Jumat, 18 September 2009

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALU NO. 85/PDTG/2008/PN PALU TANGGAL 26 AGUSTUS 2009

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALU NO. 85/PDTG/2008/PN PALU
TANGGAL 26 AGUSTUS 2009

Oleh : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A.Pendahuluan
Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah. Putusan dimaksud, dimuat di Radar Sulteng, Mercusuar, dan Nuangsa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009. Putusan dimaksud, melahirkan Pro dan Kontra sehingga penulis merasa perlu memberi komentar mengenai putusan dimaksud.
Hj Aisyah merupakan Isteri dari H. Mubin Radjadewa yang meninggal sekitar tahun 2000 dan meninggalkan Ahli waris di antaranya: seorang Suami (H. Mubin Radjadewa) dan 4 (empat) orang anak, yaitu: Faazil, Ridwan, Syarif, dan Faradiba. Selain itu, ia meninggalkan sejumlah harta warisan.
Budaya hukum masyarakat yang mendiami wilayah sulawesi Tengah dalam hal pembagian harta warisan terdiri atas 4 (empat) bentuk, yaitu: (1) Pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) Pembagian harta warisan melalui Tokoh adat/Tokoh Agama atau melalui Notaris, (3) Pembagian harta warisan melalui Pengadilan Agama, dan (4) pembagian harta warisan melalui pengadilan negeri. Budaya hukum dimaksud, berjalan ratusan Tahun dalam masyarakat yang mendiami Sulawesi Tengah kecuali poin 2. Poin 2 dimaksud, sesuai kondisi masyarakat, yaitu terkadang para ahli waris itu meminta bantuan kepada Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Notaris dalam menyelesaikan pembagian harta warisannya. Keberadaan Notaris itu terkadang menggantikan posisi tokoh Adat dan Tokoh Agama sesuai kondisi pengetahuan Ahli waris yang pantas dimintai bantuan untuk membagi harta warisannya.
B. Pembahasan
Perilaku hakim melalui Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah menyalahi budaya hukum (legal culture). Budaya hukum dimaksud, para ahli waris sudah sepakat mengenai bagian ahli waris: yaitu Syarif dan Paradiba. Harta dimaksud, merupakan bagian harta warisan dari ibunya (Hj. Aisyah). Karena itu, Syarif dan Paradiba mendatangi Notaris untuk dibuatkan Akta Notaris tentang hartanya sehingga lahir Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan.
Pembatalan Akta Notaris dimaksud, tidak menghayati sejarah hukum lahirnya Akta Notaris dimaksud pada tahun 2001, tidak menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di zaman itu, melainkan putusan hakim itu hanya semata-mata mempertimbangkan Gugatan Penggugat kepada para tergugat di antaranya Pembuat Akta Notaris. Putusan hakim yang seperti inilah yang biasa melahirkan pro dan kontra dalam masyarakat yang kemudian melahirkan konflik diantara para ahli waris.
Obyek masalah dalam pembatalan Akta Notaris dimaksud, adalah harta peninggalan Hj. Aisyah yang menjadi harta warisan kepada sejumlah orang yang menjadi ahli waris. Orang-orang yang menjadi ahli waris dimaksud, hanya dua sebab, yaitu melalui ikatan perkawinan dan melalui hubungan nasab (darah). Akte Notaris No. 42 tahun 2001 berkenaan hak milik anak kandung sebagai ahli waris. Karena itu, Para hakim yang memutus perkara dimaksud, masih perlu membaca buku-buku yang berkenaan hukum waris di antaranya Pelaksanaan hukum waris di Indonesia, terbitan Sinar Grafika tahun 2008.
Selain itu, penulis mengemukakan bahwa Penggugat semestinya melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1.Membuat permohonan penetapan ahli waris Hj. Aisyah ke Pengadilan Agama ;
2.Berdasarkan permohonan penetapan ahli waris dimaksud, maka Suami mendapat ¼ dari harta warisan Isterinya, dan 4 (empat) orang anak mendapat bagian 2/3 dari harta warisan ibunya dengan perimbangan anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian.
3.Kalau masih hidup orangtua Hj. Aisyah maka ia mendapat 1/6 bagian harta warisan

C. Penutup
1.Putusan hakim yang menyalahi budaya hukum (legal culture) dalam masyarakat yang berkenaan harta warisan akan melahirkan pro dan kontra yang dapat mengakibatkan konflik di antara ahli waris.
2.Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Notaris hanya membantu penyelesaian pembagian harta warisan dalam sejarah hukum sehingga tidak pantas menjadi tergugat.

