (Satgas) mafia hukum yang dibentuk Presiden SBY telah memberikan kegelisahan bagi koruptor-koruptor yang saat ini masih lepas dari jeratan hukum.
C.Tebang Pilih Kasus Korupsi, adakah?

Penyataan Mantan Presiden Megawati, Soekarno Putri yang menuding pemerintah melakukan praktik tebang pilih yang sarat muatan politis dalam penuntasan kasus korupsi di negeri ini, haruslah ditanggapi sebagai kritik. Sebagai Mantan orang satu di negeri ini Megawati pasti tahu betul seluk beluk korupsi di negeri ini.
Diluar aspek politis, pernyataan Megawati ttersebut bukanlah kekesalannya terhadap dipanggilnya beberapa politisi PDIP oleh KPK dalam dugaan suap yang melibatkan deputi senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom dan tidak jelasnya arah kasus Ballout Bank Century 6,7 Trilyun yang melibatkan Wakil Presiden Boediono yang pada saat itu menjabat Gubenur BI serta Menteri Keuangan (ketua KSSK) Sri Mulyani, yang secara jelas dan tegas berdasarkan rekomendasi sebagian besar Pansus Bank Century (Komisi III DPR) adanya dugaan kesalahan dalam mengambil kebijakan yang dilakukan Boediono dan Sri mulyani.
Lalu, yang menjadi pertanyaan kita, adakah tebang pilih kasus korupsi di negeri ini? Meski sukses memenjarakan sejumlah pejabat yang terlibat korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih dipandang tebang pilih dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Akibatnya, banyak pejabat yang tersangkut korupsi menghirup udara bebas.
Kasus tebang pilih ini dapat dilihat pada kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom sarat dengan muatan politis. Pelaku penerima suap yang merupakan anggota dewan sampai saat ini tidak satupun ditangkap aparat penegak hukum. Padahal ada pengakuan Agus Condro yang menerima duit Rp. 500 juta.. atau kasus Penyediaan mobil Pemadam kebakaran (damkar) dimana KPK telah mem”bui”kan beberapa pejabat-pejabat/kepala daerah dan staf pegawai/sekjen Departemen Dalam Negeri namun KPK belum mem”bui”kan Mantan Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, yang diduga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus damkar ini.
Kalau kita mundur sejenak, pada kasus-kasus korupsi yang sudah dikerjakan KPK bisa kita lihat pada kasus sebelumnya, contohnya adalah akasus besar yang mendapat sorotan publik adalah skandal korupsi yang melanda Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kasus ini, KPK kehilangan kemampuan dan keberanian untuk menuntaskan semua kasus korupsi yang terjadi. Sekalipun sudah mendorong beberapa aktor utama skandal korupsi KPU ke pengadilan dan sebagiannya sudah dinyatakan bersalah, KPK dapat dikatakan gagal melakukan penyelesaian secara menyeluruh. Kegagalan tersebut terjadi karena sampai saat ini KPK hanya menyentuh secara terbatas aktor-aktor yang terkait dengan skandal korupsi KPU. Sebagian kalangan menilai, proses hukum terhadap Ketua KPU menjadi lebih mudah karena posisi politik Nazaruddin Sjamsuddin tidak sekuat beberapa anggota KPU yang lain. Padahal, dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, kalau salah seorang pelaku sudah dijadikan tersangka (apalagi Nazaruddin sudah dinyatakan bersalah), tidak ada alasan untuk tidak menindaklanjuti proses hukum pelaku yang lain.
Karena perbedaan perlakuan itu, beberapa anggota Komisi III DPR pernah
menyatakan bahwa KPK diskriminatif dalam pengusutan skandal korupsi di tubuh
KPU. Bahkan, dalam pandangan salah seorang anggota Ketua Komisi III DPR, Benny Harman (dari Fraksi Partai Demokrat), sejak kasus KPU muncul, ia sudah mencium ada beberapa orang yang tidak akan diseret KPK Hampir dapat dipastikan, pandangan Benny Harman didasarkan pada posisi politik beberapa
anggota KPU.