EFEKTIVITAS PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM MASYARAKAT

EFEKTIVITAS PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM MASYARAKAT
Oleh : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA
A. Pengantar

Ketika pelaksanaan berbagai pemberantas tindak pidana kejahatan yang marak dari segi jenis, kuantitas dan kualitas termasuk masalah teroris, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum dan efektivitas peraturan peundang-undangan termasuk peraturan Daerah di Indonesia. Berbagai media massa memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Mafia peradilan marak dituduhkan karena putusan badan peradilan dapat diatur. Hukum seolah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
Tidaklah berlebihan kalau berbagai elemen dan kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis, mencemooh dan dalam keadaan tertentu kerap melakuan proses pengadilan jalanan (street justice).
Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, “mengapa hukum tidak efektif?; mengapa hukum sulit ditegakkan?” Bahkan lebih sadis lagi ketika masyarakat bertanya “apakah hukum di Indonesia sudah mati?” Masyarakat seolah tidak dapat memahami mengapa hukum tidak dapat berfungsi (dysfunction) sebagaimana yang diharapkan oleh negara yang berdasar atas hukum.
Keprihatian masyarakat atas penegakan hukum memunculkan sejumlah analisa dan lontaran ide bagi perbaikan. Analisa dan lontaran ide ini dianggap sahih bila disampaikan oleh mereka yang berlatar belakang ilmu hukum. Alasannya adalah penegakan hukum terkait dengan ilmu hukum. Namun, bila bicara jujur, di berbagai fakultas hukum tidak ada mata kuliah yang secara spesifik membahas penegakan hukum. Adalah tidak benar bila masalah penegakan hukum merupakan domain hukum pidana. Bahkan berbagai cabang ilmu hukum tidak akan memadai untuk menjawab serangkaian problem nyata keberlakuan hukum di tengah-tengah masyarakat. Kalaupun ada mata kuliah sosiologi, sosiologi hukum, antropologi atau antropologi hukum, berbagai mata kuliah tersebut tidak membahas secara spesifik bagaimana berlakunya hukum di negara yang sedang membangun. Pendeknya, pengetahuan hukum tingkat sarjana yang diperoleh di fakultas hukum tidak dirancang untuk membuat para lulusannya ahli dalam kajian yang berhubungan dengan berlakunya hukum di masyarakat, lebih khusus berlakunya hukum di negara yang sedang membangun.
Pembicaraan pada pertemuan ini, pembicara membahas masalah Efektivitas Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan dalam masyarakat. Efektivitas hukum berkaitan dengan penegakan hukum. Hal dimaksud merupakan salah satu sub judul dalam materi kuliah sosiologi Hukum, baik pendidikan hukum di S1 maupun pendidikan hukum di S2.
Dalam konteks demikian, kajian ini difokuskan pada: (1) efektivitas hukum, (2) beberapa permasalahan mendasar dari penegakan hukum di Indonesia, dan (3) Penawaran penyelesaian Problem penegakan hukum.
B. Efektifitas Hukum
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerjanya hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu: berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu: (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; dan (4) kesadaran hukum masyarakat. Hal itu akan diuraikan secara berurut sebagai berikut.
1. Kaidah Hukum
Di dalam teori-teori ilmu hukum ditemukan bahwa suatu peraturan Daerah atau Peraturan perundang-undangan dianggap baik bila kaidah hukumnya memenuhi tiga unsur sebagai berikut.
a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan;
b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat dan /atau hukum itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa kepada warga masyarakat (teori kekuasaan);
c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai hukum positif yang tertinggi
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke tiga macam unsur kaidah di atas, sebab: (1) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum).
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak betapa rumitnya persoalan efektivitas hukum di Indonesia. Sebab, suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada ketiga faktor yang telah disebutkan.
2. Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman di antaranya: peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi permasalahan, yaitu: (a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada ?; (b) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?; (c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat ?; (d) Sampai sejauh manakah derajat singkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya ?.
Berdasarkan keterangan singkat di atas, bahwa faktor petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila peraturannya buruk; sedangkan kualitas petugas baik, maka mungkin pula timbul masalah-masalah.
3. Sarana/Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud, sudah ada, maka faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi, bahwa suatu peraturan sudah difungsikan padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya bahwa ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) Apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfung-si; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; dan (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
4. Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Warga masyarakat dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan: Derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu lintas adalah tinggi, maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Karena itu, bila rambu-rambu lalu lintas warna kuning menyala maka para pengemudi diharapkan pelan-pelan. Namun, bila terjadi sebaliknya, yaitu semakin melaju kendaraan yang dikemudikan atau tancap gas maka besar kemungkinannya akan terjadi tabrakan.
Berdasarkan contoh di atas, persoalannya adalah: (1) apabila peraturan baik; sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkannya?; (2) apabila peraturan baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan ?.
Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum (agama, dan adat-istiadat), semakin kecil peran hukum. Karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, karenanya seyogianya kalau masih ada sarana lain yang ampuh maka hendaknya hukum dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Namun, untuk mengakhiri pembahasan ini, perlu diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masya-rakat terhadap hukum, yaitu: (1) penyuluhan hukum yang teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan terarah.