Contoh lain yang cukup menarik untuk disimak adalah pengungkapan kasus korupsi penyalahgunaan Dana Abadi Umat (DAU). Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu telah menyentuh beberapa orang yang dianggap punya peran penting dalam penyalahgunaan DAU, termasuk mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar.
Dikatakan menarik, ketika permulaan proses hukum terhadap Said Agil disebutkan bahwa sebagian DAU dinikmati oleh pejabat negara, mulai dari anggota DPR sampai anggota kabinet. Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu tidak kunjung bergerak kepada pihak-pihak lain yang juga ikut menerima aliran DAU. Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi, semua pihak yang menerima aliran DAU harus ikut bertanggung jawab.
Kasus yang saat ini ditunggu-tunggu publik dalam menilai kinerja KPK pasca kriminalisasi Bibit-Chandra adalah kasus ballout Bank Century Rp. 6,7 Trilyun. Rekomendasi pansus Bank Centry DPR sangat jelas menyatakan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani telah melakukan pelanggaran dalam mengambil kebijakan dan untuk itu harus bertanggungjawab. Namun hingga kini nasib kasus Bank Century tak jelas dan tertutupi kasus Gayus Tambunan
Fenomena tersebut menunjukkan terjadinya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi jika pelaku-pelaku korupsi itu mempunyai kedekatan dengan elit politik dan/ataupun mempunyai kekuatan politik dan uang yang kuat, apalagi jika kekuatan politik dan uang dimiliki sesorang (baca: koruptor) maka hal mustahil korupto-koruptor tersebut tidak akan tersentuh hukum.
D.Tebang Pilih Kasus Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Seperti dikemukakan penulis diatas, koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan dan/atau mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah menghenrankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi panglima tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan.
Para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah berpegang pada hukum positif yang berlaku, namun dari sudut politik, orang tidak hanya melihat pada pelaksanaan hukum an sich, akan tetapi juga mempertimbangkan akibat-akibat suatu keputusan yang berlandaskan hukum pada kepentingan bangsa dan Negara yang lebih luas. Kedua macam sikap dan pandangan itu acap kali menimbulkan keraguan dalam melaksanakan hokum di lapangan.
Jadi sulit sekali bagi kita untuk memisahkan hukum, politik, dan ekonomi mengingat hukum merupakan produk bersama DPR (sekumpulan politisi) dengan pemerintah, walaupun sudah ada political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mengedepankan supremasi hukum, namun hal tersebut belumlah cukup dan mungkin hanya akan menjadi jargon-jargon politik, untuk itu diperlukan political action (aksi politik) yang nyata di lapangan, yang tentunya hal ini akan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Namun mengingat pemerintahan SBY jilid II dibentuk merupakan kualisi partai politik, rasanya lima tahun kedepan sulit bagi kita untuk mengatakan hukum menjadi panglima atau istilah sosiologi hukumnya, hukum baik secara yuridis dan empiris tidak mengalami pertentangan dalam pelaksanaan di masyarakat
Korupsi sebagai musuh bersama, tetap akan ada. Kita tetap akan dipertontonkan keberhasilan aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor, namun jangan banyak berharap para koruptor yang bersembunyi di ketiak penguasa akan tersentuh hukum, kecuali ada keberanian dari pemerintahan SBY bahwa pemberantasan korupsi di negeri tanpa tebang pilih, smoga.

E.Kesimpulan.
Dalam tulisan akhir ini penulis mencoba menyimpulkan sebagai berikut :
1.Ditinjau dari segi tata bahasa, kata, "korupsi" berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok yang kemudian menjadi kata “corrupt”, ( English, Merriam-Webster : to change from good to bad in morals, manners, or actions ). Dalam bahasa Indonesia kata korupsi berarti tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum . Yang dalam konsep modern didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan
2.Korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan merajalela, bahkan sulit untuk diberantas. Dalam sejarah negeri pemberantasan korupsi sudah mulai dilakukan di rezim soekarno hingga Presiden SBY, baik itu melalui produk hukum dan institusi hukum penindaknya.
3. Pemberantasan kasus korupsi di Indonesia dalam faktanya ada tebang pilih. KPK sebagai institusi yang masih dipercayai publik ternyata dalam menangani korusi masih adanya tebang pilih.
4. Tebang pilih kasus korupsi ini dikarenakan pelaku korupsi tersebut mempunyai kedekatan dengan penguasa dan mempunyai kekuatan politik ekonomi yang kuat.
5. Dalam ilmu sosiologi hukum dijelaskan bahwa kekuatan politik ekonomi mempengaruhi hukum itu dijalankan. Hukum belum menjadi panglima. Tapi hukum hanyalah posisis tawar menawar, bagi mereka yang mempunyai kekuatan politik dan ekonomi di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Lengkap 2005: Bandung ,Fokus Media, , 2005.
S. Wojowansito, Kamus Bahasa Indonesia : Bandung, Shinta Dharma, 1972
Ali, Zainudin, Sosiologi Hukum, Cet. 4: Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Sumardjan, Selo, Dalam Pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard, 1998.
Media Lain :
http://vhajrie27.wordpress.com/2010/04/05/pemberantasan-korupsi-di-indonesi/
http://impian-kita.blogspot.com/2010/04/memalukan-indonesia-negara-terkorup.html
http://education-lili.blogspot.com/2009/02/pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
http://hariansib.com/?p=117776
http://www.forum-politisi.org/berita/article.php?id=848
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-TebangPilih-Berantas-Korupsi,1
http://bataviase.co.id/node/87330
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/12167-kpk-tebang-pilih-dalam-kasus-mirada-gulto

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT YANG TIDAK SETUJU DENGAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT YANG TIDAK SETUJU DENGAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI.
Oleh: Farida Nurun Nazah (Mahasiswa S2 Hukum UID)
Dosen Sosiologi Hukum UID: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

BAB I
PENDAHULUAN

Era globalisasi terus berkembang sejalan dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Perubahan demi perubahan kemajuan dalam berbagai bidang merupakan hal yang wajar, sejalan dengan rel tuntutan masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan informasi, hiburan, kebebasan berekspresi dan perlindungan hukum mau tidak mau, harus bersinkronisasi dengan satu individu dengan individu yang lainnya. Semua ini adalah hal yang wajar, mengingat manusia adalah makhluk sosial. Namun, ketika satu sama lain saling berinteraksi dan mempunyai komitmen yang berbeda, norma-norma yang berbeda, maka timbullah apa yang di namakan Human Crash.
Dalam sejarah perjalanan negara Indonesia dan tatanan hukum di dalamnya, tak pelak, sering juga mengundang kontroversi, mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Baik dari segi agama, budaya, maupun adat istiadat. Namun, pemerintah dengan segala usahanya, mencoba memberikan tatanan undang-undang yang bersifat kompromistis, yang di harapkan tidak merugikan satu sama lain guna mewujudkan negara yang Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam tatanan masyarakat, ada beberapa norma yang di terapkan dan harus di laksanakan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang ideal, harmonis dan nyaman. Yaitu, pertama : Norma Hukum, dalam hal ini pemerintah merupakan elemen yang sangat penting, karena pemerintahlah yang menuliskan segala hukum dan sanksi bagi para masyarakat yang di bawah naungannya. Kedua, Norma Sopan Santun. Norma sopan santun diterapkan segala hukum dan sanksinya dalam ruang lingkup bersosial masyarakat. Yang berarti, masyarakatlah yang menjustifikasi semua tindak tanduk masyarakat. Ketiga, Norma Kesusilaan. Bahwa perasaan bersalah dari tiap individu adalah merupakan sifat dan bentuk sanksi dari norma asusila. Keempat, yang merupakan puncak dari segala norma, yaitu Norma Agama. Bahwa semua tingkah laku seseorang diatur oleh norma agama mereka. Semua bentuk sifat dari norma ini dan semua sanksinya adalah Tuhan mereka. Penanaman norma-norma dan nilai luhur dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang majemuk (pluralis), hendaknya dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi sesuai dengan piramida di bawah ini.