C. Pentingnya Penegakan Hukum dalam Masyarakat Indonesia
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Dalam konteks demikian masyarakat Indonesia masih dalam taraf masyarakat yang ’takut’ pada (aparat penegak) hukum dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang ’taat’ pada hukum. Pada masyarakatyang takut pada hukum, masyarakat tidak akan tunduk pada hukum bila penegakan hukum lemah, inkonsisten dan tidak dapat dipercaya. Oleh karenanya penegakan hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia sangat diperlukan.
Ada dua ilustrasi sederhana yang dapat dikemukakan untuk membedakan masyarakat yang taat pada hukum dengan masyarakat yang takut pada hukum terkait dengan masalah lalu lintas.
Pertama, sikap pengendara terhadap lampu lalu lintas (yang merupakan wujud paling kongkrit dari hukum) di jalan raya pada saat jam menunjukkan pukul satu pagi. Bila lampu lalu lintas menyala merah dan pengendara berhenti maka pengendara tersebut dikategorikan sebagai individu yang taat pada hukum. Namun bila pengendara tersebut tidak berhenti meskipun ia tahu tidak ada ancaman apapun maka pengendara tersebut dikategorikan sebagai individu yang takut pada hukum.
Pengendara dikategorikan sebagai takut pada hukum karena ia tahu di pagi buta tidak akan ada polisi lalu lintas yang akan menegakkan aturan lalu lintas, paling tidak kekhawatiran akan ’denda damai’ saat melanggar. Bagi pengendara yagn takut dengan hukum, lampu lalu lintas dipersepsikan bukan hukum yang harus ditaati melainkan sekedar benda mati.
Ilustrasi kedua terkait dengan kewajiban menggunakan sabuk keselamatan. Dalam UU Lalu Lintas yang diundangkan pada tahun 1992 terdapat ketentuan tentang penggunaan sabuk keselamatan. Namun dalam kenyataannya di Jakarta baru pada tahun 2004 polisi lalu lintas menegakkan aturan ini sehingga masyarakat menggunakan sabuk keselamatan.
Menjadi pertanyaan apakah sikap masyarakat menggunakan sabuk keselamatan karena taat pada UU Lalu Lintas ataukah karena takut pada polisi lalu lintas, bahkan takut akan mahalnya denda damai yang akan dikenakan? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya yang terakhir.
Dua ilustrasi di atas merupakan cermin dari sikap kebanyakan individu di Indonesia. Masyarakat yang takut pada hukum, bukan masyarakat yang patuh pada hukum.
Patuh pada hukum bukanlah tataran yang tertinggi. Tataran tertinggi adalah bila setiap individu dalam masyarakat bersikap dibawah alam sadarnya sesuai dengan tujuan hukum. Disini hukum terinternalisasi dalam perilaku individu.
Misalnya saja seorang warga negara Inggris yang datang ke Indonesia akan segera menggunakan sabuk keselamatan bila masuk mobil dan menempati tempat duduk disamping pengemudi. Ia menggunakan sabuk keselamatan bukan lantaran takut dengan polisi lalu lintas, bukan juga karena dia tahu bahwa ada ketentuan yang mewajibkan. Ia menggunakan sabuk keselamatan karena ia tahu tujuannya, disamping sudah terbiasa.
Sayang pada saat ini masyarakat Indonesia masih jauh untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat dimana hukum telah terinternalisasi dalam sikap individu. Bila masyarakat demikian terwujud, penegakan hukum tidak perlu dilakukan setiap saat dan di setiap sudut.
Realitas saat ini adalah penegakan hukum berfungsi dan difungsikan sebagai instrumen untuk membuat masyarakat takut pada hukum yang pada gilirannya diharapkan masyarakat menjadi tunduk pada hukum. Hanya saja penegakan hukum sebagai instrumen telah dihinggapi berbagai problem yang akut. Problem inilah yang menyebabkan penegakan hukum menjadi lemah dan pada gilirannya hukum dipersepsikan sebagai telah mati.
D. Problem Penegakan Hukum
Di Indonesia, secara tradisional institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan Advokat. Di luar institusi tersebut masih ada, diantaranya, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Imigrasi.
Problem dalam penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia perlu untuk dipotret dan dipetakan. Tujuannya agar para pengambil kebijakan dapat mengupayakan jalan keluar. Berikut adalah sejumlah problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia yang sebenarnya telah banyak disampaikan oleh para ahli, pakar, birokrat di berbagai forum.
1. Problem pada Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
Sulitnya penegakan hukum di Indonesia berawal sejak peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan daerah yang dibuat. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pernyataan ini.
Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan atau tidak. Pembuat peraturan perundang-undangan sadar ataupun tidak telah mengambil asumsi aturan yang dibuat akan dengan sendirinya dapat berjalan, baik peraturan daerah maupun Undang-undang. Di tingkat nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain. Kerap UU dibuat dengan merujuk pada kondisi penegakan hukum di Jakarta atau kota besar. Konsekuensinya UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di Indonesia dan bahkan menjadi UU mati. Misalnya: setiap pengendara sepeda motor harus menyalakan lampu dan ini diperlakukan di seluruh wilayah Indonesia. Padahal sampel aturan itu untuk dibuat diambil di Kota-kota besar.
Keadaan diperparah karena dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tidak diperhatikan infrastruktur hukum yang berbeda di berbagai wilayah di Indonesia. Padahal infrastruktur hukum dalam penegakan hukum sangat penting. Tanpa infrastuktur hukum yang memadai tidak mungkin peraturan perundang-undangan ditegakkan seperti yang diharapkan oleh pembuat peraturan perudang-undangan.
Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dari elit politik, negara asing maupun lembaga keuangan internasional. Disini peraturan perundang-undangan dianggap sebagai komoditas.
Elit politik dapat menentukan agar suatu peraturan perundang-undangan dibuat, bukan karena kebutuhan masyarakat, melainkan agar Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang sebanding (comparable) dengan negara industri. Sementara negara asing ataupun lembaga keuangan internasional dapat meminta Indonesia membuat peraturan perundang-undangan tertentu sebagai syarat Indonesia mendapatkan pinjaman atau hibah luar negeri.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang memperhatikan isu penegakan hukum. Sepanjang trade off dari pembuatan peraturan perundang-undangan telah didapat maka penegakan hukum bukan hal penting. Bahkan peraturan perundang-undangan seperti ini tidak realistis untuk ditegakkan karena dibuat dengan cara mengadopsi langsung peraturan perundang-undangan dari negara lain yang notabene memiliki infrastruktur hukum yang jauh berbeda dengan Indoensia.
Dua alasan diatas mengindikasikan peraturan perundang-undangan sejak awal dilahirkan tanpa ada keinginan kuat untuk dapat ditegakkan dan karenanya hanya memiliki makna simbolik (symbolic meaning).
2. Masyarakat Pencari Kemenangan bukan Keadilan
Masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar bila mereka berhadapan dengan proses hukum akan melakukan berbagai upaya agar tidak dikalahkan atau terhindar dari hukuman. Kenyataan ini mengindikasikan masyarakat di Indonesia sebagai masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan. Sebagai pencari kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan, baik yang sah maupun yang tidak, semata-mata untuk mendapat kemenangan.
Tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman.
Tipologi masyarakat seperti ini tentunya berpengaruh secara signifikan terhadap lemahnya penegakan hukum. Hukum tidak bisa tegak selama masyarakat mencari kemenangan.
3. Uang yang mewarnai Penegakan Hukum
Problem selanjutnya sebagai penyebab lemahnya penegakan hukum adalah pengaruh uang. Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap.
Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan penyidikan perkara. Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan oleh penuntut umum. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada seberapa berat tuntutan yang akan dikenakan.
Di institusi peradilan dari yang terendah hingga tertinggi, uang berpengaruh pada putusan yang akan diterbitkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa. Bila terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang, hukuman bisa diatur agar serendah dan seringan mungkin. Bahkan di lembaga pemasyarakatan uang juga berpengaruh. Bagi mereka yang memiliki uang maka akan mendapat perlakuan yang lebih baik dan manusiawi.
Gambaran diatas menunjukan sudut-sudut dimana uang bisa berpengaruh pada proses penegakan hukum. Bahkan penegakan hukum yang terkena pengaruh uang dapat diperluas ke wilayah keimigrasian, kepabeaanan, perpajakan dan lain sebagainya.
4. Penegakan Hukum sebagai Komoditas Politik
Penegakan hukum di Indonesia telah menjadi komoditas politik meskipun belakangan ini semakin berkurang intensitasnya. Pada masa pemerintahan Soeharto penegakan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum bisa diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum.
Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan kekuatan pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi penegakan hukum akan dibuat lemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit politik yang menjadi pesakitan.
Penegakan hukum sebagai komoditas politik ini menjadi sumber tidak dipercayanya penegakan hukum di Indonesia.
5. Penegakan Hukum yang Diskriminatif
Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah penegakan hukum dilakukan diskriminatif. Tersangka koruptor dan tersangka pencuri sandal akan mendapat perlakuan dan sanksi yang berbeda. Tersangka yang mempunyai status sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakat akan diperlakukan secara istimewa.
Penegakan hukum seolah hanya berpihak pada si kaya tetapi tidak pada si miskin. Bahkan hukum berpihak pada mereka yang memiliki jabatan dan koneksi dari para pejabat hukum atau akses terhadap keadilan.
Ini semua karena mentalitas aparat penegak hukum yang lebih melihat kedudukan seseorang di masyarakat atau status sosialnya daripada apa yang diperbuat oleh orang yang menghadapi proses hukum.