Meningkatnya kasus asusila dan meningkatnya masalah pornografi di berbagai daerah di Indonesia ini, merupakan wujud riil bahwa masyarakat kita tengah mengalami dekadensi moral dan kelemahan sendi-sendi pilar dalam berbangsa dan bermasyarakat. Kegagalan ini, seyogyanya dikaji ulang, yang melibatkan berbagai elemen bangsa, guna menciptakan kehidupan bermasyarakat yang madani.
Kalau kita lihat dari sisi sejarah di bentuknya undang-undang kontroversial ini sebenarnya sudah dibahas oleh pemerintah kita semenjak tahun 1997, jadi sudah sekitar 13 tahun yang lalu. Yaitu ketika Rapat Paripurna periode 1999-2004, yang menyatakan bahwa RUU APP adalah sebagai RUU usul inisiatif DPR pada tanggal 23 Spetember 2003, kemudian hal ini menyebabkan kontroversi di berbagai daerah dan menyebabkan polemik atau perbantahan antar pihak. Maka dari itu, maka RUU APP ditarik dan disusun kembali.
Kemudian pada tanggal 14 Februari 2006, draft RUU APP diajukan yang berisi 11 Bab & 93 Pasal. Dalam draft ini, Pornografi dan Pornoaksi dibedakan dan dimuat didalamnya. Dalam draft pertama, pada Bab IV Pasal 40 sampai dengan 50, mengenai pembentukkan BAPPN atau Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional dihapuskan, juga definisi mengenai Pornografi dan Pornoaksi dirubah karena melahirkan kontroversi, sehingga diajukan draft baru dengan isi 8 Bab & 82 Pasal.
Pro kontra ketika pembahasan RUU APP pada tahun 2006 ini, masih menimbulkan banyak kontroversi di masyarakat. Hal ini di sebabkan, bahwa isi dari pasal RUU APP masih memuat kalimat-kalimat yang ambigu. Yang masih mengandung multi tafsir, sebagaimana orang yang mendukung dan menolaknya.
Para pendukung dari RUU APP ini seperti MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir dan PKS mereka memaknai arti dari pornografi dan pornoaksi ini sesuai dengan penafsiran mereka sendiri-sendiri. MUI pernah mengatakan, bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya di simpan di museum. Namun beda lagi dengan orang-orang yang menolak RUU APP ini. Mereka mengatakan bahwa isi substansi dari RUU APP ini masih menimbulkan berbagai masalah, yang diantaranya isi substansi dari RUU APP ini masih mengandung kalimat ambigu, tidak jelas atau bahkan tidak dirumuskan secara absolut.
Pada tahun 2006, DPR RI dan Presiden memberikan pengertian dari Pornografi dan Pornoaksi yang tercantum dalam Pasal 1 yaitu:
Pornografi adalah : substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pornoaksi adalah : perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.
Kalimat mengeksploitasi seksual, erotis dan kecabulan inilah yang dianggap para penolak RUU APP masih merupakan kalimat ambigu, tidak jelas dan perumusannya tidak absolut. Pihak ini mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP ini tetapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang.
Banyak sekali yang menuduh bahwa para pendukung dari RUU APP ini adalah orang-orang yang anti multi-kulturalisme, yang hendak memaksakan standar moralitasnya kepada pihak lain. Begitu juga yang kontra terhadap RUU APP ini mereka dituduh sebagai orang-orang yang abai terhadap dekadensi moralitas bangasanya sendiri.