Belum lagi dalam mentalitas aparat penegak hukum ada perasaan ewuh pakewuh terhadap mereka yang memiliki pangkat dan jabatan. Status sosial seolah menjadi penting bagi mereka yang menghadapi proses hukum. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi rasa sungkan dari aparat penegak hukum.
Sebaliknya semakin seseorang memiliki status sosial yang rendah semakin mudah aparat penegak hukum melakukan tindakan tidak terpuji, seperti pemukulan atau diperbolehkannya penayangan muka dan pengakuan di depan kamera televisi. Bahkan dalam proses tertangkapnya penjahat kelas teri polisi kerap membiarkan penjahat untuk dipukuli oleh masyarakat. Setelah babak belur, baru polisi mengambil tindakan melindungi.

6. Lemahnya Kualitas dan Integritas Sumber Daya Manusia
Di awal kemerdekaan institusi hukum, terutama Badan Peradilan dan Kejaksaan diisi oleh sumber daya manusia yang terbaik kala itu. Tidak sedikit dari hakim ataupun jaksa menjadi guru besar di berbagai fakultas hukum universitas ternama. Profesi hakim dan jaksa sangat dihormati. Penghasilan profesi hakim dan jaksa ketika itu, sangat baik bila dibandingkan dengan advokat. Para hakim ataupun jaksa dalam masa aktifnya tidak akan menyeberang menjadi advokat kecuali bila mereka sudah pensiun.
Namun pada tahun 1970-an, setelah dibukanya investasi asing, dunia keadvokatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Berbagai kantor hukum bermunculan yang tidak hanya menangani perkara-perkara di hadapan pengadilan tetapi membantu klien dalam merancang kontrak. Kantor hukum dimaksud, mirip dengan kantor hukum yang ada di Amerika Serikat. Bahkan cara pembayaran fee tidak jauh berbeda. Pengenaan fee juga sama, dalam bentuk dolar dengan tarif yang sama dengan para advokat di Amerika Serikat.
Kompensasi yang didapat sebagai advokat jauh melebihi hakim dan jaksa. Pendapatan mereka yang baru lulus untuk menjadi advokat dapat 5 kali lipat dari seorang hakim ataupun jaksa yang telah berkarir 10 tahun. Dalam suatu penelitian, fresh graduate sarjana hukum yang memilih profesi sebagai advokat mendapatkan kompensasi sekitar Rp. 2 – 7 juta/bulan, bila pengalaman kurang dari 5 tahun sebesar Rp. 8-14 juta, sedangkan yang menduduki jabatan senior lawyer mendapat kompensasi Rp. 15-30 juta.
Akibatnya, para lulusan terbaik dari universitas ternama cenderung ingin menjadi advokat dan menjauhkan diri dari profesi hakim dan jaksa. Hal ini berarti banyak sumber daya manusia yang baik dan memiliki integritas lebih memilih bekerja di sektor swasta. Sementara sumber daya manusia yang biasa-biasa dari segi kemampuan dan integritas akan memasuki sektor publik. Keengganan para lulusan terbaik dari universitas ternama juga dikarenakan proses rekrutmen terindikasi suap dan korupsi. Kalaupun ada mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka yang mau memilih karir sebagai hakim ataupun jaksa, pilihan tersebut lebih karena alasan idealisme, profesi yang turun menurun dan kenyataan tidak diterima di kantor hukum ternama.
Bila sektor publik gagal menarik para individu yang memiliki ilmu dan integritas, bahkan rekrutmen terindikasi suap dan korupsi maka penegakan hukum akan terus lemah dan akan terus terlanggengkan peranan uang dalam penegakan hukum. Ini semua akan bermuara pada peluang terjadinya mafia peradilan.
7. Advokat Tahu Hukum versus Advokat Tahu Koneksi
Dunia advokat pun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum. Dalam dunia advokat menurut Amir Syamsudin dapat dibedakan antara advokat yang idiil dan advokat yang nekat. Istilah lain bisa digunakan yaitu advokat yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim, jaksa, polisi, pendeknya advokat yang memiliki koneksi.
Mengingat tipologi masyarakat di Indonesia sebagai pencari kemenangan maka bila berhadapan dengan hukum mereka lebih suka dengan advokat yang tahu koneksi daripada advokat yang tahu hukum. Ini karena mereka ingin menang dan tidak ingin memperoleh keadilan. Dalam kondisi seperti ini menang perkara bisa ditentukan siapa yang dikenal di jajaran pejabat penegak hukum.
Advokat yang tahu koneksi kerap menjadi makelar perkara. Bahkan mereka berani menjanjikan kemenangan bila klien bersedia memberi sejumlah uang yang menurutnya untuk para aparat penegak hukum. Advokat yang tahu koneksi tidak jarang membuat jaringan dilingkungan Kepolisian, Kejaksaan hingga Badan Peradilan.
Kadang advokat yang merangkap sebagai makelar perkara demikian tidak memiliki etika sama sekali. Untuk kepentingannya sendiri ia berani menjual nama para pejabat hukum untuk mendapat uang dari klien. Padahal para pejabat hukum sama sekali tidak memintanya.
Tidak heran bila pejabat penegak hukum bersih pun akhirnya terindikasi menerima suap ataupun terlibat dalam korupsi. Dalam berita di media massa terungkap pencari keadilan yang melempar jaksa dengan sepatu atau mengadu kepada pers karena merasa telah memberi sejumlah uang kepada hakim namun hakim tetap memutus hukuman yang berat. Dalam kasus seperti ini bisa jadi advokatlah yang bermain ditengah-tengah ketidaktahuan hakim dan pencari keadilan.
Advokat dan para makelar kasus pun kerap melakukan pembinaan terhadap para aparat penegak hukum dalam jangka panjang. Hubungan baik dijalin, bahkan mereka bersedia untuk menyekolahkan dan menyiapkan kebutuhan yang tidak terkait langsung dengan perkara. Ini dilakukan sehingga aparat penegak hukum memiliki ketergantungan. Ketergantungan inilah pada suatu saat akan dimanfaatkan.
8. Keterbatasan Anggaran
Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah keterbatasan anggaran. Penganggaran bagi infrastruktur hukum oleh negara tidak dialokasikan secara memadai.
Insitusi pengadilan yang seharusnya menunjukkan kewibawaan melalui bangunannya masih banyak yang memprihatinkan, bahkan dalam ukuran yang tidak sebanding dengan ke-angkeran-nya. Ruang-ruang sidang jauh dari kesan nyaman sehingga tidak memungkinkan orang mengikuti secara cermat proses persidangan.
Lebih menyedihkan lagi para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus menggunakan peraturan perundang-undangan yang mereka beli sendiri. Padahal peraturan perundang-undangan ini seharusnya merupakan kewajiban dan disediakan oleh negara. Perpustakaan di kebanyakan pengadilan sangat miskin literatur sehingga tidak mungkin dijadikan rujukan untuk membuat putusan hakim.
Pengalokasian anggaran bagi polisi dan jaksa dalam menangani suatu kasus jauh dari memadai. Padahal kasus yang harus dipecahkan atau disiapkan untuk dituntut sangat kompleks.
Dalam kondisi keterbatasan anggaran, kerap pihak yang melapor kejahatan justru harus mengeluarkan biaya. Tidak heran bila ada anekdot seorang yang kehilangan kambing bila melapor ke polisi dapat kehilangan nilai harga sapi.
Keterbatasan anggaran kerap disiasati oleh aparat penegak hukum. Polisi lalu lintas, misalnya, untuk menyiasati keterbatasan anggaran menggunakan patung polisi ataupun gambar mobil polisi pada sebuah tripleks. Ini karena negara belum dapat menganggarkan personil polisi atau mobil polisi yang bertugas selama dua puluh empat jam. Patung dan gambar polisi berfungsi sebagai alat untuk menakut-nakuti pengendara yang bermental takut pada hukum.
Pendeknya keterbatasan anggaran telah membuat penegakan hukum lemah, tidak efektif dan kurang bergigi.
9. Penegakan Hukum yang Dipicu oleh Media Massa
Dalam beberapa tahun terakhir masalah penegakan hukum mendapat tempat tersendiri di berbagai media massa. Penegakan hukum yang diberitakan pun tidak yang umum-umum, melainkan penegakan hukum yang melibatkan orang yang menjabat di institusi hukum.
Disadari ataupun tidak penegakan hukum di Indonesia belakangan ini telah memasuki situasi yang dipicu oleh pers (press driven law enforcement). Penegakan hukum yang disorot oleh pers tentu sangat positif karena penegakan hukum akan secara serius dilakukan. Mungkin saja tanpa ditempatkan sebagai berita utama berbagai penegakan hukum akan dilakukan biasa-biasa saja.
Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah dampak sesaatnya. Timbul tenggelamnya penegakan hukum terhadap suatu kasus seolah bergantung pada media massa. Bila media massa mau menempatkan suatu kasus pada berita utama dan berhari-hari maka institusi hukum akan bekerja secara cepat dan responsif. Namun bila kasus yang sama surut diberitakan di media massa maka surutlah penegakan hukum oleh berbagai institusi hukum. merupakan kewajiban dan disediakan oleh negara. Perpustakaan di kebanyakan pengadilan sangat miskin literatur sehingga tidak mungkin dijadikan rujukan untuk membuat putusan hakim.