Pada tanggal 24 Agustus 2007, draft mengenai RUU APP ini dikirimkan dari DPR kepada Presiden dengan berisikan 10 Bab & 52 Pasal. Hal yang sangat penting yang berubah dalam draft ini adalah “Judul”. Rancangan Undang-Undang Aksi Pornografi dan Pornoaksi dirubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi (ketentuan mengenai Pornoaksi dihapuskan). Tetapi akhirnya pada definisi Pornografi, dimasukkan atau disinggung mengenai Pornoaksi lewat kata “gerak tubuh”.
Akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2008, RUU Pornografi disahkan menjadi Undang-Undang yang disepakati oleh 8 fraksi DPR. Mereka menandatangani naskah draft dan tinggal menunggu pengesahannya pada rapat paripurna. Delapan fraksi tersebut adalah F-PKS, F-PAN, F-PDIP, F-PG, F-PBR, F-PPP dan F-PKB. Sedangkan 2 fraksi yakni F-PDIP dan FPDS melakukan aksi 'walk out'. Sebelumnya, masing-masing fraksi menyampaikan pandangan akhir mereka. Hingga kemudian, mayoritas fraksi mencapai kesepakatan. "Kami dari pemerintah mewakili presiden menyambut baik diselesaikannya pembahasan RUU Pornografi," ujar Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja pansus RUU Pornografi di Gedung DPR Senayan. Mengenai Undang-Undang pada draft finalnya berisikan 8 Bab & 44 Pasal.
BAB II
PEMBAHASAN

Berbagai argumentasi para penolak RUU ini sangatlah variatif. Dari mulai mengangkat isu budaya, eksploitatif terhadap perempuan, bahkan menyangkutpautkan hal ini dengan masalah HAM. Memang, sebenarnya RUU ini masih ada hubungannya dengan ketiga-tiganya. Namun, ada ruang gerak yang membatasi RUU ini. Ada batasan-batasan yang memang seyogyanya di gunakan agar tidak menimbulkan kericuhan dalam memahami dan melaksanakan RUU ini. Ada beberapa wilayah di Indonesia yang selama ini disebut-sebut menolak dengan tegas adanya RUU tersebut. Yaitu : Bali, Batam dan Papua. Akan tetapi, hal ini tidaklah sesuai dengan kenyataan yang ada.
Jero Wijaya, salah seorang mantan DPRD Kabupaten Bali mengatakan, bahwa penolakan sejumlah elemen masyarakat Bali terhadap RUU itu tidak lebih dari ikut-ikutan. Dari apa yang dilihatnya di lapangan, Wijaya yakin tidak semua dari mereka memahami isi dan makna RUU tersebut. Mantan anggota DPRD Kabupaten Bangli itu tidak menampik, bila yang banyak bersuara di Bali saat ini memang dari kalangan yang kontra. Padahal, ia melihat masyarakat Bali sendiri terpecah ke dalam tiga sikap besar sehubungan RUU tersebut. Selain mereka yang menolak secara total dengan meminta DPR membatalkan pengesahan RUU itu, kelompok kedua adalah kalangan yang meminta revisiatas sejumlah pasal. Kelompok ketiga adalah kalangan yang mendukung secara total pemberlakuan RUU APP. Saya termasuk di antaranya,'' kata dia . Dukungan Wijaya bukan tanpa alasan. Ia mengajak masyarakat Bali tidak menutup mata akan begitu banyaknya perilaku masyarakat yang menyimpang dan dipertontonkan di depan umum. Misalnya, kata Jero Wijaya, makin lazimnya orang berciuman terbuka di ruang tunggu keberangkatan Bandara Ngurah Rai, mengenakan bikini ke pusat perbelanjaan. ''Itu jelas bukan budaya Bali'', kata dia. Bila hal seperti itu dibiarkan terus berkembang, mau tidak mau budaya Bali akan diselewengkan.