E. Fundamen bagi Solusi Pembenahan
Setelah dipaparkan berbagai problem penegakan hukum di Indonesia, tibalah saatnya untuk menawarkan solusi. Secara faktual telah banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak dan kalangan. Bahkan, berbagai solusi tersebut telah diakomodasi sebagai kebijakan oleh pemerintah. Hanya saja solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif dan hanya memadai untuk sesaat. Kelemahan lain adalah solusi yang diberikan tidak terlalu memperhatikan konsekuensi ikutan. Bahkan solusi diberikan sekedar untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Pada akhirnya berbagai solusi yang dilontarkan dan telah diadopsi bukanlah solusi. Bisa jadi dengan berjalannya waktu justru berbagai solusi tersebut menjadi problem tersendiri. Pada saat ini diperlukan solusi yang lebih komprehensif yang memperhatikan berbagai konsekuensi ikutan. Hanya saja pada kesempatan ini tidak akan disampaikan solusi yang berbentuk program-program kongkrit yang dapat segera dijalankan. Adapun yang hendak disampaikan adalah dasar atau fundamen bagi sejumlah solusi yang lebih kongkrit sebagai berikut.
1. Menerima dan Tidak Menyangkal
Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam posisi dapat menerima (accept) berbagai problem penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal (denial) berbagai problem yang ada. Penyangkalan sama saja menafikan adanya problem dan dalam kondisi demikian apapun solusi menjadi tidak relevan.
Pada masa lampau pengambil kebijakan kerap menyangkal bahwa Indonesia menghadapi berbagai problem penegakan hukum. Penyangkalan tersebut berakibat pada terakumulasinya berbagai permasalahan. Seandainya problem penegakan hukum terselesaikan pada saat awal kemunculannya mungkin problem penegakan hukum tidak terlampau parah seperti sekarang. Saat ini akumulasi masalah telah membuat problema yang dihadapi menjadi kompleks. Masalah yang satu terkait dengan masalah yang lain. Akibatnya, apapun solusi yang ditawarkan seolah tidak menjadi jawaban manjur karena permasalahan telah menjadi lingkaran setan.
2. Perlu Kesabaran karena Tidak Ada Quick Solution
Dalam pembenahan problem penegakan hukum diperlukan kesabaran yang tinggi karena harus disadari bahwa tidak ada quick solution atau solusi instan. Sekali lagi problem penegakan hukum yang saat ini terjadi di Indonesia merupakan problem yang kompleks. Solusi atas permasalahan ini tidak mungkin dilakukan secara sederhana.
Sayangnya pengambil kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan jalan keluar. Penyederhanaan solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan dengan substansi ‘anti’ dari masalah yang dihadapi. Dalam kenyataannya solusi demikian tidak memberikan hasil. Bahkan penyederhanaan dan ketidak-sabaran menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Solusi instan terkadang tidak menjadi jalan keluar, tetapi justru memunculkan problem baru bagi penegakan hukum.
3. Pendekatan Multi Disiplin
Problem penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum. Bahkan komunitas hukum harus mengakui solusi berdasarkan pendekatan ilmu hukum tidak akan memadai.
Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi atas problem penegakan hukum harus memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial mengingat,
Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini cukup menggembirakan karena banyak pihak yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum telah turut berwacana atas berbagai problem penegakan hukum. Perkembangan ini perlu ditindak-lanjuti dengan mendorong para ahli non-hukum untuk dapat berinteraksi dan berdiskusi secara intens dengan para ahli hukum Law and Development dalam memunculkan solusi kongkrit.
4. Mengedepankan Kesejahteraan
Kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian yang khusus dari pengambil kebijakan. Mengedepankan kesejahteraan aparat penegak hukum harus dilihat sebagai fundamen dari solusi dan tidak sekedar program.
Mengedepankan kesejahteraan dimaksudkan untuk dua tujuan. Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas dari berbagai universitas ternama dalam penegakan hukum di sektor publik.
Kesejahteraan disini harus diterjemahkan dalam konteks kemampuan secara finansial bagi aparat penegak hukum untuk mendapatkan perumahan yang layak, transportasi, kesehatan dan pendidikan bagi anak.
Sebagai gambaran, gaji pokok di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk jabatan hakim berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2003 sekitar Rp. 4,2 juta – 6,8 juta, sementara pengeluaran per bulan yang wajar mencapai Rp. 14 juta. Dari sini terlihat bahwa penghasilan hakim saat ini tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Oleh karena itu, dalam suatu penelitian penghasilan hakim diusulkan berkisar antara Rp. 10,8 juta – Rp. 20,5 juta.
5. Menjaga Konsistensi
Sebagaimana telah diuraikan dalam problem penegakan hukum, penegakan hukum di Indonesia sangat diwarnai oleh uang, perlakuan yang diskriminatif dan perasaan sungkan dari para aparat penegak hukum. Belum lagi penegakan hukum dijadikan komoditas politik. Sebagai akibat dari semua ini tidak terlalu aneh bila persepsi muncul di masyarakat yang mengatakan penegakan hukum dilakukan secara tebang pilih.
Untuk menghindar kesan tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum perlu meletakkan fundamen yang kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dapat menjaga konsistensi, paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten.