Sebagaimana warga Bali, sikap masyarakat Papua dan Batam seolah terpecah. Berlainan dengan apa yang digembar-gemborkan selama ini, ternyata kedua daerah itu menyambut positif. Alasan mereka sederhana, pornografi dan pornoaksi sudah sedemikian meracuni anak-anak Papua dan Batam. Hadirnya undang-undang diharapkan bisa mengubah citra Kota Batam. Ada beberapa hal yang perlu di cermati tentang argumentasi para penolak RUU ini. Diantaranya adalah :

1. Pemberlakuan RUU ini akan mematikan budaya dan pariwisata
Ditinjau dari keragaman budaya bangsa Indonesia, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sangat potensial dapat menghancurkan budaya-budaya lokal dan pariwisata di berbagai daerah yang sampai saat ini masih eksis dan dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, pariwisata macam apa yang bisa tersingkir jika undang-undang anti pornografi dan pornoaksi diberlakukan? Tentu pariwisata yang menawarkan pornografi dan pornoaksi! Dalam tataran Kapitalisme, industri semacam ini memang dianggap absah dan bahkan dianggap sebagai bagian dari
kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberikan keuntungan yang sangat besar.
Akan tetapi, dalam konteks kemanusiaan dan kemasyarakatan,
keberadaannya tentu sangat merugikan masyarakat, seperti menimbulkan eksploitasi kemanusiaan yang berdampak pada merebaknya children and women
trafficking dan menghasilkan dampak lanjutan berupa merebaknya penyakit-penyakit sosial dan seksual semacam AIDS dan lain-lain. Semua ini dalam jangka
panjang bisa menghancurkan keberadaan generasi mendatang. Jika demikian faktanya, masih layakkah industri kemesuman dipertahankan, sementara kita memiliki sekian banyak potensi pariwisata yang layak jual dan
bisa dikembangkan, seperti keindahan panorama alam, keragaman dan kelezatan makanan, dan lain-lain.

2. Pemberlakuan RUU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan berekspresi(melanggar HAM).
Para penolak RUU APP ini mengatakan bahwa dengan dibahasnya RUU APP ini akan memasung dan melanggar kebebasan berekspresi, atau kata lain adalah melanggar HAM.Ketika kata seni di artikan sebagai hasil cipta karsa budi manusia dan kreatif dalam berkesenian, apakah eksploitasi ketelanjangan dan erotisme atas nama seni sejalan dengan keluhuran budi manusia dan di akui sebagai sebuah karya inovatif, bahkan menjadi standar kreativitas dalam berkesenian dan berkebudayaan. Kalau demikian halnya, maka hal ini sangatlah naif. Kreativitas dalam bidang seni dan budaya tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, tetap saja keduanya harus diarahkan, jangan sampai dengan dalih kreativitas lantas hasil-hasil kesenian dan budaya malah merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang senyatanya sudah jatuh ke kubangan krisis. Bukankah tidak bisa dibantah jika ketelanjangan dan erotisme-yang mereka klaim sebagai produk seni bebas nilai yang selama ini bebas terjaja di pinggir-pinggir jalan, bahkan sudah menerobos masuk ke setiap rumah melalui media tv, telah menginspirasi maraknya dekadensi moral di masyarakat.
Mungkin kalau kita lihat dari kaca mata hukum hak asasi manusia, hal ini memang melanggar hak asasi manusia. Akan tetapi, kita sebagai seorang pendidik generasi muda dan yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sangatlah sulit untuk menerimanya. Bukan saja pornografi tidak mencerminkan budaya bangsa, tetapi juga karena pornografi dibaca, ditonton dan disimak pula oleh anak-anak di bawah umur yang belum dapat memberikan penilaian baik dan buruk. Selain itu, semua orang tahu bahwa sebagian pelaku pornografi, dalam hal ini kaum industrialis yang bergerak di bidang media massa, tidak mempertimbangkan nilai dan moral agama dalam menjalankan bisnisnya. Tujuan utama mereka adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya meski harus merusak moral satu generasi. Kita semua ingin maju, kita semua ingin sederajat dengan bangsa dan negara lain, namun demikian, tidak berarti kita harus mengabaikan bahasa moral karena nilai moral mampu membuat tingkah laku yang menjamin setiap individu agar tidak terjerumus ke dalam dekadensi moral.
Selain itu, segala upaya pembaruan yang mengabaikan nilai-nilai moral, bukannya mewujudkan peradaban yang bermartabat, justru akan membawa kehancuran peradaban manusia. Terbukti dalam sejarah bahwa kehancuran suatu bangsa selalu diawali oleh kehancuran moral dari bangsa tersebut, sebaliknya, kemajuan suatu bangsa selalu diawali dengan tumbuh dan berkembangnya moral bangsa tersebut. Demikian kesimpulan dari penelitian Zaki Najib Mahmud, pakar filsafat Mesir kontemporer.
Dalam Deklarasi Universal HAM, tepatnya pada Pasal 39 dituliskan bahwa “Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh hukum dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang-orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Dari Pasal 39 di atas dapat dipahami bahwa kebebasan dalam melaksanakan dan menuntut hak sesungguhnya memiliki beberapa rambu yang harus ditaati, dan salah satu dari rambu itu adalah memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan hak harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Jika RUU ini melanggar HAM, maka mereka juga telah melanggar HAM. Karena mereka telah menginjak-injak nilai-nilai moral.

3. UU APP akan mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan
Menurut mereka, UU ini dibuat dengan paradigma yang bertumpu pada sudut pandang kepentingan laki-laki (bias jender) dan pada saat yang sama melanggar integritas tubuh perempuan, karena menganggap perempuan sebagai obyek yang harus diatur. UU ini juga dipandang berpotensi melahirkan kekerasan baru dan bersifat represif. Sebab, selain yang akan menjadi korban adalah kebanyakan perempuan, penerapannya juga akan menghancurkan budaya masyarakat. Mereka mencontohkan, pada kasus tertentu, penerapan pasal-pasal pornoaksi yang antara lain memuat pelarangan memperlihatkan payudara atau pantat di tempat umum ditengarai akan banyak menjerat kaum perempuan sebagai pelaku kriminal, karena tidak sedikit dari mereka yang terbiasa menyusui anaknya di muka umum, mandi di sungai, berpakaian ketat dan 'terbatas', dan lain-lain.
Sesungguhnya, persoalan pornografi dan pornoaksi tidak bisa dipandang secara parsial, karena keduanya melibatkan banyak unsur, termasuk laki-laki dan perempuan. Pada kedua kasus ini kedua-duanya bisa bertindak sebagai pelaku sekaligus korban. Karena itu, keduanya sebenarnya berkepentingan untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan problem bersama ini. Adapun ketika faktanya perempuan yang seolah banyak diatur, karena fakta pula yang menunjukkan bahwa sensualitas perempuanlah yang sering memicu perilaku amoral, sekalipun tentu tak bisa dilepaskan dari faktor cara pandang laki-laki atas sensualitas perempuan. Adapun apa yang mereka sebut dengan budaya dan ekspresi masyarakat yang manusiawi seperti kebiasaan menyusui dan mandi di tempat umum, berpakaian ketat dan serba terbatas, dan lain-lain merupakan kebiasaan yang selayaknya diubah, sekalipun untuk itu negara harus menanggung konsekuensi berupa upaya penyadaran terus-menerus dan menyediakan berbagai infrastruktur yang memungkinkan masyarakat tersebut mengubah kebiasaan-kebiasaan 'buruknya' menjadi lebih baik.