Menjadi pertanyaan apa yang dijadikan acuan untuk menjaga konsistensi ini? Sebagai acuan tentunya bukan kekuasaan, uang ataupun variabel-variabel lain. Sebagai acuan adalah hukum, khususnya peraturan perundang-undangan. Memang harus diakui terkadang peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dijadikan acuan yang kuat karena adanya tumpang tindih antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, bahkan ketentuan yang diatur sangat kabur sehingga perlu dilakukan tafsir. Kelemahan ini tentu harus diatasi namun aparat penegak hukum perlu untuk didorong agar konsisten dengan hukum dalam menjalankan tugasnya.
6. Pembersihan Internal
Pada saat ini sedang dilakukan upaya untuk membersihkan institusi hukum dari personil nakal dan bermasalah. Banyak pihak mengandaikan, bila hendak bersih-bersih ruangan maka sapu harus bersih terlebih dahulu. Oleh karenanya upaya pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu terus mendapat dukungan.
Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia. Mereka takut pada hukum dan bukan taat pada hukum. Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewengan jabatan. Mekanisme yang diciptakan haruslah mekanisme yang memang dapat bekerja (workable) sehingga betul-betul dapat menjerat personil yang bersalah dan dapat dipercaya (reliable) oleh masyarakat.
Pembersihan internal perlu dilakukan secara intensif pada saat pengambil kebijakan telah memutuskan untuk mengedepankan kesejahteraan. Ini untuk memilah mereka yang menyelewengkan jabatan karena untuk sekedar bisa survive hidup dengan mereka yang bermotivasikan ’tamak’ mengkomersialkan jabatannya. Sebelum negara dapat memberikan kesejahteraan yang memadai akan sulit bila dilakukan pembersihan internal secara ekstensif dan tegas.
7. Pendekatan Manusiawi dan Mengantisipasi Perlawanan
Pembenahan atas penegakan hukum, terutama pada institusi hukum, harus dipahami sebagai pembenahan yang terkait dengan manusia. Manusia yang menjadi obyek pembenahan pun tidak terbatas pada individu yang ada dalam institusi hukum, tetapi juga manusia yang berada di sekeliling individu tersebut, termasuk keluarga.
Pembenahan terhadap hukum harus dilakukan secara manusiawi. Pembenahan sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri, bahkan merendahkan diri mereka yang terkena kebijakan.
Disamping itu, kompleksitas membenahi manusia juga harus dipahami. Bila dibandingkan dengan reformasi peraturan perundang-undangan, reformasi sumber daya manusia sangat rumit. Pembenahan manusia menyangkut sikap tindak (mindset). Sikap tindak yang telah lama berakar akan sulit untuk diubah dalam sekejap. Bagi mereka yang tidak sabar solusi termudah adalah mengganti seluruh manusia yang ada di suatu institusi hukum. Namun ini tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas.
Bila pembenahan manusia hukum tidak dilakukan secara manusiawi dapat dipastikan akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen dari solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa dendam atau perlawanan. Namun demikian bila pembenahan terhadap manusia dan institusi hukum sudah memasuki proses hukum maka penegakan hukum harus dilakukan secara tegas
8. Partisipasi Publik
Dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Partisipasi publik dimaksud, tidak sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat, tetapi para individu yang ada dalam masyarakat.
Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia. Setiap individu Indonesia akan memiliki peran dan kontribusi besar. Banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari hal kecil, seperti setiap individu tunduk pada hukum bukan karena takut tetapi karena taat. Orang tua yang mengarahkan kepada anak agar mematuhi aturan sejak usia belia. Bahkan, individu yang terkena proses hukum dapat menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melemahkan penegakan hukum.
Hanya saja dalam menggerakkan partisipasi publik sedapat mungkin tidak dilakukan melalui gerakan-gerakan formal. Gerakan harus dilakukan secara bottom up dan bukan top down. Bahkan bila perlu partisipasi publik dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.

F. Penutup

Efektivitas Hukum dalam masyarakat yang berkenaan penegakan hukum merupakan faktor penting dalam kehidupan hukum di Indonesia. Tanpa penegakan hukum yang kuat, hukum tidak akan dipersepsikan sebagai ada oleh masyarakat. Akibatnya hukum tidak dapat menjalankan fungsi yang diharapkan. Bila dikaitkan dengan pembangunan ekonomi, tanpa penegakan hukum, hukum dan institusinya tidak akan dapat menjamin pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Problem yang dihadapi dalam penegakan hukum sebagaimana telah diuraikan bersifat multi dimensi dan variatif. Berbagai problem yang dihadapi saling kait mengkait dan telah lama dibiarkan tanpa upaya serius untuk menyelesaikannya. Sebagai jalan keluar telah disampaikan fundamen dari solusi pembenahan penegakan hukum. Fundamen inilah yang nantinya berperan agar solusi bersifat komprehensif dan tidak sesaat.
Akhirnya perkenankanlah saya menghimbau agar kita semua yang hadir disini untuk memulai hal terkecil demi tegaknya hukum di Indonesia.