4. Pemberlakuan RUU APP tidak mendidik masyarakat
Karena masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekedar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat diterapkannya hukum, bukan atas kesadaran pribadi. Argumentasi ini jelas mengada-ada. Sebab, jika logika ini dipakai, negara tidak perlu mengatur apapun untuk meraih kemaslahatan masyarakat. Tidak perlu ada undang-undang yang mengatur tindak pidana/kriminalitas, undang-undang anti korupsi, undang-undang anti narkoba, peraturan lalu-lintas dan lain-lain. Biarkan saja masyarakat dengan kesadarannya sendiri memilih untuk tidak melakukan tindak kriminal, korupsi, menggunakan narkoba dan lain-lain.
Faktanya, hal ini tidak mungkin, bukan? Pada kasus pornografi-pornoaksi, diakui bahwa dampak keduanya sudah sangat memprihatinkan. Karena itu, mau tidak mau, memang harus ada perangkat hukum yang berfungsi menekan tindak pornografi dan pornoaksi berikut berbagai dampak yang ditimbulkannya. Bahwa proses penyadaran adalah penting memang tidak bisa dibantah. Bahkan tanpa kesadaran masyarakat, hukum sebagus apapun tidak akan ada artinya. Akan tetapi, keberadaan perangkat hukum di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang menyangkut sanksi atas pelanggarannya, juga tidak dapat diabaikan. Sebab, salah satu fungsi hukum atau undang-undang-di samping untuk merekayasa masyarakat-adalah juga untuk mendidik dan membentuk kesadaran masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermoral mana yang tidak, dan seterusnya.
5. UU APP mencerminkan tirani mayoritas atas minoritas
Tudingan ini sebenarnya dipicu oleh kenyataan bahwa mayoritas desakan terhadap pemberlakuan RUU APP datang dari umat Islam, sekalipun jika RUU APP dan revisinya dicermati, sebenarnya sama sekali tidak mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari Islam. Adapun bahwa Islam anti pornografi dan pornoaksi, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih bahwa UU APP adalah islamisasi, karena senyatanya agama samawi manapun menganggap pornografi dan pornoaksi sebagai perbuatan terkutuk. Kalaupun, misalnya, spirit dan materi UU APP ini memang mengadopsi hukum-hukum Islam secara utuh, juga tidak perlu muncul kekhawatiran akan terjadinya tirani tirani Islam atas non-Islam. Sebab, syariat Islam justru untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan. (Lihat: QS al-Anbiya [21]: 107). Dengan demikian, alasan ini sebenarnya muncul bukan semata-mata untuk menolak UU APP, melainkan lebih merupakan upaya stigmatisasi untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim di tengah maraknya wacana mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan.
BAB III
PENUTUP

A.Simpulan
Dari pemaparan pada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan mengapa RUU APP tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat. Alasan tersebut antara lain adalah :
1.Pemberlakuan RUU ini akan mematikan budaya dan pariwisata
2.UU APP mencerminkan tirani mayoritas atas minoritas
3.Pemberlakuan RUU APP tidak mendidik masyarakat
4.Pemberlakuan RUU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan berekspresi(melanggar HAM).
5.UU APP akan mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan

B. Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kemajuan karya penulis di masa mendatang.
Semoga makalah yang penulis paparkan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Ats-Tsaqafah dan Zaki Najib Muhammad, Philosophy of Science, Cairo : Dar el-Shoruq, 2000
Fuady, Munir. Sosiologi Hukum Kontemporer (Interaksi Hukum, Kekuasaan dan Masyarakat). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
Djamali, Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan VI. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Cetakan IV. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
http://www.republika.co.id. 16 Januari 2010
http://www.prajuritkecil.multiply.com/reviews/item/68. 16 Januari 2010
htttp://www.docstoc.com/01524357124/HAK-ASASI-MANUSIA. 16 Januari 2010